pita deadline
Kamis, 27 Desember 2012
Perempuan Waspadalah!
Serangan jantung dan serangan otak (stroke) selalu dikaitkan dengan usia lanjut. Faktanya kedua kegawatan ini banyak menyerang usia produktif.
Setiap perempuan tidak dapat mengubah faktor resiko seperti: usia, jenis kelamin, ras dan keturunan, tetapi dapat melakukan sesuatu terhadap faktor-faktor resiko yang terkait erat dengan gaya hidupnya.
Bertempat di auditorium Badan PPSDM Kesehatan Kemenkes RI, Rabu, 28 November 2012, PERKI bersama Kongres Wanita Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, Badan PPSDM Kemenkes RI, Pusat Jantung Nasional dan Aliansi Nasional Penyakit Tidak Menular menyelenggarakan Seminar Sehari “Perempuan Waspadalah!!!”. Seminar yang ditujukan untuk masyarakat umum (awam) ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Hari Jantung Sedunia dan Hari Ibu.
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), sebagai Ketua Penyelenggara, mengangkat slogan Go Red For Women yang memiliki makna mengajak perempuan Indonesia untuk waspada terhadap resiko serangan jantung dan penyakit pembuluh darah.
Sebagai pembicara pertama beliau memberikan pengenalan lebih dalam mengenai jantung dan faktor resiko serangan jantung.
Dalam seminar tersebut hadir Ibu Dewi Motik Pramono (KOWANI) dan Dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K) (Sekjen PP PERKI) yang berkesempatan untuk membuka acara. Turut juga hadir sebagai pembicara Dr. Antonia Anna Lukito SpJP, Dr. Eka Harmeiwaty SpS, Dr. Juweni Joe, SpJP, GK dan Dr. Endang Ratnaningsih SpJP.
Dalam kesempatan itu Dr. Endang Ratnaningsih SpJP mengajarkan kepada seluruh peserta seminar tentang bagaimana menyelamatkan hidup seseorang ketika jantung berhenti melalui Basic Cardiac Life Support.
Seminar dihadiri oleh 300 peserta yang sebagian besar dari KOWANI, PPSDM, KKI dan Total Oil Company.
Sebagai penutup seminar, panitia menggelar demo resusitasi jantung.*
Peran MRI Kardiak pada Pasien dengan Penyakit Jantung Iskemik Stabil
GUIDELINE baru untuk stable ischemic heart disease (IHD) dipublikasikan November 2012 yang lalu. Dalam guidelines tersebut pemeriksaan stress MRI kardiak merupakan pilihan alternatif selain stress nuklir dan stress echo bagi pasien yang tidak mampu menjalani exercise.[1]
Spektrum pasien dengan stable IHD dapat tampil sebagai pasien yang belum mengalami infark miokard atau yang sudah mengalami infark miokard. Bagaimana peran MRI pada pasien dengan stable IHD?
Sebelum itu perlu kita ketahui beberapa poin dasar dari pemeriksaan mri. MRI adalah singkatan dari magnetic resonance imaging yang artinya pencitraan dengan memanfaatkan resonansi magnet. Pemeriksaan mri tidak menggunakan radiasi. Beberapa pemeriksaan mri memerlukan zat kontras bersifat feromagnetik yaitu gadolinium yang aman untuk pasien dengan peningkatan kreatinin dan gangguan fungsi ginjal, kecuali yang telah mencapai tahap end stage dan atau yang sudah rutin hemodialisis.[2]
Hasil pemeriksaan MRI kardiak berupa cine dan still image yang diambil dari beberapa metode akuisisi atau pengambilan gambar yang berbeda. Hasil cine merupakan gambar bergerak yang diambil dalam satu fase lengkap sistolik dan diastolik sehingga kita dapat menilai wall thickness, wall motion, flow dan perfusi. Dari hasil still image, kita dapat melihat karakterisasi jaringan miokard, misalnya edema miokard yang mengindikasikan inflamasi akut IHD, dan late enhancement di miokard yang menunjukkan keberadaan jaringan skar yang bermanfaat untuk menentukan viability.
Spektrum stable IHD dimulai dari inducible ischemia, dapat dilihat dengan adenosine stress perfusion dan dobutamine stress wall motion yang dibandingkan dengan saat rest. Inducible Ischemia disimpulkan bila ditemukan defek perfusi saat adenosine stress, atau gangguan wall motion saat dobutaminestress, yang membaik saat rest.
Pasien dengan infark miokard lama yaitu pasien dengan gelombang Q abnormal pada EKG, ketebalan skar infark dapat dilihat. Ketebalan skar tersebut bila dibandingkan dengan tebal transmural miokard atau yang disebut sebagai scar transmurality, dapat digunakan untuk menilai viability. Scar transmurality < 50% dianggap viable, sedangkan transmurality > 50% dianggap non-viable. Pemeriksaan viability dengan menilai skar ditambah penilaian kontraktilitas saat pemberian dobutamine dosis rendah meningkatkan akurasi prediksi pemulihan fungsi pasca revaskularisasi terutama pada pasien dengan scar transmurality antara 26-75%.[3]
Diagnosis penyakit arteri koroner (PAK) dengan MRI kardiak memiliki sensitiviti dan negative predictive value (NPV) yang tinggi, yaitu 86,5 dan 90,5% berturut-turut, dalam studi CE-MARC. Studi CE-MARC juga membuktikan keunggulan MRI kardiak dibanding dengan Single Photon Emission Computer Tomography (SPECT) Myocardial Perfusion Imaging (MPI) yang memiliki sensitiviti dan NPV 66,5% dan 79,1%.[4] Dengan demikian, pemeriksaan MRI kardiak lebih baik dalam mendeteksi dan menyingkirkan PAK dibanding SPECT MPI.
Hasil MRI kardiak bermanfaat untuk menentukan apakah pasien perlu revaskularisasi atau tidak, namun belum seperti SPECT MPI yang telah ada kuantifikasinya. Hasil MRI kardiak baru sampai tahap ada atau tidak ada defek perfusi, juga ada atau tidak ada new wall motion abnormality. Dari hasil kualitatif itu, ditemukan perbedaan kesintasan yang bermakna antara pasien dengan, dan tanpa inducible ischemia berdasarkan hasil stress MRI kardiak. Temuan ini menganjurkan revaskularisasi untuk pasien yang ditemukan inducible ischemia dari pemeriksaan stress MRI kardiak, untuk memperbaiki keluaran.
Demikian peran MRI kardiak dalam penyakit jantung iskemik stabil yang telah mendapatkan tempat dalam Guideline terbaru stable ischemic heart disease, dengan kelas IIa. Mungkin pembaca bertanya, ke mana mengirim pasien untuk MRI kardiak? Pemeriksaan MRI kardiak memang belum dapat dilakukan di setiap RS yang memiliki MRI, mengingat baru beberapa kardiolog di Indonesia yang menguasai pemeriksaan dan interpretasi MRI Kardiak, namun pemeriksaan MRI kardiak telah dapat dilakukan di beberapa RS salah satunya adalah Pusat Jantung Nasional RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita di Jakarta sebagai pusat rujukan dan pusat pendidikan kardiologi dan kedokteran vaskular.
Referensi
Spektrum pasien dengan stable IHD dapat tampil sebagai pasien yang belum mengalami infark miokard atau yang sudah mengalami infark miokard. Bagaimana peran MRI pada pasien dengan stable IHD?
Sebelum itu perlu kita ketahui beberapa poin dasar dari pemeriksaan mri. MRI adalah singkatan dari magnetic resonance imaging yang artinya pencitraan dengan memanfaatkan resonansi magnet. Pemeriksaan mri tidak menggunakan radiasi. Beberapa pemeriksaan mri memerlukan zat kontras bersifat feromagnetik yaitu gadolinium yang aman untuk pasien dengan peningkatan kreatinin dan gangguan fungsi ginjal, kecuali yang telah mencapai tahap end stage dan atau yang sudah rutin hemodialisis.[2]
Hasil pemeriksaan MRI kardiak berupa cine dan still image yang diambil dari beberapa metode akuisisi atau pengambilan gambar yang berbeda. Hasil cine merupakan gambar bergerak yang diambil dalam satu fase lengkap sistolik dan diastolik sehingga kita dapat menilai wall thickness, wall motion, flow dan perfusi. Dari hasil still image, kita dapat melihat karakterisasi jaringan miokard, misalnya edema miokard yang mengindikasikan inflamasi akut IHD, dan late enhancement di miokard yang menunjukkan keberadaan jaringan skar yang bermanfaat untuk menentukan viability.
Spektrum stable IHD dimulai dari inducible ischemia, dapat dilihat dengan adenosine stress perfusion dan dobutamine stress wall motion yang dibandingkan dengan saat rest. Inducible Ischemia disimpulkan bila ditemukan defek perfusi saat adenosine stress, atau gangguan wall motion saat dobutaminestress, yang membaik saat rest.
Pasien dengan infark miokard lama yaitu pasien dengan gelombang Q abnormal pada EKG, ketebalan skar infark dapat dilihat. Ketebalan skar tersebut bila dibandingkan dengan tebal transmural miokard atau yang disebut sebagai scar transmurality, dapat digunakan untuk menilai viability. Scar transmurality < 50% dianggap viable, sedangkan transmurality > 50% dianggap non-viable. Pemeriksaan viability dengan menilai skar ditambah penilaian kontraktilitas saat pemberian dobutamine dosis rendah meningkatkan akurasi prediksi pemulihan fungsi pasca revaskularisasi terutama pada pasien dengan scar transmurality antara 26-75%.[3]
Diagnosis penyakit arteri koroner (PAK) dengan MRI kardiak memiliki sensitiviti dan negative predictive value (NPV) yang tinggi, yaitu 86,5 dan 90,5% berturut-turut, dalam studi CE-MARC. Studi CE-MARC juga membuktikan keunggulan MRI kardiak dibanding dengan Single Photon Emission Computer Tomography (SPECT) Myocardial Perfusion Imaging (MPI) yang memiliki sensitiviti dan NPV 66,5% dan 79,1%.[4] Dengan demikian, pemeriksaan MRI kardiak lebih baik dalam mendeteksi dan menyingkirkan PAK dibanding SPECT MPI.
Hasil MRI kardiak bermanfaat untuk menentukan apakah pasien perlu revaskularisasi atau tidak, namun belum seperti SPECT MPI yang telah ada kuantifikasinya. Hasil MRI kardiak baru sampai tahap ada atau tidak ada defek perfusi, juga ada atau tidak ada new wall motion abnormality. Dari hasil kualitatif itu, ditemukan perbedaan kesintasan yang bermakna antara pasien dengan, dan tanpa inducible ischemia berdasarkan hasil stress MRI kardiak. Temuan ini menganjurkan revaskularisasi untuk pasien yang ditemukan inducible ischemia dari pemeriksaan stress MRI kardiak, untuk memperbaiki keluaran.
Demikian peran MRI kardiak dalam penyakit jantung iskemik stabil yang telah mendapatkan tempat dalam Guideline terbaru stable ischemic heart disease, dengan kelas IIa. Mungkin pembaca bertanya, ke mana mengirim pasien untuk MRI kardiak? Pemeriksaan MRI kardiak memang belum dapat dilakukan di setiap RS yang memiliki MRI, mengingat baru beberapa kardiolog di Indonesia yang menguasai pemeriksaan dan interpretasi MRI Kardiak, namun pemeriksaan MRI kardiak telah dapat dilakukan di beberapa RS salah satunya adalah Pusat Jantung Nasional RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita di Jakarta sebagai pusat rujukan dan pusat pendidikan kardiologi dan kedokteran vaskular.
Referensi
Sony HW
Kardiologi Kuantum (13): COLIBRI, CALIBRI dan PERKI
Sabda alam yang tak terucapkan dan sastra alam yang tak tertuliskan
“..tiiii-ti sonya tengah wengi,/lumrang gandaning puspita-aaaaaa, / Kaaa-renaning pudyanira, / oooooo-ng, /Sang Dwija Wara mbrenge-ngeng, /lirrrr-r swaraning madu branta-aaaa, /Maanungsung sarining kembang.”
R. Soenarto Mertowardojo, 1984 (Epilog)
R. Soenarto Mertowardojo, 1984 (Epilog)
COLIBRI diyakini sebagai makhluk yang memiliki jantung terkuat di alam semesta dengan unjuk kemampuan melakukan “hovering” (berhenti dan maju-mundur di udara), ketika sedang mengisap sari madu sekuntum bunga. Seperti helikopter dua kitiran yang berputar berlawanan. Jantungnya berdenyut 1260 bpm (kira-kira 10x kemampuan jantung manusia), 50-180 bpm ketika colibri sedang santai. Pernafasannya pun istimewa, ketika istirahat melakukan pernafasan 250x per menit (4 kali per detik)
Colibri diartikan sebagai burung-pendengung (hummingbird) karena vibrasi sayapnya menimbulkan suara yang khas. Ia menjadi nama lebih dari 300 spesies dari keluarga burung-burung kecil di Amerika. Burung ini mampu hidup 12 tahun, banyak diantaranya hanya mencapai umur 3-5 tahun. Ia mengkonsumsi separoh makanannya berupa gula yang terdapat pada nektar dan serangga kecil yang terdapat di dalam bunga, manuver terbang mundur yang istimewa itu harus dilakukan ketika mencari makanan di sekitar bunga. Pantaslah anjuran bagi pemelihara burung ini agar selalu setiap saat menyediakan air-gula dengan kadar 25% dan kroto sebagai proteinnya. Jangan lupa, walaupun burung ini mini ukurannya, tetapi sedikitnya dipelihara dalam ukuran sangkar yang cukup besar 30 x 30 x 60 cm.
Sesungguhnya, dialah yang layak disebut artis-udara (aeronautical artist) karena dapat mengontrol seluruh arah gerak di udara seperti ke depan, mundur, ke samping, atas-bawah bahkan berputar sekalipun. Gerakan terbang mundur tercatat sebagai satu-satunya kemampuan yang hanya dimiliki oleh burung ini. Hanya helikopter khusus yang diciptakan untuk aerobatik yang mampu menirukan sebagian besar gerak si burung mungil ini. Panjangnya kurang dari 8 cm, yang terkecil terdapat di Cuba disebut sebagai colibri-lebah, yang warna hitam disebut oleh pecinta burung di Indonesia sebagai Kolibri Ninja 1], ada juga Kolibri Bali tiga warna.2] Umumnya jenis jantannya lebih kecil, kira-kira 5,5 cm panjangnya, dan beratnya hanya 1,95 gram, hanya seberat kertas-surat kelas satu! Sepintas lalu seperti lebah yang besar. Burung yang mendengung ini bersarang berbentuk mangkuk kecil di ranting dengan dua butir telurnya yang dierami oleh induk betinanya. Ukuran telurnya terkecil di antara seluruh burung.
Burung pendengung ini rute migrasi terjauhnya 5.000 km dari tempat berkembang-biaknya di Alaska menuju rumah winter-nya di Mexico, dapat terbang nonstop 800 km di teluk Mexico, dengan cara menambah berat badannya 50%, berupa lemak sebagai cadangan energi sebelum terbang jauh.
Ketika burung ini bermigrasi, predatornya selalu mendapat kesulitan dalam menangkapnya karena menguasai ‘ilmu’ akrobatik udara yang hebat dan dikenal sebagai pejoang yang tangguh dalam mencari dan memelihara teritorialnya, siapa saja yang mendekat akan diserangnya dengan keras. Bahkan sering mempermalukan dan mengalahkan elang besar amerika dalam perjoangan hijrahnya untuk mendapatkan teritori sementara di musim dingin. Tidak heran jika nama colibri menjadi merk helikopter yang memang memiliki kemampuan seperti burung tersebut. TNI AU juga memiliki banyak pesawat helikopter jenis EC 120B Colibri yang memiliki kemampuan menyerang posisi musuh, dengan kekuatan tertentu.
Calibri si artis udara sedang melakukan “hovering” dalam tarian mengisap sari madu bunga. Sabda alam ini kelak ditiru manusia dalam bentuk helikopter “rotary wing” (BO 105, misalnya) dengan kemampuan melakukan sebagian kecil saja dari kemampuan si burung mungil ini. 3]
Calibri. Tiba-tiba dalam membicarakan burung colibri yang kuat jantungnya ini di sela-sela acara Journal Reading di Divisi Preventif dan Rehabilitasi Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI, Dr. Andang H. Joesoef sebagai ketua divisi menanyakan apakah nama burung itu dipakai sebagai Theme Fonts dalam Microsoft Words? Jelas berbeda karena huruf-huruf Calibri® didisain oleh tipografer dari Jerman yaitu Luc(as) De Groot,4] sebagai keluarga huruf yang humanis dari tipe Sans Serif yang dipandu oleh Microsoft pada tahun 2002 dengan menekankan kekuatan pada teknologi ClearType dan menjadi default beberapa aplikasi Microsoft. Salah satu unikumnya adalah memotong ekor huruf “y”, perhatikan huruf ini “y”. Disain hurufnya ‘terasa’ hangat, ujungnya berupa bagian dari lingkaran yang pas dengan milenium baru, lainnya adalah perbaikan teknologi rasterisasi yang merupakan langkah penting dalam pengembangan huruf untuk media digital dan penampilan pada layar komputer. Sekarang huruf calibri menjadi sangat terkenal di dunia, salah satu pemakainya yang taat adalah Dr. Poppy S. Roebiono, 'Kepala Sekolah Jantung dan Pembuluh Darah' di departemen ini.
PERKI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia melalui Ketua Departemen Publikasi telah menulis surat kepada Presiden PERKI memohon izin untuk menggunakan identitas lain mengingat adanya peningkatan kebutuhan anggota PERKI untuk mendapatkan ISBN yang diberikan gratis oleh pemerintah namun masih memerlukan dukungan suatu organisasi sebagai publisernya. ISBN tersebut tentu saja sangat bermanfaat dalam publikasi karya mereka di media cetak/elektronika seperti buku-buku, novel, kumpulan sajak, partitur musik, fotografi, lukisan, dan karya lainnya. Identitas tersebut adalah seperti di bawah ini:
H&B/Heart & Beyond PERKI
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia)
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia)
Amat mudah ditebak di dalam tulisan ini bahwa identitas penerbit tersebut pasti menggunakan keluarga huruf calibri (logonya diberi shadow, garis bawah, dan simbol “&”-nya dikecilkan dua ketukan) dengan doa agar supaya anggauta PERKI sekuat burung colibri, walaupun paling kecil di kelasnya, sangat berani melawan bahkan selalu berhasil mengusir elang raksasa Amerika, tidak lain karena cerdik, lincah geraknya, kuat sayapnya, tajam paruhnya, serta sangat kuat jantung dan parunya.
Mula-mula didiskusikan dengan Dr. dr. Ismoyo Sunu SpJP, FIHA sebagai SekJen PERKI ternyata didukung bahkan di informasikan bahwa PERKI seperti pemerintah dan beberapa penerbit swasta lainnya juga menggratiskan anggauta PERKI dalam mendapatkan ISBN atau sejenisnya seperti ISSN sesuai keperluan, tentu saja melalui departemen terkait. Begitu juga Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP, FIHA, President Elect PERKI juga tidak keberatan, bahkan sedikit memuji kejelian Departemen Publikasi untuk memanfaatkan peluang sederhana tersebut guna memberikan identitas singkat, seraya memperluas maknanya dengan satu kata bernuansa filosofis yang mendalam yaitu “beyond”, seolah-olah beru- saha menembus dimensi ke-4, dimensi spiritual dalam konteks kardiologi kuantum, namun segi legalnya juga perlu mendapat perhatian khusus.
Setelah surat yang bertanggal 1 November 2012 dengan No: 007/PP/M.1/X/2012 Hal: Identitas Penerbit itu, pada akhirnya disetujui oleh Prof. DR. Dr. M. Romdoni, SpPD, SpJP(K), FIHA sebagai Ketua Pengurus Pusat PERKI pada tanggal 20 November 2012, baru kemudian menguji dan mengaplikasikannya dalam dunia nyata, dimensi-1 kardiologi kuantum.
Langkah berikutnya adalah menguji keampuhan identitas penerbit H&B/Heart & Beyond PERKI dengan mencoba mengajukan ISBN untuk sekuel Pentalogi Candra Jiwa Indonesia yang berupa lima buku dengan lima warna sampul: putih (Studium Generale 2012; 234 hal), kuning (Psike 2013; 244 hal), hitam (Ego 2014; 270 hal), merah (intuisi 2015; 258 hal) dan ungu (Intuisi 2016; 762 hal). Terbukti permohonan ISBN tersebut pada hari itu juga tanggal 27 November 2012 langsung diberikan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (National ISBN Agency di Jalan Salemba Raya 28 A, Jakarta) sebanyak 30 ISBN (masing-masing buku mendapat 6 ISBN!) dengan gratis karena persyaratannya memang sudah lengkap. Ke-6 ISBN tersebut terinci sebagai soft cover hp, hard cover hp, soft cover bw, hard cover bw, ebook pdf hp, dan ebook pdf bw. Seminggu kemudian penulisnya di email 30 kode bar-nya (barcode). Identitas penerbit (H&B PERKI) oleh Tim Editor ISBN di tempatkan dibawah nama Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, agar supaya tidak mengganggu penomoran ISBN dan ISSN sebelumnya.
Diskusi dengan calon penulis novel Dr. Santoso Karo Karo SpJP dan calon penulis buku pengantar/buku ajar tentang Kardiologi Nuklir Dr. Manoefris Kasim SpJP menyambut baik upaya ini, hanya dipertanyakan sekiranya PERKI juga membantu dana penerbitan bukunya, nah yang ini perlu memperhitungkan ongkos cetak, tata letaknya, dan perlu memperhitungkan aspek bisnis serta royalti penulisnya, perlu negosiasi khusus dengan yayasan atau pemangku kepentingan di PERKI. Terdengar dari kejauhan Prof. Wayan “pelukis/fotografer” Wita, di Denpasar-Bali sedang menyiapkan buku fotografinya. H&B PERKI tentu saja siap membantu mendapatkan ISBN sekiranya diminta bantuannya.
Untuk pertama kalinya identitas tersebut dipasang pada Tabloid ini atas permintaan Ketua Departemen Publikasi PERKI. Diharapkan produk publikasi PERKI lainnya seperti Majalah Kardiologi Indonesia dapat juga mengikutinya.
Epilog. Syair yang dilagukan tersebut di atas, merupakan bagian akhir dari syair yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, secara keseluruhan selalu diperdengarkan oleh para dalang wayang kulit Jawa dan Sunda di tengah malam diatas jam 00.00. Setelah Ki Dalang mengucapkan syair tersebut seraya menancapkan gunungan (wayang berbentuk gunung) dengan posisi miring ke kanan. Bermakna untuk mengingatkan kita tentang perjalanan sang waktu menuju akhir hidup, agar supaya melakukan “metamorfosa” dengan mengubah metrum dengan harmoni Slendro (musik dengan pengaruh Asia Timur) beralih ke harmoni Pelog (musik khas ciptaan Jawa), terlihat pemain musik gamelan berpindah ke posisi ke alat-alat musik yang bernada Pelog.
Syair dengan lagu tersebut diatas diterjemahkan sebagai “..Semakin malam syahdu mengasyikkan,/bintang-bintang gemerlap,/saat sunyi sepi tengah malam,/semerbak mewangi puspita,/bersuka cita oleh doa,/Sang Dwijawara mendengung,/bagaikan bunyi lebah berkeliaran,/menyongsong sari bunga.”5] Syair tersebut menggambarkan doa panjang dan pendeknya para pejalan spiritual di tengah malam bagaikan suara dengungan lebah dan burung colibri-lebah, penuh suka cita seraya merasakan semerbak baunya bunga Sedap Malam. Suara dengungan pejalan spiritual tersebut sambil mengucapkan satu-dua patah kata sesuai keluar masuknya nafas, adalah meditasi transendental, dzikir dan doa tengah malam sesuai religinya. “Surat Lebah” memang terdapat di dalam kitab suci Al Quran.
Referensi
1. http://3.bp.blogspot.com/-av3qrlGcsUg/
T8RpHGsitHI/AAAAAAAAANA/WvtTF1Ephmg/ s1600/ kolibri+ninja.jpg cited Dec. 8,
2012.
2. http://farm4.staticflickr.com/3342/4607305642_087b87e5f4_z.jpg cited Dec. 8,
2012.
4. http://www.fonts.com/font/microsoft-corporation/calibri#product_424400 cited Dec. 8, 2012.
5. R. Soenarto Mertowardojo. Taman Kemuliaan Abadi. Paguyuban
Ngesti Tunggal. Jakarta 1999. h.1.
Budhi S. Purwowiyoto
Digoksin Meningkatkan Kematian pada Pasien dengan Fibrilasi Atrial
DIGOXIN, obat yang banyak digunakan untuk gagal jantung, ternyata berkaitan dengan peningkatan kematian yang signifikan pada pasien dengan fibrilasi atrial, menurut studi yang dipublikasikan dalam European Heart Journal, 28 November 2012.
Digoxin diekstraksi dari tanaman foxglove (digitalis), berfungsi untuk meningkatkan kontraktilitas dan membuat ritme jantung lebih regular. Namun, sulit untuk menggunakan obat ini secara benar karena dosis terapinya yang sempit. Dosis digoksin yang tinggi di dalam darah berhubungan dengan peningkatan angka kematian.
Para peneliti yang dipimpin Profesor Samy Claude Elayi dari Gill Heart Institute, University of Kentucky, USA menganalisa data 4060 pasien AF dalam studi Atrial Fibrillation Follow-up Investigation of Rhythm Management (AFFIRM) yang bertujuan untuk melihat hubungan antara digoksin dengan angka kejadian kematian.
Studi ini menemukan terjadi peningkatan 41% kematian (semua penyebab) setelah faktor-faktor risiko dan obat-obatan lain disesuaikan. Hasil ini tidak bergantung pada gender maupun ada tidaknya gagal jantung. Digoksin juga berhubungan dengan peningkatan 35% kematian karena sebab kardiovaskular, dan 61% kematian karena aritmia.
Professor Elayi: “Hasil AFFIRM trial memperlihatkan bahwa di antara pasien AF yang mengonsumsi digoksin, dalam waktu 5 tahun, 1 dari 6 pasien akan meninggal apapun penyebabnya, 1 dari 8 pasien akan meninggal karena sebab kardiovaskular, dan 1 dari 16 pasien akan meninggal karena aritmia.”
“Penemuan ini membuat kita mempertanyakan penggunaan digoksin pada pasien AF, terutama untuk mengendalikan irama jantung. Digoksin pada pasien AF jarang diteliti. RCT yang sudah ada lebih memfokuskan digoksin pada pasien gagal jantung dengan ritme sinus, dan mengeksklusi pasien AF. Studi kami menggaris bawahi pentingnya menilai ulang peran digoksin pada pasien AF dengan atau tanpa gagal jantung.”
Prof Elayi menyimpulkan dalam jurnalnya, “Berdasarkan penemuan ini, seorang dokter sebaiknya menjaga irama jantung pasien dengan alternatif lain seperti beta-blockers atau calcium channel blocker. Jika menggunakan digoksin, gunakan dosis rendah dengan follow-up ketat, nilai potensi interaksi obat jika menambah obat baru, dan monitor kadar digoksin. Pasien harus waspada dengan potensi toksisitas digoksin dan segera ke dokter jika merasakan gejala-gejala seperti palpitasi atau sinkop.
Belum diketahui bagaimana digoksin dapat meningkatkan kejadian kematian pada penderita AF. Kematian karena penyebab kardiovaskular klasik, entah itu karena aritmia atau bukan, tidak dapat menjelaskan semuanya. Kemungkinan ada mekanisme lain yang perlu diidentifikasi. Perlu studi lebih lanjut mengenai penggunaan digoksin pada pasien dengan gagal jantung sistolik–pasien yang secara teorinya, paling mendapat manfaat dari digoksin.” (Ref: Whitbeck MG, et al. Increased mortality among patients taking digoxin-analysis: analysis from the AFFIRM study. European Heart Journal. doi: 10.1093/eurheartj/ehs348)
Digoxin diekstraksi dari tanaman foxglove (digitalis), berfungsi untuk meningkatkan kontraktilitas dan membuat ritme jantung lebih regular. Namun, sulit untuk menggunakan obat ini secara benar karena dosis terapinya yang sempit. Dosis digoksin yang tinggi di dalam darah berhubungan dengan peningkatan angka kematian.
Para peneliti yang dipimpin Profesor Samy Claude Elayi dari Gill Heart Institute, University of Kentucky, USA menganalisa data 4060 pasien AF dalam studi Atrial Fibrillation Follow-up Investigation of Rhythm Management (AFFIRM) yang bertujuan untuk melihat hubungan antara digoksin dengan angka kejadian kematian.
Studi ini menemukan terjadi peningkatan 41% kematian (semua penyebab) setelah faktor-faktor risiko dan obat-obatan lain disesuaikan. Hasil ini tidak bergantung pada gender maupun ada tidaknya gagal jantung. Digoksin juga berhubungan dengan peningkatan 35% kematian karena sebab kardiovaskular, dan 61% kematian karena aritmia.
Professor Elayi: “Hasil AFFIRM trial memperlihatkan bahwa di antara pasien AF yang mengonsumsi digoksin, dalam waktu 5 tahun, 1 dari 6 pasien akan meninggal apapun penyebabnya, 1 dari 8 pasien akan meninggal karena sebab kardiovaskular, dan 1 dari 16 pasien akan meninggal karena aritmia.”
“Penemuan ini membuat kita mempertanyakan penggunaan digoksin pada pasien AF, terutama untuk mengendalikan irama jantung. Digoksin pada pasien AF jarang diteliti. RCT yang sudah ada lebih memfokuskan digoksin pada pasien gagal jantung dengan ritme sinus, dan mengeksklusi pasien AF. Studi kami menggaris bawahi pentingnya menilai ulang peran digoksin pada pasien AF dengan atau tanpa gagal jantung.”
Prof Elayi menyimpulkan dalam jurnalnya, “Berdasarkan penemuan ini, seorang dokter sebaiknya menjaga irama jantung pasien dengan alternatif lain seperti beta-blockers atau calcium channel blocker. Jika menggunakan digoksin, gunakan dosis rendah dengan follow-up ketat, nilai potensi interaksi obat jika menambah obat baru, dan monitor kadar digoksin. Pasien harus waspada dengan potensi toksisitas digoksin dan segera ke dokter jika merasakan gejala-gejala seperti palpitasi atau sinkop.
Belum diketahui bagaimana digoksin dapat meningkatkan kejadian kematian pada penderita AF. Kematian karena penyebab kardiovaskular klasik, entah itu karena aritmia atau bukan, tidak dapat menjelaskan semuanya. Kemungkinan ada mekanisme lain yang perlu diidentifikasi. Perlu studi lebih lanjut mengenai penggunaan digoksin pada pasien dengan gagal jantung sistolik–pasien yang secara teorinya, paling mendapat manfaat dari digoksin.” (Ref: Whitbeck MG, et al. Increased mortality among patients taking digoxin-analysis: analysis from the AFFIRM study. European Heart Journal. doi: 10.1093/eurheartj/ehs348)
Dwita Rian Desandri
Mikropartikel Intrakoroner dan Obstruksi Mikrovaskuler pasien STEMI yang Menjalani PPCI
INTERVENSI koroner perkutan (PPCI) merupakan strategi reperfusi yang paling sering dipilih pada pasien STEMI. Hasil akhir PPCI berkelanjutan memperlihatkan hasil yang tidak menyenangkan pada lebih dari sepertiga pasien, karena adanya obstruksi mikrovaskuler (MVO) walaupun telah didapatkan arteri koroner yang paten.
Embolisasi distal dari debris aterotrombotik selama PCI menjadi salah satu kunci patogenesis MVO, yang mengakibatkan oklusi mekanik pembuluh mikro dan aktivasi jalur koagulasi dan inflamasi.
Yang menarik adalah sejumlah besar material yang berhasil diambil dari alat aspirasi adalah sebesar < 60 um. Selain dari angiografi terlihat sebagai makroembolisasi, partikel mikroembolisasi dengan dimensi kurang dari ukuran pori rerata filter (100um) mungkin secara klinis relevan.
Mikropartikel merupakan vesikel membran yang kecil (0.5 – 1 um) yang dihasilkan dari berbagai sel selama aktivasi maupun apoptosis, dengan properti prokoagulan, secara signifikan meningkat pada sirkulasi darah sistemik pada pasien STEMI.
Mempertimbangkan ukuran yang kecil dan konsentrasi tinggi untuk terjadinya trombus serta plak aterosklerotik, mungkin saja partikel tersebut menyumbang terjadinya mikroembolisasi, akan tetapi hal ini belum pernah dilakukan.
Dilakukanlah studi oleh Porto et al untuk melihat konsentrasi sistemik dan lokal platelet-derived MP (PMP) dan endothelial-derived MP (EMP) serta hubungannya dengan MVO yang didefinisikan dengan angiografi multipel dan indeks elektrokardiografi. Selain itu, studi ini bertujuan untuk menilai apakah trombus yang terlihat secara angiografi akan berperan dalam hubungannya antara tingkat MP dan MVO.
Menggunakan 78 pasien dengan hasil sukses PPCI, diambil sampel darahnya secara sekuensial melalui aorta dan lesi culprit untuk mendeteksi sitoflurimetrik MP. TIMI flow, skor trombus, corrected TIMI frame count (cTFC), myocardial blush grade (MBG), quantitative blush evaluator (QuBE) score dan 90 menit resolusi segmen ST (ESTR) dikalkulasikan.
Baik tingkat PMP dan EMP secara signifikan lebih tinggi pada sampel intrakoroner dibandingkan dari darah aorta. Tingkat intrakoroner PMP dan EMP secara positif berhubungan dengan TS dan cTFC serta bertolak belakang dengan QuBE. Intrakoroner PMP secara independen berhubungan dengan angiografi dan elektrokardiografi MVO pada model multivariat. (European Heart Journal 2012; 33: 2928-38)
Embolisasi distal dari debris aterotrombotik selama PCI menjadi salah satu kunci patogenesis MVO, yang mengakibatkan oklusi mekanik pembuluh mikro dan aktivasi jalur koagulasi dan inflamasi.
Yang menarik adalah sejumlah besar material yang berhasil diambil dari alat aspirasi adalah sebesar < 60 um. Selain dari angiografi terlihat sebagai makroembolisasi, partikel mikroembolisasi dengan dimensi kurang dari ukuran pori rerata filter (100um) mungkin secara klinis relevan.
Mikropartikel merupakan vesikel membran yang kecil (0.5 – 1 um) yang dihasilkan dari berbagai sel selama aktivasi maupun apoptosis, dengan properti prokoagulan, secara signifikan meningkat pada sirkulasi darah sistemik pada pasien STEMI.
Mempertimbangkan ukuran yang kecil dan konsentrasi tinggi untuk terjadinya trombus serta plak aterosklerotik, mungkin saja partikel tersebut menyumbang terjadinya mikroembolisasi, akan tetapi hal ini belum pernah dilakukan.
Dilakukanlah studi oleh Porto et al untuk melihat konsentrasi sistemik dan lokal platelet-derived MP (PMP) dan endothelial-derived MP (EMP) serta hubungannya dengan MVO yang didefinisikan dengan angiografi multipel dan indeks elektrokardiografi. Selain itu, studi ini bertujuan untuk menilai apakah trombus yang terlihat secara angiografi akan berperan dalam hubungannya antara tingkat MP dan MVO.
Menggunakan 78 pasien dengan hasil sukses PPCI, diambil sampel darahnya secara sekuensial melalui aorta dan lesi culprit untuk mendeteksi sitoflurimetrik MP. TIMI flow, skor trombus, corrected TIMI frame count (cTFC), myocardial blush grade (MBG), quantitative blush evaluator (QuBE) score dan 90 menit resolusi segmen ST (ESTR) dikalkulasikan.
Baik tingkat PMP dan EMP secara signifikan lebih tinggi pada sampel intrakoroner dibandingkan dari darah aorta. Tingkat intrakoroner PMP dan EMP secara positif berhubungan dengan TS dan cTFC serta bertolak belakang dengan QuBE. Intrakoroner PMP secara independen berhubungan dengan angiografi dan elektrokardiografi MVO pada model multivariat. (European Heart Journal 2012; 33: 2928-38)
SL Purwo
Sejarah ACLS-PERKI
Ketika Perhimpunan Kardiologi Indonesia (PERKI) didirikan pada tahun 1957, alm Dr. Gan Tjong Bing, pendiri PERKI, telah memperkirakan bahwa masalah kesehatan jantung dan pembuluh darah akan terus meningkat di Indonesia. Di samping itu ilmu dan teknoloji dalam bidang ini ternyata berkembang sangat pesat. Pada tahun enampuluhan perawatan koroner intensif (ICCU) mulai dikembangkan dan teknik resusitasi dan pertolongan terhadap henti jantung diaplikasikan secara terpadu di dalam suatu fasilitas oleh tenaga-tenaga terlatih.
Henti jantung, renjatan (syok), dan gagal jantung akut adalah penyulit yang menyebabkan angka kematian yang tinggi pada penderita sindrom koroner akut, khususnya infark miokard akut. Kematian ini bisa terjadi di luar rumah sakit maupun setelah masuk perawatan di rumah sakit. Antisipasi dan tindakan yang cepat yang tepat dalam menit-menit pertama oleh tenaga-tenaga terlatih akan mengurangi kemungkinan terjadinya henti jantung, renjatan, dan gagal jantung akut. Edukasi penderita penyakit jantung dan pembuluh darah dan publik akan membuat mereka lebih cepat mencurigai dan menyadari kemungkinan serangan jantung sehingga lebih cepat mencari pertolongan.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) menyadari bahwa upaya ini tidak mungkin dilakukan semata-mata oleh para dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (kardiologis). Sejak tahun 1997 PERKI telah mulai melancarkan program pelatihan Bantuan Hidup Jantung Dasar (Basic Cardiac Life Support) dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut (Advanced Cardac Life Support), dengan terlebih dahulu menyiapkan tenaga-tenaga pelatih dan sarana. Pengembangan program ini ternyata memerlukan dana yang besar. Prioritas diberikan terlebih dahulu kepada para dokter umum dan non-kardiologis mengingat bahwa kompetensi dalam bidang ini yang diterima selama dalam pendidikan di fakultas kedokteran masih kurang. Meskipun demikian diberikan juga kesempatan bagi personil medik yang bekerja di perawatan intensif dan gawat darurat sesuai ketersediaan tempat. PERKI mengadaptasi dan mengadopsi Konsensus Pedoman ACLS yang dikembangkan oleh AHA-ACC yang terus diperbaharui.
Pelatihan ACLS-PERKI bersertifikat ini dilakukan bersama cabang-cabang PERKI di berbagai tempat di seluruh Indonesia, antara lain di Medan, Batam, Palembang, Padang, Jakarta dan sekitarnya, Bandung, Semarang, Jogya, Semarang, Surabaya, Bali, Makasar, dan bahkan di Papua. PERKI telah melatih ribuan dokter di seluruh Indonesia. PERKI juga bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI. dalam pelatihan program penanggulangan gawat darurat.
Pelatihan ACLS-PERKI berlangsung secara intensif selama 3 hari dengan melalui kuliah terarah, diskusi interaktif, dan kerja tim, serta pelatihan keterampilan dalam skill station dan megacode dengan menggunakan alat-alat simulator yang paling modern. Untuk memudahkan mereka yang ingin mengetahui lebih banyak tentang program pelatihan ACLS dan BCLS serta untuk mendaftar, portal ACLS-PERKI ini dibangun dan akan terus disempurnakan.
Program Pelatihan ACLS-PERKI adalah salah satu komitmen PERKI bagi penanggulangan masalah kesehatan jantung dan pembuluh darah di Indonesia.
Henti jantung, renjatan (syok), dan gagal jantung akut adalah penyulit yang menyebabkan angka kematian yang tinggi pada penderita sindrom koroner akut, khususnya infark miokard akut. Kematian ini bisa terjadi di luar rumah sakit maupun setelah masuk perawatan di rumah sakit. Antisipasi dan tindakan yang cepat yang tepat dalam menit-menit pertama oleh tenaga-tenaga terlatih akan mengurangi kemungkinan terjadinya henti jantung, renjatan, dan gagal jantung akut. Edukasi penderita penyakit jantung dan pembuluh darah dan publik akan membuat mereka lebih cepat mencurigai dan menyadari kemungkinan serangan jantung sehingga lebih cepat mencari pertolongan.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) menyadari bahwa upaya ini tidak mungkin dilakukan semata-mata oleh para dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (kardiologis). Sejak tahun 1997 PERKI telah mulai melancarkan program pelatihan Bantuan Hidup Jantung Dasar (Basic Cardiac Life Support) dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut (Advanced Cardac Life Support), dengan terlebih dahulu menyiapkan tenaga-tenaga pelatih dan sarana. Pengembangan program ini ternyata memerlukan dana yang besar. Prioritas diberikan terlebih dahulu kepada para dokter umum dan non-kardiologis mengingat bahwa kompetensi dalam bidang ini yang diterima selama dalam pendidikan di fakultas kedokteran masih kurang. Meskipun demikian diberikan juga kesempatan bagi personil medik yang bekerja di perawatan intensif dan gawat darurat sesuai ketersediaan tempat. PERKI mengadaptasi dan mengadopsi Konsensus Pedoman ACLS yang dikembangkan oleh AHA-ACC yang terus diperbaharui.
Pelatihan ACLS-PERKI bersertifikat ini dilakukan bersama cabang-cabang PERKI di berbagai tempat di seluruh Indonesia, antara lain di Medan, Batam, Palembang, Padang, Jakarta dan sekitarnya, Bandung, Semarang, Jogya, Semarang, Surabaya, Bali, Makasar, dan bahkan di Papua. PERKI telah melatih ribuan dokter di seluruh Indonesia. PERKI juga bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI. dalam pelatihan program penanggulangan gawat darurat.
Pelatihan ACLS-PERKI berlangsung secara intensif selama 3 hari dengan melalui kuliah terarah, diskusi interaktif, dan kerja tim, serta pelatihan keterampilan dalam skill station dan megacode dengan menggunakan alat-alat simulator yang paling modern. Untuk memudahkan mereka yang ingin mengetahui lebih banyak tentang program pelatihan ACLS dan BCLS serta untuk mendaftar, portal ACLS-PERKI ini dibangun dan akan terus disempurnakan.
Program Pelatihan ACLS-PERKI adalah salah satu komitmen PERKI bagi penanggulangan masalah kesehatan jantung dan pembuluh darah di Indonesia.
(www.acls-indonesia.com)
Studi EPIC-Norfolk: Nadi Istirahat dan Insidensi Gagal Jantung pada Laki-laki dan Perempuan
TINGGINYA nadi istirahat dihubungkan dengan perkembangan hipertensi dan penyakit kardiovaskuler serta dianggap sebagai faktor risiko independen untuk ke dua keadaan.
Nadi sitirahat secara langsung menentukan kebutuhan oksigen miokard, aliran darah koroner dan performa miokard.
Hipertensi dan penyakit janntung koroner merupakan penyebab utama gagal jantung dan peningkatan nadi istirahat memperlihatkan hubungannya dengan peningkatan risiko gagal jantung dengan manifestasi penyakit jantung koroner serta individu dengan risiko pada populasi umum.
Pasien penyakit jantung koroner dan disfungsi ventrikel kiri, nadi istirahat memperlihatkan hubungan kuat dengan gagal jantung dibandingkan dengan endpoint vaskuler lainny, ini memberikan pendapat bahwa mungkin saja terdapat hubungan antara nadi yang cepat dan gagal jantung, selain dari yang terpicu dari penyakit jantung koroner.
Data populasi nadi istirahat dan gagal jantung adalah beragam. Mekanisme yang mendasari dan tingkat asosiasinya antara nadi dan gagal jantung mungkin berbeda di antara individu sehat dengan pasien manifestasi penyakit kardiovaskuler dimana nadi berperan kuat pada proses perburukan penyakit serta dihubungkan dengan aktivasi sistem saraf simpatis.
Nadi sitirahat secara mudah mengukur faktor risiko pada populasi umum dan dapat dimodifikasi dengan perubahan gaya hidup dan terapi medis, inilah yang menjadi target potensial intervensi preventif.
Untuk menilai hubungan secara prospektif dari nadi istirahat dengan risiko perkembangan gagal jantung pada popu-lasi laki-laki dan wanita usia pertengahan dilakukan studi EPIC-Norfolk.
Rasio hazard gagal jantung dibanding kelompok-kelompok nadi istirahat (kelompok acuan 51-60 kali/menit; 61-70 kali/menit, 71-80 kali/menit, 91-100 kali/menit) dikalkulasikan pada laki-laki (n = 9805) dan perempuan sehat (n = 12321) usia 39-79 tahun yang mengikuti studi EPIC Norfolk.
Selama rerata follow up 12,9 tahun, didapatkan insiden 1356 kasus gagal jantung terjadi. Pada pasien yang tidak menggunakan terapi obat yang mempengaruhi nadi, insidens gagal jantung terkait umur dan jenis kelamin berkisar 3.3, 3.7, 4.0, 5.1 dan 5.5 per 1000 pasien per tahun untuk pening- katan kelompok nadi istirahat.
Dibandingkan kelompok acuan, didapatkan HR 1.08 (95 % CI 0.88-1.34), 1.17 (0.94-1.46), 1.39 (1.08-1.79) dan 1.42 (1.00-2.03). Dalam kisaran acuan nadi istirahat (50-100 kali/menit), setiap peningkatan nadi 10 kali/menit dihubungkan dengan peningkatan nilai hazard gagal jantung sebesar 11% pada analisis multivariat. Hasil studi ini tidak berubah secara material setelah dilakukan penyesuaian untuk kejadian infark miokard dan penyakit jantung koroner selama follow up (1.12, 1.06-1.18).
Sehingga hasil studi ini memperlihatkan hubungan bertingkat antara nadi istirahat dengan gagal jantung pada laki-laki dan perempuan sehat yang tidak diperantai oleh penyakit jantung koroner. (European Journal of Heart Failure 2012; 14: 1163-70)
Nadi sitirahat secara langsung menentukan kebutuhan oksigen miokard, aliran darah koroner dan performa miokard.
Hipertensi dan penyakit janntung koroner merupakan penyebab utama gagal jantung dan peningkatan nadi istirahat memperlihatkan hubungannya dengan peningkatan risiko gagal jantung dengan manifestasi penyakit jantung koroner serta individu dengan risiko pada populasi umum.
Pasien penyakit jantung koroner dan disfungsi ventrikel kiri, nadi istirahat memperlihatkan hubungan kuat dengan gagal jantung dibandingkan dengan endpoint vaskuler lainny, ini memberikan pendapat bahwa mungkin saja terdapat hubungan antara nadi yang cepat dan gagal jantung, selain dari yang terpicu dari penyakit jantung koroner.
Data populasi nadi istirahat dan gagal jantung adalah beragam. Mekanisme yang mendasari dan tingkat asosiasinya antara nadi dan gagal jantung mungkin berbeda di antara individu sehat dengan pasien manifestasi penyakit kardiovaskuler dimana nadi berperan kuat pada proses perburukan penyakit serta dihubungkan dengan aktivasi sistem saraf simpatis.
Nadi sitirahat secara mudah mengukur faktor risiko pada populasi umum dan dapat dimodifikasi dengan perubahan gaya hidup dan terapi medis, inilah yang menjadi target potensial intervensi preventif.
Untuk menilai hubungan secara prospektif dari nadi istirahat dengan risiko perkembangan gagal jantung pada popu-lasi laki-laki dan wanita usia pertengahan dilakukan studi EPIC-Norfolk.
Rasio hazard gagal jantung dibanding kelompok-kelompok nadi istirahat (kelompok acuan 51-60 kali/menit; 61-70 kali/menit, 71-80 kali/menit, 91-100 kali/menit) dikalkulasikan pada laki-laki (n = 9805) dan perempuan sehat (n = 12321) usia 39-79 tahun yang mengikuti studi EPIC Norfolk.
Selama rerata follow up 12,9 tahun, didapatkan insiden 1356 kasus gagal jantung terjadi. Pada pasien yang tidak menggunakan terapi obat yang mempengaruhi nadi, insidens gagal jantung terkait umur dan jenis kelamin berkisar 3.3, 3.7, 4.0, 5.1 dan 5.5 per 1000 pasien per tahun untuk pening- katan kelompok nadi istirahat.
Dibandingkan kelompok acuan, didapatkan HR 1.08 (95 % CI 0.88-1.34), 1.17 (0.94-1.46), 1.39 (1.08-1.79) dan 1.42 (1.00-2.03). Dalam kisaran acuan nadi istirahat (50-100 kali/menit), setiap peningkatan nadi 10 kali/menit dihubungkan dengan peningkatan nilai hazard gagal jantung sebesar 11% pada analisis multivariat. Hasil studi ini tidak berubah secara material setelah dilakukan penyesuaian untuk kejadian infark miokard dan penyakit jantung koroner selama follow up (1.12, 1.06-1.18).
Sehingga hasil studi ini memperlihatkan hubungan bertingkat antara nadi istirahat dengan gagal jantung pada laki-laki dan perempuan sehat yang tidak diperantai oleh penyakit jantung koroner. (European Journal of Heart Failure 2012; 14: 1163-70)
SL Purwo
Kardiolog dan Komitmennya Stop Merokok
KOMITMEN kardiolog tentang stop merokok sedikitnya dikomentari oleh Victor Aboyansa, Daniel Thomasb, dan Philippe Lacroix dalam artikelnya, namun ia juga memberikan catatan penting untuk para kardiolog tentang merokok serta rekomendasi yang menYeluruh dalam kesimpulannya.
WHO memperkirakan perokok sejumlah 1,3 milyard. Untuk 2025 digambarkan akan meningkat sejumlah 1,7 milyar. Satu setengah juta orang meninggal setahunnya di negara-negara berpenghasilan tinggi akibat mengisap rokok, walaupun ada juga yang turun secara meyakinkan di beberapa negara. Angka kematiannya akibat merokok diperkirakan stabil sampai 2030, sayangnya menjadi dua kali lipat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Dalam studi Interheart ditunjukkan angka 35,7% sebagai faktor risiko global untuk infark miokard akut (IMA). Berhenti merokok masih merupakan strategi terapeutik untuk mengurangi angka kejadian dan kematian jangka panjang dalam bidang kardiologi. Menyedihkan, bila melihat hasil survei dari the European Action on Secondary and Primary Prevention by Intervention to Reduce Events (EuroAspire) yang diselengarakan antara 1995 dan 2005 di Eropa, terlihat bahwa 20-25% perokok kembali pada kebiasaannya setelah 6 bulan kena serangan IMA dan angka-angka tersebut tidak berubah selama survei. Sebagai perbandingan, pada saat survei tersebut dilakukan, upaya mengontrol dislipidemia menunjukkan adanya perbaikan. Penjelasan yang dapat diferifikasi menunjukkan bahwa kardiolog kurang komitmen kepada pasiennya pada stop merokok ketika dibandingkan dengan manajemen faktor risiko lainnya.
Setiap tahunnya tercatat 70% perokok di USA menyatakan minatnya untuk stop merokok, 45% berhasil mencapai stop merokok, dan lebih kecil dari 5% rupanya berhasil stop atas kemauannya sendiri. Dua sampai tiga kali lebih sukses dengan menggunakan obat diyakini lebih baik lagi dengan bantuan terapi perilaku. Adiksi nikotin merupakan penyulit utama stop merokok, sebagai ilustrasi 25% dari perokok Eropa yang selamat dari serangan jantung kembali merokok 6 bulan setelah serangan.
Kesimpulan sekaligus mengingatkan agar kardiolog tidak meminimalkan komitmennya untuk mengurangi konsumsi tembakau pasien-pasiennya dan masyarakat luas. Sejalan dengan manajemen faktor risiko lainnya untuk PJK, intervensi stop merokok dan tambahan semangatnya harus diintegrasikan pada rutinitas praktik klinik. Lebih dari pada itu, kardiolog harus mengembangkan program stop merokok dalam seluruh lingkup profesionalnya, identifikasi status merokok semua pasiennya, harus kenal dan akrab dengan prinsip-prinsip terapi stop-merokok, penggunaan obat-obatan yang sudah tersedia, dan tindak lanjutnya.
Beberapa langkah yang penting diketahui dan diharapkan partisipasi kardiolog untuk membantu berhenti merokok serta untuk meningkatkan kesehatan kardiovaskular pasien-pasien dan komunitasnya:
1. Praktik Klinik. (a) Penilaian sistimatis status merokoknya setiap pasien sebagai bagian integral dari tanda-tanda vital. Selalu diidentifikasi perokok pasif diantara para non-perokok. (b) Bantuan semangat untuk stop merokok merupakan aktifitas utama sebagai kardiolog sebagaimana terhadap faktor risiko lainnya seperti dislipidemia dan hipertensi. Berikan obat-obatan stop merokok bila diperlukan. Jangan menakut-nakuti pasien karena sering kontra produktif, tetapi berikan informasi yang jelas dan jujur. (c) Gunakan teknik pencitraan (seperti ultrasound vaskular) untuk memperkuat pesan dan perhatian pasien sesuai statusnya dan makna dari pesan anda.
2. Organisasi. (a) Identifikasi dan terapi diantara peserta program studi dan fellow kardiologi, dokter, perawat dan petugas lainnya. (b) Membuat leaflet tentang risiko merokok dan cara berhenti merokok yang dapat diperoleh secara luas. (c) Jika tidak memungkinkan, agar membuat program khusus untuk mengobati ketergantungan merokok di lingkungan pekerjaan. Selalu ada orang atau sentra untuk membantu pasien kita. Kirim semua kesulitan dalam memberhentikan kebiasaan merokok pada sentra ini.
3. Pendidikan. (a) Tambahkan mata ajar stop merokok pada kurikulum pendidikan kardiolog. (b) Lebih banyak menekankan masalah merokok pada pertemuan saintifik dan program pendidikan berkelanjutan.
4. Komitmen pada Kesehatan Masyarakat. (a) Melobi untuk pendanaan untuk terapi melawan ketergantungan tembakau. (b) Berperan kuat baik sebagai individu maupun perhimpunan jantung dalam koalisi kontrol tembakau. (c) Membantu riset tentang konsekuensi kesehatan akibat merokok dan kebijakan mengontrol tembakau pada prevensi primer dan sekunder penyakit kardiovaskular.
5. Terakhir jangan dilupakan. (a) Jangan merokok, karena langkah selanjutnya akan mengalami kesulitan dan kredibilitas kita akan turun dalam menangani pasien. Jika anda bekas perokok, jauhi pengalaman anda untuk pasien (secara maksimum ciptakan suasana empati untuk meningkatkan kredibilitas anda). Kesemuanya itu adalah langkah-langkah bagi setiap kardiolog untuk membantu berhenti merokok guna memperbaiki kesehatan kardiovaskular untuk pasien dan komunitasnya.
WHO memperkirakan perokok sejumlah 1,3 milyard. Untuk 2025 digambarkan akan meningkat sejumlah 1,7 milyar. Satu setengah juta orang meninggal setahunnya di negara-negara berpenghasilan tinggi akibat mengisap rokok, walaupun ada juga yang turun secara meyakinkan di beberapa negara. Angka kematiannya akibat merokok diperkirakan stabil sampai 2030, sayangnya menjadi dua kali lipat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Dalam studi Interheart ditunjukkan angka 35,7% sebagai faktor risiko global untuk infark miokard akut (IMA). Berhenti merokok masih merupakan strategi terapeutik untuk mengurangi angka kejadian dan kematian jangka panjang dalam bidang kardiologi. Menyedihkan, bila melihat hasil survei dari the European Action on Secondary and Primary Prevention by Intervention to Reduce Events (EuroAspire) yang diselengarakan antara 1995 dan 2005 di Eropa, terlihat bahwa 20-25% perokok kembali pada kebiasaannya setelah 6 bulan kena serangan IMA dan angka-angka tersebut tidak berubah selama survei. Sebagai perbandingan, pada saat survei tersebut dilakukan, upaya mengontrol dislipidemia menunjukkan adanya perbaikan. Penjelasan yang dapat diferifikasi menunjukkan bahwa kardiolog kurang komitmen kepada pasiennya pada stop merokok ketika dibandingkan dengan manajemen faktor risiko lainnya.
Setiap tahunnya tercatat 70% perokok di USA menyatakan minatnya untuk stop merokok, 45% berhasil mencapai stop merokok, dan lebih kecil dari 5% rupanya berhasil stop atas kemauannya sendiri. Dua sampai tiga kali lebih sukses dengan menggunakan obat diyakini lebih baik lagi dengan bantuan terapi perilaku. Adiksi nikotin merupakan penyulit utama stop merokok, sebagai ilustrasi 25% dari perokok Eropa yang selamat dari serangan jantung kembali merokok 6 bulan setelah serangan.
Kesimpulan sekaligus mengingatkan agar kardiolog tidak meminimalkan komitmennya untuk mengurangi konsumsi tembakau pasien-pasiennya dan masyarakat luas. Sejalan dengan manajemen faktor risiko lainnya untuk PJK, intervensi stop merokok dan tambahan semangatnya harus diintegrasikan pada rutinitas praktik klinik. Lebih dari pada itu, kardiolog harus mengembangkan program stop merokok dalam seluruh lingkup profesionalnya, identifikasi status merokok semua pasiennya, harus kenal dan akrab dengan prinsip-prinsip terapi stop-merokok, penggunaan obat-obatan yang sudah tersedia, dan tindak lanjutnya.
Beberapa langkah yang penting diketahui dan diharapkan partisipasi kardiolog untuk membantu berhenti merokok serta untuk meningkatkan kesehatan kardiovaskular pasien-pasien dan komunitasnya:
1. Praktik Klinik. (a) Penilaian sistimatis status merokoknya setiap pasien sebagai bagian integral dari tanda-tanda vital. Selalu diidentifikasi perokok pasif diantara para non-perokok. (b) Bantuan semangat untuk stop merokok merupakan aktifitas utama sebagai kardiolog sebagaimana terhadap faktor risiko lainnya seperti dislipidemia dan hipertensi. Berikan obat-obatan stop merokok bila diperlukan. Jangan menakut-nakuti pasien karena sering kontra produktif, tetapi berikan informasi yang jelas dan jujur. (c) Gunakan teknik pencitraan (seperti ultrasound vaskular) untuk memperkuat pesan dan perhatian pasien sesuai statusnya dan makna dari pesan anda.
2. Organisasi. (a) Identifikasi dan terapi diantara peserta program studi dan fellow kardiologi, dokter, perawat dan petugas lainnya. (b) Membuat leaflet tentang risiko merokok dan cara berhenti merokok yang dapat diperoleh secara luas. (c) Jika tidak memungkinkan, agar membuat program khusus untuk mengobati ketergantungan merokok di lingkungan pekerjaan. Selalu ada orang atau sentra untuk membantu pasien kita. Kirim semua kesulitan dalam memberhentikan kebiasaan merokok pada sentra ini.
3. Pendidikan. (a) Tambahkan mata ajar stop merokok pada kurikulum pendidikan kardiolog. (b) Lebih banyak menekankan masalah merokok pada pertemuan saintifik dan program pendidikan berkelanjutan.
4. Komitmen pada Kesehatan Masyarakat. (a) Melobi untuk pendanaan untuk terapi melawan ketergantungan tembakau. (b) Berperan kuat baik sebagai individu maupun perhimpunan jantung dalam koalisi kontrol tembakau. (c) Membantu riset tentang konsekuensi kesehatan akibat merokok dan kebijakan mengontrol tembakau pada prevensi primer dan sekunder penyakit kardiovaskular.
5. Terakhir jangan dilupakan. (a) Jangan merokok, karena langkah selanjutnya akan mengalami kesulitan dan kredibilitas kita akan turun dalam menangani pasien. Jika anda bekas perokok, jauhi pengalaman anda untuk pasien (secara maksimum ciptakan suasana empati untuk meningkatkan kredibilitas anda). Kesemuanya itu adalah langkah-langkah bagi setiap kardiolog untuk membantu berhenti merokok guna memperbaiki kesehatan kardiovaskular untuk pasien dan komunitasnya.
(Current Opinion in Cardiology 2010, 25: 469-477)
Budhi Setianto
CT Angiografi Koroner Mengidentifikasi Plak pada Pasien IMA dengan Normal Koroner Saat Kateterisasi
ANGIOGRAFI koroner dengan tomografi komputer (CT Coronary Angiography - CTCA) dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien infark akut dengan plak signifikan pada arteri sesuai area infark namun normal atau stenosis ringan pada kateterisasi, demikian menurut peneliti Aldrovandi dkk. Penggunaan CTCA mengidentifikasi plak di arteri yang sesuai area infark pada 60,4% pasien dengan infark tanpa temuan stenosis saat kateterisasi.
Dr Annachiara Aldrovandi (University of Parma, Italia) dan koleganya menyatakan bahwa pasien infark miokard akut (IMA) tanpa stenosis signifikan arteri koroner saat kateterisasi adalah tantangan diagnostik untuk para dokter, namun CTCA dapat diandalkan untuk mendeteksi aterosklerosis koroner dan karakteristik morfologi plak. Penelitian ini dipublikasikan di Circulation online pada 20 November 2012.
“Pada populasi yang kami teliti, demonstrasi plak koroner yang berlokasi sesuai area infark yang diidentifikasi dengan Late-Gadolinium-Enhanced Cardiac Magnetic Resonance (LGE CMR) dengan karakteristik morfologi yang mendukung patofisiologi infark miokard akibat aterosklerosis dengan pecahnya plak koroner yang ringan, walau tidak memungkinkan untuk menyingkirkan penyebab lain seperti emboli koroner atau vasospasme yang berkepanjangan,” demikian laporan para peneliti.
Dalam editorial yang mendampingi, Drs Jason Kovacic dan Valentin Fuster (Mount Sinai School of Medicine, New York) mengatakan bahwa para peneliti telah mengidentifikasi penyebab untuk pasien infark miokard tanpa temuan lesi koroner yang signifikan.
“Pendapat kami, sejumlah bukti kuat ini menjelaskan penyebab pada pasien dengan infark miokard yang belum diketahui penyebabnya,” Tulis Kovacic dan Fuster. “Lebih jauh lagi, data ini sesuai dengan paradigma saat ini tentang biologi plak.”
Mendeteksi plak yang tak tampak dengan kateterisasi dengan CTCA
Studi ini memasukkan pasien terdokumentasi IMA tapi tanpa temuan stenosis pada kateterisasi koroner. Pasien tersebut kemudian menjalani LGE CMR dalam 10 hari pasca kateterisasi, namun hanya pasien yang memiliki area LGE sesuai infark miokard yang dianalisis. Dari 50 pasien, 34 datang dengan Non-ST-elevasi infark miokard (NSTEMI) dan 16 dengan STEMI. Hasil LGE CMR menunjukkan infark anterior pada 29 pasien, inferior pada 13 pasien dan lateral pada delapan pasien.
Kateterisasi koroner menunjukkan 25 dari 50 pasien memiliki arteri koroner yang normal, sementara 25 lainnya memiliki 41 lesi nonsignifikan. Pasien kemudian menjalani CTCA enam hari setelah IMA. Hasil CTCA mengidentifikasi 101 plak di 151 arteri koroner pada 42 pasien dan tanpa plak pada delapan pasien. Secara kasar separuh dari pasien memiliki single-vessel disease, sementara 24% memiliki two-vessel dan 12% multivessel disease.
Total, CTCA mengidentifikasi 61 plak pada arteri terkait infark dan 40 plak di arteri tak terkait infark. Dari plak di arteri terkait infark, 22% noncalcified, 17 mixed dan 22 calcified plak. Rerata area plak terluas di arteri terkait infark, tapi tidak ada perbedaan signifikan dalam persen stenosis.
“Pada studi kami, CTCA mengungkap keberadaan plak aterosklerosis arteri koroner yang terabaikan saat kateterisasi,” tulis Aldrovandi dan koleganya. “Kateterisasi koroner merupakan gold-standard untuk evaluasi stenosis arteri koroner, namun hanya memberi gambaran kontur pembuluh koroner dan tidak memberikan informasi tentang dinding pembuluh dan plak. (http://www.theheart.org/article/147937/print.do)
Dr Annachiara Aldrovandi (University of Parma, Italia) dan koleganya menyatakan bahwa pasien infark miokard akut (IMA) tanpa stenosis signifikan arteri koroner saat kateterisasi adalah tantangan diagnostik untuk para dokter, namun CTCA dapat diandalkan untuk mendeteksi aterosklerosis koroner dan karakteristik morfologi plak. Penelitian ini dipublikasikan di Circulation online pada 20 November 2012.
“Pada populasi yang kami teliti, demonstrasi plak koroner yang berlokasi sesuai area infark yang diidentifikasi dengan Late-Gadolinium-Enhanced Cardiac Magnetic Resonance (LGE CMR) dengan karakteristik morfologi yang mendukung patofisiologi infark miokard akibat aterosklerosis dengan pecahnya plak koroner yang ringan, walau tidak memungkinkan untuk menyingkirkan penyebab lain seperti emboli koroner atau vasospasme yang berkepanjangan,” demikian laporan para peneliti.
Dalam editorial yang mendampingi, Drs Jason Kovacic dan Valentin Fuster (Mount Sinai School of Medicine, New York) mengatakan bahwa para peneliti telah mengidentifikasi penyebab untuk pasien infark miokard tanpa temuan lesi koroner yang signifikan.
“Pendapat kami, sejumlah bukti kuat ini menjelaskan penyebab pada pasien dengan infark miokard yang belum diketahui penyebabnya,” Tulis Kovacic dan Fuster. “Lebih jauh lagi, data ini sesuai dengan paradigma saat ini tentang biologi plak.”
Mendeteksi plak yang tak tampak dengan kateterisasi dengan CTCA
Studi ini memasukkan pasien terdokumentasi IMA tapi tanpa temuan stenosis pada kateterisasi koroner. Pasien tersebut kemudian menjalani LGE CMR dalam 10 hari pasca kateterisasi, namun hanya pasien yang memiliki area LGE sesuai infark miokard yang dianalisis. Dari 50 pasien, 34 datang dengan Non-ST-elevasi infark miokard (NSTEMI) dan 16 dengan STEMI. Hasil LGE CMR menunjukkan infark anterior pada 29 pasien, inferior pada 13 pasien dan lateral pada delapan pasien.
Kateterisasi koroner menunjukkan 25 dari 50 pasien memiliki arteri koroner yang normal, sementara 25 lainnya memiliki 41 lesi nonsignifikan. Pasien kemudian menjalani CTCA enam hari setelah IMA. Hasil CTCA mengidentifikasi 101 plak di 151 arteri koroner pada 42 pasien dan tanpa plak pada delapan pasien. Secara kasar separuh dari pasien memiliki single-vessel disease, sementara 24% memiliki two-vessel dan 12% multivessel disease.
Total, CTCA mengidentifikasi 61 plak pada arteri terkait infark dan 40 plak di arteri tak terkait infark. Dari plak di arteri terkait infark, 22% noncalcified, 17 mixed dan 22 calcified plak. Rerata area plak terluas di arteri terkait infark, tapi tidak ada perbedaan signifikan dalam persen stenosis.
“Pada studi kami, CTCA mengungkap keberadaan plak aterosklerosis arteri koroner yang terabaikan saat kateterisasi,” tulis Aldrovandi dan koleganya. “Kateterisasi koroner merupakan gold-standard untuk evaluasi stenosis arteri koroner, namun hanya memberi gambaran kontur pembuluh koroner dan tidak memberikan informasi tentang dinding pembuluh dan plak. (http://www.theheart.org/article/147937/print.do)
Sony HW
Langganan:
Postingan (Atom)