JUDUL diatas adalah judul ‘opening speech’ yang seyogyanya disampaikan oleh seorang kardiolog senior, karena beliau dinas ke luar negeri dengan senang hati penulis bersedia menggantikannya. Judul tersebut rupanya merupakan program saintifik dari APCD XI, Annual Progress of Cardiovascular Disease yang ke-11 (2012), suatu program ilmiah tahunan PERKI Banten.
Dr. Daniel Tanubudi, SpJP dalam salam hangatnya sebagai chairman pertemuan tersebut menjelaskan keinginan PERKI Banten untuk mengajak pesertanya untuk memperluas cakrawala pengetahuan dengan mendalami spesialis lain seperti pulmunologi, endokrinologi, nephrologi, dan obstetri-ginekologi yang terkait dengan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Cardiovascular Link. Tentu saja penulis setuju dengan istilah cardiovascular link karena sirkulasi kardio vaskular memperdarahi seluruh organ-organ tubuh. Pada fase sistolik, jantung kanan dan kiri memompa darah ke paru-paru dan ke seluruh organ tubuh. Tidak mengherankan ketika berbagai organ diintegrasikan dalam sistim pendidikan di fakultas kedokteran, sistim kardiovaskular adalah sistim yang memiliki link yang terbesar dan terbanyak. Apabila suatu sirkulasi tertutup didefinisikan sebagai sebuah sistim maka diperlukan pompa, pipa dan material yang bergerak di dalamnya. Nah, sirkulasi ketiga memiliki syarat-syarat tersebut yaitu sirkulasi koroner, yang pembuluhnya terisi dari sinus valsalva aorta pada vase diastolik, memperdarahi jantung melewati arteri dan vena, dan akhirnya bermuara di sinus koronarius pada serambi kanan.
Link-link tersebut harus menjadi perhatian bersama, dipelajari sesuai tugas pokok dan fungsi profesi masing-masing dengan mengacu standar yang paling tinggi. Di dalam penelitian-penelitian kedokteran menggunakan metodologi RCT dan analisis meta.
Kalau diperhatikan dengan seksama, Kedokteran Barat telah berhasil melakukan “hegemoni” ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga suatu pengobatan atau tindakan yang tidak berdasarkan RCT, analisis meta dengan induksi statistik tertentu kebenaran dan kesahihannya disangsikan. Ini patut kita renungkan sebagai batas-batas, sekat-sekat yang telah kita buat. Bagaimana dengan Kedokteran Timur dengan herbal, substrat binatang melata yang belum mampu menembus batas-batas imajiner tersebut? Penulis berpendapat sepanjang masih dalam koridor bioetika kedokteran yang dikenal sebagai beneficent, non maleficent, autonomy, dan justice dapat digunakan secara terbatas sampai ilmu pengetahuan menerimanya secara utuh dikemudian hari.
Hegemoni ilmu kardiologi dan kedokteran tersebut berasal dari mazhab filasafat positivisme, fenomenologi yang mensyaratkan pengukuran yang persis, rigid dengan metodologi dan di buktikan atau disalahkan induksinya oleh statistik yang tepat selain itu... bukan ilmiah. Apakah ilmu kedokteran yang menyangkut manusia secara keseluruhan (tiga dunia/dimensi) memang demikian? Bukankah ilmu kedokteran juga seni? Tidak dipungkiri ada juga dokter yang bermazhab teologian daripada stastisian. Hanya ilmu fisika yang mampu mengikuti dasar-dasar filsafat positivisme tersebut.
Anehnya, Albert Enstein (1879-1955) fisikawan agung telah memberikan pencerahan yang lain. “Intuisi adalah berkah gaib dan pemikiran rasional adalah pembantu yang dipercaya.” Rupanya selama ini kita telah salah karena telah menciptakan masyarakat yang mengagungkan pembantu dan melupakan anugerah gaib. Paul Karl Fayerabend (1924-1994) seorang filsuf ilmu pengetahuan yang kontroversial juga dianggap anti ilmu pengetahuan karena telah mengeksplorasi sisi intuitif manusia bahkan telah mengajukan konsep untuk melawan hegemoni metodologi ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu anything goes dan counterinduction.
Across the boundary. Dengan demikian Albert Einstein dan Paul Karl Fayerabend telah membuka kemungkinan melampaui batas-batas ilmu fisika dan kedokteran yang eksis pada dimensi-1 (makrokosmos, alam semesta didepan pancaindra kita) dan jasad fisik manusia sebagai dimensi-2. Nah, anggap saja kita memasuki dunia meta-fisika meliputi dimensi-3: mental, jiwa, psike yang memiliki kontinuitas melalui TheGate memahami dimensi-4: spiritual, pusat (hidup) imateri, dan alam sejati sebagai jati dirinya manusia (Perhatikan Gambar-2). Kesempatan yang diberikan oleh PERKI Banten seperti inilah yang ditunggu-tunggu untuk menjelaskan posisi Kardiologi Kuantum sebagai suatu pendekatan filsafat-terapan yang “mirip” saudaranya yang lain yaitu psikologi (fakultas), psikiatri (departemen), psiko-somatik (subdivisi). Justifikasi semacam ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran kardiologi kuantum di kalangan kardiologi dan kedokteran vaskuler.
Gambar 2. Posisi Jantung di Alam Semesta
TheGate (II) adalah kontinuitas antara sadar pribadi (EGO) dengan sadar kolektif di dalam Pusat (hidup) Imateri di dalam diri manusia, menghubungkan dimensi-3 (mental) dan dimensi-4 (spiritual), menurut pandangan Candra Jiwa Indonesia (Soenarto).Pentalogi CJI 2012-2016, adalah prototipe-pracetak 5 (lima) buku Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia dengan 5 sampul yang berwarna putih (2012: Studium Generale), kuning (2013: Psike), hitam (2014: Ego), merah (2015: Intuisi) dan ungu (2016: Magnum Opus). Sequel prototipe buku-buku tersebut diakhir “Opening Speech” di depan para hadirin dihadiahkan untuk pertama kalinya kepada PERKI Banten karena niat, tekad, dan nekatnya telah mencoba menerobos batas-batas ilmu pengetahuan yang selama ini kita tekuni bersama. Kelima prototipe buku tersebut diterima oleh Dr Daniel Tanubudi sebagai Ketua APCD XI (2012). Penulis berharap Sequel (2012-2016) tersebut berlanjut dengan munculnya Prequel 2017 (sampul hijau) dan Postquel 2018 (sampul biru), yang terakhir ini semoga benar-benar berjudul Kardiologi Kuantum dengan pendekatan filsafat-terapan Candra Jiwa Indonesia untuk mendampingi ilmu fisika kuantum dan ilmu kardiologi dan kedokteran vaskular. Terima kasih atas perhatiannya.
Vivat res cogitans, vivat academica, vivat professores!
Budhi S Purwo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar