Spektrum pasien dengan stable IHD dapat tampil sebagai pasien yang belum mengalami infark miokard atau yang sudah mengalami infark miokard. Bagaimana peran MRI pada pasien dengan stable IHD?
Sebelum itu perlu kita ketahui beberapa poin dasar dari pemeriksaan mri. MRI adalah singkatan dari magnetic resonance imaging yang artinya pencitraan dengan memanfaatkan resonansi magnet. Pemeriksaan mri tidak menggunakan radiasi. Beberapa pemeriksaan mri memerlukan zat kontras bersifat feromagnetik yaitu gadolinium yang aman untuk pasien dengan peningkatan kreatinin dan gangguan fungsi ginjal, kecuali yang telah mencapai tahap end stage dan atau yang sudah rutin hemodialisis.[2]
Hasil pemeriksaan MRI kardiak berupa cine dan still image yang diambil dari beberapa metode akuisisi atau pengambilan gambar yang berbeda. Hasil cine merupakan gambar bergerak yang diambil dalam satu fase lengkap sistolik dan diastolik sehingga kita dapat menilai wall thickness, wall motion, flow dan perfusi. Dari hasil still image, kita dapat melihat karakterisasi jaringan miokard, misalnya edema miokard yang mengindikasikan inflamasi akut IHD, dan late enhancement di miokard yang menunjukkan keberadaan jaringan skar yang bermanfaat untuk menentukan viability.
Spektrum stable IHD dimulai dari inducible ischemia, dapat dilihat dengan adenosine stress perfusion dan dobutamine stress wall motion yang dibandingkan dengan saat rest. Inducible Ischemia disimpulkan bila ditemukan defek perfusi saat adenosine stress, atau gangguan wall motion saat dobutaminestress, yang membaik saat rest.
Pasien dengan infark miokard lama yaitu pasien dengan gelombang Q abnormal pada EKG, ketebalan skar infark dapat dilihat. Ketebalan skar tersebut bila dibandingkan dengan tebal transmural miokard atau yang disebut sebagai scar transmurality, dapat digunakan untuk menilai viability. Scar transmurality < 50% dianggap viable, sedangkan transmurality > 50% dianggap non-viable. Pemeriksaan viability dengan menilai skar ditambah penilaian kontraktilitas saat pemberian dobutamine dosis rendah meningkatkan akurasi prediksi pemulihan fungsi pasca revaskularisasi terutama pada pasien dengan scar transmurality antara 26-75%.[3]
Diagnosis penyakit arteri koroner (PAK) dengan MRI kardiak memiliki sensitiviti dan negative predictive value (NPV) yang tinggi, yaitu 86,5 dan 90,5% berturut-turut, dalam studi CE-MARC. Studi CE-MARC juga membuktikan keunggulan MRI kardiak dibanding dengan Single Photon Emission Computer Tomography (SPECT) Myocardial Perfusion Imaging (MPI) yang memiliki sensitiviti dan NPV 66,5% dan 79,1%.[4] Dengan demikian, pemeriksaan MRI kardiak lebih baik dalam mendeteksi dan menyingkirkan PAK dibanding SPECT MPI.
Hasil MRI kardiak bermanfaat untuk menentukan apakah pasien perlu revaskularisasi atau tidak, namun belum seperti SPECT MPI yang telah ada kuantifikasinya. Hasil MRI kardiak baru sampai tahap ada atau tidak ada defek perfusi, juga ada atau tidak ada new wall motion abnormality. Dari hasil kualitatif itu, ditemukan perbedaan kesintasan yang bermakna antara pasien dengan, dan tanpa inducible ischemia berdasarkan hasil stress MRI kardiak. Temuan ini menganjurkan revaskularisasi untuk pasien yang ditemukan inducible ischemia dari pemeriksaan stress MRI kardiak, untuk memperbaiki keluaran.
Demikian peran MRI kardiak dalam penyakit jantung iskemik stabil yang telah mendapatkan tempat dalam Guideline terbaru stable ischemic heart disease, dengan kelas IIa. Mungkin pembaca bertanya, ke mana mengirim pasien untuk MRI kardiak? Pemeriksaan MRI kardiak memang belum dapat dilakukan di setiap RS yang memiliki MRI, mengingat baru beberapa kardiolog di Indonesia yang menguasai pemeriksaan dan interpretasi MRI Kardiak, namun pemeriksaan MRI kardiak telah dapat dilakukan di beberapa RS salah satunya adalah Pusat Jantung Nasional RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita di Jakarta sebagai pusat rujukan dan pusat pendidikan kardiologi dan kedokteran vaskular.
Referensi
Sony HW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar