Segenap jajaran Pengurus Pusat PERKI dan Tabloid Profesi KARDIOVASKULER mengucapkan selamat kepada Dokter SpJP baru lulusan tahun 2012.
pita deadline
Kamis, 18 Oktober 2012
ESC Guideline 2012: Selayang Pandang
PANDUAN kardiologi preventif ESC 2012 ini menyangkut praktik klinik telah mendapat kontribusi khusus dari European Association for Cardiovascular Prevention & Rehabilitation (EACPR). Penyakit aterosklerotik jantung dan pembuluh darah (PKV) adalah kelainan subklinik yang berlangsung kronik sampai menunjukkan gejala-gejala kliniknya. PKV masih menjadi penyebab kematian prematur utama di Eropa, walaupun cenderung menurun beberapa dekade ini di beberapa negara.
Penyebab PKV masih dihubungkan dengan gaya hidup, penggunaan tembakau, diet tidak sehat, inaktifitas fisik, dan stres psikososial. WHO menyatakan bahwa lebih dari tiga per empat dari seluruh kematian dini akibat PKV dapat dicegah dengan perubahan gaya hidup yang memadai. Upaya preventif PKV masih merupakan tantangan besar bagi masyarakat, politisi, dan petugas kesehatan. Upaya tersebut berakar dari penelitian epidemiologi dan bukti nyata kedokteran. Dokumen ini berbeda dengan pendahulunya (2007) dalam beberapa hal: lebih berfokus pada penemuan ilmiah yang baru. Masih terdapat jurang pemisah antara apa yang seharusnya dilakukan dengan apa yang terjadi telah ditunjukkan oleh hasil survei EUROASPIRE III. Mencari waktu untuk membaca berbagai panduan dan melaksanakannya adalah kendala utama bagi dokter keluarga yang sibuk.
Yang menarik adalah konsep preventif primer dan sekunder diganti dengan pengertian alternatif bahwa aterosklerosis sesungguhnya adalah proses yang kontinyu. Prioritas diberikan pada empat tingkat: pasien dengan status penyakitnya sudah jelas, individu asimtomatik dengan risiko mortalitasnya tinggi, riwayat keluarga satu tingkat diatasnya, dan masalah praktik klinik rutin. Dokter dan ners kardiovaskular masih merupakan pemain utama implementasi preventif yang ditujukan terutama untuk perubahan gaya hidup.
Hasil penelitian yang bermakna tidak serta merta direkomendasikan dengan pertimbangan kualitas penelitiannya, keseimbangan antara keuntungan dan kerugiannya, ketidakpastian sistim nilai yang dianut pasien, ketidak pastian kemampuan pusat-pusat intervensi sekiranya direkomendasikan. Anjuran yang kuat akan diikuti pasien dan dokter untuk melakukan intervensi tertentu sampai menjadi kebijakan dari institusi, anjuran yang lemah akan mendorong untuk melakukan tawaran kepada pasien dan diskusi panjang dengan para pihak pemangku kesehatan.
Penyakit jantung koroner (PJK) sudah merupakan pembunuh utama di dunia, bahkan sudah dianggap sebagai pandemik yang melewati batas-batas negara sesuai pernyataan WHO 2009 dan Badan Eksekutifnya sejak 1969, dan sudah menjarah di kalangan muda usia. Yang menyedihkan di Eropa justru PKV sebagai penyebab utama kematian di antara wanita: PKV bertanggung jawab atas 42% seluruh kematian wanita sebelum usia 75 tahun, sementara pada pria Eropa 38%. Walaupun terjadi penurunan angka kematian PJK dan PKV berdasarkan umur yang distandardisasi di negara-negara Eropa dalam kurun waktu 1970-1990-an. Hasil dari Multinational MONItoring of trends and determinants in CArdiovascular disease (MONICA) justru menunjukkan hasil yang heterogen di Eropa pada kurun waktu 1980-1990. Dengan bertambahnya usia lanjut dan berkurangnya kasus fatal akibat PJK, maka jumlah total pasien yang hidup dengan PJK menjadi meningkat. Pada umumnya pasien-pasien tersebut menderita PJK pada usia sangat lanjut sehingga menambah angka kemungkinan hidup di dalam status kesehatan yang baik.
Prevensi PKV idealnya dimulai selama kehamilan dan berakhir pada kematian. Pada kehidupan sehari-hari, upaya preventif ditujukan kepada pria dan wanita umur pertengahan atau orang tua dengan CVD (preventif sekunder) atau pada mereka dengan risiko tinggi untuk berkembang menjadi serangan jantung yang pertama (kombinasi dari merokok, hipertensi, diabetes dan/atau dislipidemi). Pada umumnya preventif dibagi menjadi primer dan sekunder walaupun membedakan PKV menjadi sulit karena yang mendasari penyakit tersebut adalah proses aterosklerosis. Anjuran dari Geofrey Rose beberapa dekade yang lalu berdasarkan dua strategi: strategi populasi dan strategi risiko tinggi.
Strategi populasi bertujuan menurunkan insiden PKV pada tingkat masyarakat luas melalui perubahan gaya hidup dan lingkungan. Strategi ini secara primer dicapai dengan mengembangkan kebijakan tertentu dan intervensi masyarakat, misalnya larangan merokok membatasi kandungan garam di makanan. Keuntungannya terasa bagi masyarakat tetapi sedikit terasa sebagai pribadi-pribadi. Pendekatan ini akan menguntungkan lebih besar dalam jumlah untuk masyarakat sebab targetnya adalah seluruh anggauta masyarakat dan sebagian besar kejadian terjadi pada kelompok risiko sedang. Target pada strategi risiko tinggi lebih terasa ada sasaran tetapi karena jumlah mereka sedikit maka dampak populasinya juga berkurang. Terlihat kemajuannya ketika program stop merokok diperbaiki, pengenalan obat-obat penurun kolesterol dan murahnya obat-obat anti hipertensi, sehingga efektifitas strategi risiko tinggi juga meningkat. Secara konsensus dua pendekatan strategi akan lebih baik kalau dijalankan bersama-sama.
Menyemangati penggunaan estimasi risiko total sebagai alat penuntun manajemen pasien merupakan tulang punggung dari panduan ESC sejak awal publikasi. Hal ini disebabkan para dokter mengikuti rekomendasi berdasarkan estimasi risiko juga bermanfaat untuk mendeteksi pasien-pasien yang asimtomatik orang dewasa tanpa PJK. Akhirnya, individu risiko tinggi dideteksi berdasarkan PKV, diabetes, penyakit ginjal sedang-berat, faktor risiko yang sangat tinggi, dan mereka yang memiliki risiko SCORE yang tinggi. (European Heart Journal (2012); 33: 1635–1701)
Budhi Setianto
Studi SENIOR: Efek Nebivolol pada Outcome Pasien Usia Tua dengan Gagal Jantung dan Fibrilasi Atrium
FIBRILASI atrium (AF) dan gagal jantung kronis telah digambarkan sebagai dua epidemi penyakit kardiovaskular dari abad ke-21. Prevalensi AF meningkat dengan bertambahnya usia dan juga berhubungan dengan tingkat keparahan gagal jantung, mencapai hampir 50% pada New York Heart Association (NYHA) kelas IV.
Dampak prognostik AF pada rawat inap untuk gagal jantung dan kematian, bagaimanapun juga tetap tidak pasti. Beta-blocker direkomendasikan sebagai pengobatan rutin pada gagal jantung kronis yang stabil dalam rangka meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi rawat inap untuk gagal jantung.
Meskipun secara umum diasumsikan bahwa efek dari penghambat beta di AF mirip dengan yang di sinus ritme, sejauh ini tidak ada efek menguntungkan dari penghambat beta pada pasien gagal jantung dengan AF.
Dalam subpenelitian dari the Cardiac Insufficiency Bisoprolol Study (CIBIS) II, bisoprolol tidak berpengaruh pada pasien dengan gagal jantung dan AF. Ini juga diamati pada post-hoc analisis the US Carvedilol Heart Failure Trials Program dan studi the Metoprolol CR/XL Randomized Intervention Trial in congestive Heart Failure (MERIT-HF).
Studi tersebut, bagaimanapun, terbatas pada pasien yang lebih muda dengan fraksi ejeksi yang rendah, sedangkan pengaruh prognostik tambahan AF pada gagal jantung tampaknya paling jelas pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tidak menurun. Selain itu, potensi manfaat beta-blocker mungkin berbeda antara pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tidak menurun dibandingkan dengan fraksi ejeksi yang mengalami gangguan.
Dilakukanlah studi oleh Mulder et al., dimana efek menguntungkan dari beta-blokade masih belum jelas pada pasien gagal jantung yang memiliki atrial fibrilasi (AF), terutama pada orang tua. Peneliti mengevaluasi efek nebivolol terhadap outcome kardiovaskular pada pasien usia lanjut dengan gagal jantung dan AF.
Studi SENIOR menunjukkan manfaat keseluruhan nebivolol dibandingkan dengan plasebo pada 2.128 pasien gagal jantung dengan usia > 70 tahun. Pada awal studi, AF terdapat pada 738 (34,7%) pasien. Hasil utama adalah semua penyebab kematian atau rawat inap kardiovaskular. Setelah 21 bulan, kejadian kumulatif dari hasil primer secara signifikan lebih umum pada pasien dengan AF dibandingkan dengan mereka dengan sinus ritme (38,5% vs 30,4%, masing-masing, p < 0.001).
Pada pasien dengan AF, nebivolol tidak memiliki efek menguntungkan pada hasil primer [nebivolol vs plasebo, 37.1% vs 39.8%, rasio hazard (HR) 0.92; 95% confidence interval (CI), 0.73-1.17; p = 0.46], berbeda dengan pasien dengan irama sinus (28.1% vs 32.9%, pada nebivolol vs kelompok plasebo, masing-masing, HR 0.82; 95% CI 0.67-0.99; p = 0.049). Pada pasien dengan AF, hasil primer adalah serupa dalam kelompok fraksi ejeksi terganggu dan yang tidak menurun (39.0% dengan LVEF d” 35% vs 37.3% pada pasien dengan LVEF > 35%). Tidak terdapat bukti manfaat dari nebivolol pada pasien AF yang dikelompokkan berdasarkan LVEF.
Pada analisis post-hoc, nebivolol tampaknya kurang memiliki manfaat pada outcome pasien dengan gagal jantung dan AF dibandingkan terhadap efek pada pasien dengan irama sinus. Tidak ada randomized trials telah dilakukan khusus untuk menyelidiki kemanjuran beta-blokade pada pasien gagal jantung dengan AF.
Pada pasien usia lanjut dengan gagal jantung yang stabil, mereka yang memiliki AF berada pada risiko yang lebih tinggi dari kematian semua penyebab dan rawat inap kardiovaskular. Selanjutnya, pada pasien dengan AF nebivolol memiliki efek yang kurang pada mortalitas semua penyebab dan rawat inap kardiovaskular dibandingkan dengan pasien dengan irama sinus pada awal, dan efek ini terlepas dari fraksi ejeksi. Efek dari beta-blocker pada pasien dengan gagal jantung dan AF perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. (Eur J Heart Fail 2012: 14; 1171-78)
Dampak prognostik AF pada rawat inap untuk gagal jantung dan kematian, bagaimanapun juga tetap tidak pasti. Beta-blocker direkomendasikan sebagai pengobatan rutin pada gagal jantung kronis yang stabil dalam rangka meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi rawat inap untuk gagal jantung.
Meskipun secara umum diasumsikan bahwa efek dari penghambat beta di AF mirip dengan yang di sinus ritme, sejauh ini tidak ada efek menguntungkan dari penghambat beta pada pasien gagal jantung dengan AF.
Dalam subpenelitian dari the Cardiac Insufficiency Bisoprolol Study (CIBIS) II, bisoprolol tidak berpengaruh pada pasien dengan gagal jantung dan AF. Ini juga diamati pada post-hoc analisis the US Carvedilol Heart Failure Trials Program dan studi the Metoprolol CR/XL Randomized Intervention Trial in congestive Heart Failure (MERIT-HF).
Studi tersebut, bagaimanapun, terbatas pada pasien yang lebih muda dengan fraksi ejeksi yang rendah, sedangkan pengaruh prognostik tambahan AF pada gagal jantung tampaknya paling jelas pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tidak menurun. Selain itu, potensi manfaat beta-blocker mungkin berbeda antara pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tidak menurun dibandingkan dengan fraksi ejeksi yang mengalami gangguan.
Dilakukanlah studi oleh Mulder et al., dimana efek menguntungkan dari beta-blokade masih belum jelas pada pasien gagal jantung yang memiliki atrial fibrilasi (AF), terutama pada orang tua. Peneliti mengevaluasi efek nebivolol terhadap outcome kardiovaskular pada pasien usia lanjut dengan gagal jantung dan AF.
Studi SENIOR menunjukkan manfaat keseluruhan nebivolol dibandingkan dengan plasebo pada 2.128 pasien gagal jantung dengan usia > 70 tahun. Pada awal studi, AF terdapat pada 738 (34,7%) pasien. Hasil utama adalah semua penyebab kematian atau rawat inap kardiovaskular. Setelah 21 bulan, kejadian kumulatif dari hasil primer secara signifikan lebih umum pada pasien dengan AF dibandingkan dengan mereka dengan sinus ritme (38,5% vs 30,4%, masing-masing, p < 0.001).
Pada pasien dengan AF, nebivolol tidak memiliki efek menguntungkan pada hasil primer [nebivolol vs plasebo, 37.1% vs 39.8%, rasio hazard (HR) 0.92; 95% confidence interval (CI), 0.73-1.17; p = 0.46], berbeda dengan pasien dengan irama sinus (28.1% vs 32.9%, pada nebivolol vs kelompok plasebo, masing-masing, HR 0.82; 95% CI 0.67-0.99; p = 0.049). Pada pasien dengan AF, hasil primer adalah serupa dalam kelompok fraksi ejeksi terganggu dan yang tidak menurun (39.0% dengan LVEF d” 35% vs 37.3% pada pasien dengan LVEF > 35%). Tidak terdapat bukti manfaat dari nebivolol pada pasien AF yang dikelompokkan berdasarkan LVEF.
Pada analisis post-hoc, nebivolol tampaknya kurang memiliki manfaat pada outcome pasien dengan gagal jantung dan AF dibandingkan terhadap efek pada pasien dengan irama sinus. Tidak ada randomized trials telah dilakukan khusus untuk menyelidiki kemanjuran beta-blokade pada pasien gagal jantung dengan AF.
Pada pasien usia lanjut dengan gagal jantung yang stabil, mereka yang memiliki AF berada pada risiko yang lebih tinggi dari kematian semua penyebab dan rawat inap kardiovaskular. Selanjutnya, pada pasien dengan AF nebivolol memiliki efek yang kurang pada mortalitas semua penyebab dan rawat inap kardiovaskular dibandingkan dengan pasien dengan irama sinus pada awal, dan efek ini terlepas dari fraksi ejeksi. Efek dari beta-blocker pada pasien dengan gagal jantung dan AF perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. (Eur J Heart Fail 2012: 14; 1171-78)
SL Purwo
Kardiologi Kuantum (11): Pentalogi CJI 2012-2016 dan Cardiovascular Link: Across The Boundary of Cardiovascular Disease
“I never found understanding about universal law only through analytical thoughts. The only real valuable thing is intuition” ~Albert Einstein
JUDUL diatas adalah judul ‘opening speech’ yang seyogyanya disampaikan oleh seorang kardiolog senior, karena beliau dinas ke luar negeri dengan senang hati penulis bersedia menggantikannya. Judul tersebut rupanya merupakan program saintifik dari APCD XI, Annual Progress of Cardiovascular Disease yang ke-11 (2012), suatu program ilmiah tahunan PERKI Banten.
Dr. Daniel Tanubudi, SpJP dalam salam hangatnya sebagai chairman pertemuan tersebut menjelaskan keinginan PERKI Banten untuk mengajak pesertanya untuk memperluas cakrawala pengetahuan dengan mendalami spesialis lain seperti pulmunologi, endokrinologi, nephrologi, dan obstetri-ginekologi yang terkait dengan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Cardiovascular Link. Tentu saja penulis setuju dengan istilah cardiovascular link karena sirkulasi kardio vaskular memperdarahi seluruh organ-organ tubuh. Pada fase sistolik, jantung kanan dan kiri memompa darah ke paru-paru dan ke seluruh organ tubuh. Tidak mengherankan ketika berbagai organ diintegrasikan dalam sistim pendidikan di fakultas kedokteran, sistim kardiovaskular adalah sistim yang memiliki link yang terbesar dan terbanyak. Apabila suatu sirkulasi tertutup didefinisikan sebagai sebuah sistim maka diperlukan pompa, pipa dan material yang bergerak di dalamnya. Nah, sirkulasi ketiga memiliki syarat-syarat tersebut yaitu sirkulasi koroner, yang pembuluhnya terisi dari sinus valsalva aorta pada vase diastolik, memperdarahi jantung melewati arteri dan vena, dan akhirnya bermuara di sinus koronarius pada serambi kanan.
Link-link tersebut harus menjadi perhatian bersama, dipelajari sesuai tugas pokok dan fungsi profesi masing-masing dengan mengacu standar yang paling tinggi. Di dalam penelitian-penelitian kedokteran menggunakan metodologi RCT dan analisis meta.
Kalau diperhatikan dengan seksama, Kedokteran Barat telah berhasil melakukan “hegemoni” ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga suatu pengobatan atau tindakan yang tidak berdasarkan RCT, analisis meta dengan induksi statistik tertentu kebenaran dan kesahihannya disangsikan. Ini patut kita renungkan sebagai batas-batas, sekat-sekat yang telah kita buat. Bagaimana dengan Kedokteran Timur dengan herbal, substrat binatang melata yang belum mampu menembus batas-batas imajiner tersebut? Penulis berpendapat sepanjang masih dalam koridor bioetika kedokteran yang dikenal sebagai beneficent, non maleficent, autonomy, dan justice dapat digunakan secara terbatas sampai ilmu pengetahuan menerimanya secara utuh dikemudian hari.
Hegemoni ilmu kardiologi dan kedokteran tersebut berasal dari mazhab filasafat positivisme, fenomenologi yang mensyaratkan pengukuran yang persis, rigid dengan metodologi dan di buktikan atau disalahkan induksinya oleh statistik yang tepat selain itu... bukan ilmiah. Apakah ilmu kedokteran yang menyangkut manusia secara keseluruhan (tiga dunia/dimensi) memang demikian? Bukankah ilmu kedokteran juga seni? Tidak dipungkiri ada juga dokter yang bermazhab teologian daripada stastisian. Hanya ilmu fisika yang mampu mengikuti dasar-dasar filsafat positivisme tersebut.
Anehnya, Albert Enstein (1879-1955) fisikawan agung telah memberikan pencerahan yang lain. “Intuisi adalah berkah gaib dan pemikiran rasional adalah pembantu yang dipercaya.” Rupanya selama ini kita telah salah karena telah menciptakan masyarakat yang mengagungkan pembantu dan melupakan anugerah gaib. Paul Karl Fayerabend (1924-1994) seorang filsuf ilmu pengetahuan yang kontroversial juga dianggap anti ilmu pengetahuan karena telah mengeksplorasi sisi intuitif manusia bahkan telah mengajukan konsep untuk melawan hegemoni metodologi ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu anything goes dan counterinduction.
Across the boundary. Dengan demikian Albert Einstein dan Paul Karl Fayerabend telah membuka kemungkinan melampaui batas-batas ilmu fisika dan kedokteran yang eksis pada dimensi-1 (makrokosmos, alam semesta didepan pancaindra kita) dan jasad fisik manusia sebagai dimensi-2. Nah, anggap saja kita memasuki dunia meta-fisika meliputi dimensi-3: mental, jiwa, psike yang memiliki kontinuitas melalui TheGate memahami dimensi-4: spiritual, pusat (hidup) imateri, dan alam sejati sebagai jati dirinya manusia (Perhatikan Gambar-2). Kesempatan yang diberikan oleh PERKI Banten seperti inilah yang ditunggu-tunggu untuk menjelaskan posisi Kardiologi Kuantum sebagai suatu pendekatan filsafat-terapan yang “mirip” saudaranya yang lain yaitu psikologi (fakultas), psikiatri (departemen), psiko-somatik (subdivisi). Justifikasi semacam ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran kardiologi kuantum di kalangan kardiologi dan kedokteran vaskuler.
Pentalogi CJI 2012-2016, adalah prototipe-pracetak 5 (lima) buku Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia dengan 5 sampul yang berwarna putih (2012: Studium Generale), kuning (2013: Psike), hitam (2014: Ego), merah (2015: Intuisi) dan ungu (2016: Magnum Opus). Sequel prototipe buku-buku tersebut diakhir “Opening Speech” di depan para hadirin dihadiahkan untuk pertama kalinya kepada PERKI Banten karena niat, tekad, dan nekatnya telah mencoba menerobos batas-batas ilmu pengetahuan yang selama ini kita tekuni bersama. Kelima prototipe buku tersebut diterima oleh Dr Daniel Tanubudi sebagai Ketua APCD XI (2012). Penulis berharap Sequel (2012-2016) tersebut berlanjut dengan munculnya Prequel 2017 (sampul hijau) dan Postquel 2018 (sampul biru), yang terakhir ini semoga benar-benar berjudul Kardiologi Kuantum dengan pendekatan filsafat-terapan Candra Jiwa Indonesia untuk mendampingi ilmu fisika kuantum dan ilmu kardiologi dan kedokteran vaskular. Terima kasih atas perhatiannya.
Vivat res cogitans, vivat academica, vivat professores!
JUDUL diatas adalah judul ‘opening speech’ yang seyogyanya disampaikan oleh seorang kardiolog senior, karena beliau dinas ke luar negeri dengan senang hati penulis bersedia menggantikannya. Judul tersebut rupanya merupakan program saintifik dari APCD XI, Annual Progress of Cardiovascular Disease yang ke-11 (2012), suatu program ilmiah tahunan PERKI Banten.
Dr. Daniel Tanubudi, SpJP dalam salam hangatnya sebagai chairman pertemuan tersebut menjelaskan keinginan PERKI Banten untuk mengajak pesertanya untuk memperluas cakrawala pengetahuan dengan mendalami spesialis lain seperti pulmunologi, endokrinologi, nephrologi, dan obstetri-ginekologi yang terkait dengan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Cardiovascular Link. Tentu saja penulis setuju dengan istilah cardiovascular link karena sirkulasi kardio vaskular memperdarahi seluruh organ-organ tubuh. Pada fase sistolik, jantung kanan dan kiri memompa darah ke paru-paru dan ke seluruh organ tubuh. Tidak mengherankan ketika berbagai organ diintegrasikan dalam sistim pendidikan di fakultas kedokteran, sistim kardiovaskular adalah sistim yang memiliki link yang terbesar dan terbanyak. Apabila suatu sirkulasi tertutup didefinisikan sebagai sebuah sistim maka diperlukan pompa, pipa dan material yang bergerak di dalamnya. Nah, sirkulasi ketiga memiliki syarat-syarat tersebut yaitu sirkulasi koroner, yang pembuluhnya terisi dari sinus valsalva aorta pada vase diastolik, memperdarahi jantung melewati arteri dan vena, dan akhirnya bermuara di sinus koronarius pada serambi kanan.
Link-link tersebut harus menjadi perhatian bersama, dipelajari sesuai tugas pokok dan fungsi profesi masing-masing dengan mengacu standar yang paling tinggi. Di dalam penelitian-penelitian kedokteran menggunakan metodologi RCT dan analisis meta.
Kalau diperhatikan dengan seksama, Kedokteran Barat telah berhasil melakukan “hegemoni” ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga suatu pengobatan atau tindakan yang tidak berdasarkan RCT, analisis meta dengan induksi statistik tertentu kebenaran dan kesahihannya disangsikan. Ini patut kita renungkan sebagai batas-batas, sekat-sekat yang telah kita buat. Bagaimana dengan Kedokteran Timur dengan herbal, substrat binatang melata yang belum mampu menembus batas-batas imajiner tersebut? Penulis berpendapat sepanjang masih dalam koridor bioetika kedokteran yang dikenal sebagai beneficent, non maleficent, autonomy, dan justice dapat digunakan secara terbatas sampai ilmu pengetahuan menerimanya secara utuh dikemudian hari.
Hegemoni ilmu kardiologi dan kedokteran tersebut berasal dari mazhab filasafat positivisme, fenomenologi yang mensyaratkan pengukuran yang persis, rigid dengan metodologi dan di buktikan atau disalahkan induksinya oleh statistik yang tepat selain itu... bukan ilmiah. Apakah ilmu kedokteran yang menyangkut manusia secara keseluruhan (tiga dunia/dimensi) memang demikian? Bukankah ilmu kedokteran juga seni? Tidak dipungkiri ada juga dokter yang bermazhab teologian daripada stastisian. Hanya ilmu fisika yang mampu mengikuti dasar-dasar filsafat positivisme tersebut.
Anehnya, Albert Enstein (1879-1955) fisikawan agung telah memberikan pencerahan yang lain. “Intuisi adalah berkah gaib dan pemikiran rasional adalah pembantu yang dipercaya.” Rupanya selama ini kita telah salah karena telah menciptakan masyarakat yang mengagungkan pembantu dan melupakan anugerah gaib. Paul Karl Fayerabend (1924-1994) seorang filsuf ilmu pengetahuan yang kontroversial juga dianggap anti ilmu pengetahuan karena telah mengeksplorasi sisi intuitif manusia bahkan telah mengajukan konsep untuk melawan hegemoni metodologi ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu anything goes dan counterinduction.
Across the boundary. Dengan demikian Albert Einstein dan Paul Karl Fayerabend telah membuka kemungkinan melampaui batas-batas ilmu fisika dan kedokteran yang eksis pada dimensi-1 (makrokosmos, alam semesta didepan pancaindra kita) dan jasad fisik manusia sebagai dimensi-2. Nah, anggap saja kita memasuki dunia meta-fisika meliputi dimensi-3: mental, jiwa, psike yang memiliki kontinuitas melalui TheGate memahami dimensi-4: spiritual, pusat (hidup) imateri, dan alam sejati sebagai jati dirinya manusia (Perhatikan Gambar-2). Kesempatan yang diberikan oleh PERKI Banten seperti inilah yang ditunggu-tunggu untuk menjelaskan posisi Kardiologi Kuantum sebagai suatu pendekatan filsafat-terapan yang “mirip” saudaranya yang lain yaitu psikologi (fakultas), psikiatri (departemen), psiko-somatik (subdivisi). Justifikasi semacam ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran kardiologi kuantum di kalangan kardiologi dan kedokteran vaskuler.
Gambar 2. Posisi Jantung di Alam Semesta
TheGate (II) adalah kontinuitas antara sadar pribadi (EGO) dengan sadar kolektif di dalam Pusat (hidup) Imateri di dalam diri manusia, menghubungkan dimensi-3 (mental) dan dimensi-4 (spiritual), menurut pandangan Candra Jiwa Indonesia (Soenarto).Pentalogi CJI 2012-2016, adalah prototipe-pracetak 5 (lima) buku Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia dengan 5 sampul yang berwarna putih (2012: Studium Generale), kuning (2013: Psike), hitam (2014: Ego), merah (2015: Intuisi) dan ungu (2016: Magnum Opus). Sequel prototipe buku-buku tersebut diakhir “Opening Speech” di depan para hadirin dihadiahkan untuk pertama kalinya kepada PERKI Banten karena niat, tekad, dan nekatnya telah mencoba menerobos batas-batas ilmu pengetahuan yang selama ini kita tekuni bersama. Kelima prototipe buku tersebut diterima oleh Dr Daniel Tanubudi sebagai Ketua APCD XI (2012). Penulis berharap Sequel (2012-2016) tersebut berlanjut dengan munculnya Prequel 2017 (sampul hijau) dan Postquel 2018 (sampul biru), yang terakhir ini semoga benar-benar berjudul Kardiologi Kuantum dengan pendekatan filsafat-terapan Candra Jiwa Indonesia untuk mendampingi ilmu fisika kuantum dan ilmu kardiologi dan kedokteran vaskular. Terima kasih atas perhatiannya.
Vivat res cogitans, vivat academica, vivat professores!
Budhi S Purwo
Right ventricular outflow tract systolic excursion: Parameter Baru Ekokardiografi dari Fungsi Ventrikel Kanan
FUNGSI ventrikel kanan (RV) memiliki implikasi prognostik dan terapeutik yang penting. Rendahnya kontraksi RV dapat memprediksikan angka harapan hidup yang jelek pada pasien gagal jantung kiri dan pada pasien regurgitasi katup tricuspid (TR). Fungsi RV penting dalam menyeleksi pasien dengan implantasi alat bantu ventrikel kiri dan dapat menjadi rujukan kapan dilakukannya tindakan operasi pada pasien TR berat.
Penilaian fungsi RV menggunakan ekokardiografi merupakan hal yang menantang. Metode kuantitatif sekarang ini seperti 2D fractional area change (FAC), tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE), tissue Doppler S2 dan isovolumic myocardial acceleration (IVA), serta 3D echocardiography semuanya memiliki kekurangan.
FAC tidak selalu mewakili fraksi ejeksi (EF) dari seluruh RV, TAPSE mengukur perpindahan longitudinal dinding lateral RV, sedangkan RV memiliki struktur 3D yang kompleks, parameter tissue Doppler sangat tergantung pada pengambilan sudut dan data normatif yang terbatas, dan 3D echocardiography dibatasi oleh kualitas pencitraan yang ada saat ini dari batas RV.
Suatu “tool” tambahan untuk mengevaluasi fungsi RV dengan cara yang sederhana dan mudah sangatlah diperlukan. Right ventricular outflow tract (RVOT) memiliki serat otot superfisial yang melingkar, menyebabkan kontraksi RVOT secara radial selama sistol. Ahli bedah sering memperkirakan fungsi RV selama operasi dengan melihat kontraksi RVOT.
Dilakukanlah studi oleh Asmer et al. yang bertujuan untuk mengevaluasi parameter baru fungsi RV, right ventricular outflow tract systolic excursion (RVOT_SE) dengan menggunakan M-Mode echocardiography.
RVOT_SE diukur dengan menggunakan M-Mode echocardiography dari parasternal short-axis view pada tingkat katup aorta, dan didefinisikan sebagai systolic excursion dari dinding anterior RVOT. RVOT_SE diukur pada 50 pasien (usia 64 ± 18 tahun, 28 laki-laki) dengan fungsi RV normal [RV fractional area change (FAC) > 35% dan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) > 1,6 cm) dan 40 pasien (usia 68 ± 12 tahun, 35 laki-laki) dengan fungsi RV menurun (RV FAC < 35% dan TAPSE < 1,6 cm).
RV FAC adalah 46 ± 7% pada kelompok RV normal dan 22 ± 5% pada kelompok RV menurun (p < 0,0001). TAPSE adalah 2,2 ± 0.4 cm pada kelompok normal dan RV 1,0 ± 0,2 cm dalam kelompok RV menurun (p < 0,0001). RVOT_SE adalah 9,6 ± 1,5 mm pada kelompok RV normal dan 1,7 ± 1.1 mm pada kelompok RV menurun (p < 0,0001). RVOT_SE < 6 mm diidentifikasi pada pasien dengan fungsi RV menurun dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Angka harapan hidup pada 1 tahun adalah 63% pada pasien dengan RVOT_SE < 6 mm, dan 84% pada pasien dengan RVOT_SE > 6 mm, p = 0,004.
RVOT_SE merupakan parameter fungsi sistolik RV yang baru dan menjanjikan. Sangat sederhana, membutuhkan hanya satu pemeriksaan M-Mode dari parasternal short axis view. Hal ini dapat secara akurat memisahkan pasien dengan fungsi RV yang normal dan menurun. Studi besar lainnya dibutuhkan untuk menilai kesahihan RVOT_SE ketika dibandingkan dengan metode ekokardiografi yang digunakan saat ini serta tehnik pencitraan lainnya pada pasien dengan berbagai penyakit yang berhubungan dengan jantung kanannya.(Eur Heart J Cardiovasc Imag 2012: 13; 871-7)
Penilaian fungsi RV menggunakan ekokardiografi merupakan hal yang menantang. Metode kuantitatif sekarang ini seperti 2D fractional area change (FAC), tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE), tissue Doppler S2 dan isovolumic myocardial acceleration (IVA), serta 3D echocardiography semuanya memiliki kekurangan.
FAC tidak selalu mewakili fraksi ejeksi (EF) dari seluruh RV, TAPSE mengukur perpindahan longitudinal dinding lateral RV, sedangkan RV memiliki struktur 3D yang kompleks, parameter tissue Doppler sangat tergantung pada pengambilan sudut dan data normatif yang terbatas, dan 3D echocardiography dibatasi oleh kualitas pencitraan yang ada saat ini dari batas RV.
Suatu “tool” tambahan untuk mengevaluasi fungsi RV dengan cara yang sederhana dan mudah sangatlah diperlukan. Right ventricular outflow tract (RVOT) memiliki serat otot superfisial yang melingkar, menyebabkan kontraksi RVOT secara radial selama sistol. Ahli bedah sering memperkirakan fungsi RV selama operasi dengan melihat kontraksi RVOT.
Dilakukanlah studi oleh Asmer et al. yang bertujuan untuk mengevaluasi parameter baru fungsi RV, right ventricular outflow tract systolic excursion (RVOT_SE) dengan menggunakan M-Mode echocardiography.
RVOT_SE diukur dengan menggunakan M-Mode echocardiography dari parasternal short-axis view pada tingkat katup aorta, dan didefinisikan sebagai systolic excursion dari dinding anterior RVOT. RVOT_SE diukur pada 50 pasien (usia 64 ± 18 tahun, 28 laki-laki) dengan fungsi RV normal [RV fractional area change (FAC) > 35% dan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) > 1,6 cm) dan 40 pasien (usia 68 ± 12 tahun, 35 laki-laki) dengan fungsi RV menurun (RV FAC < 35% dan TAPSE < 1,6 cm).
RV FAC adalah 46 ± 7% pada kelompok RV normal dan 22 ± 5% pada kelompok RV menurun (p < 0,0001). TAPSE adalah 2,2 ± 0.4 cm pada kelompok normal dan RV 1,0 ± 0,2 cm dalam kelompok RV menurun (p < 0,0001). RVOT_SE adalah 9,6 ± 1,5 mm pada kelompok RV normal dan 1,7 ± 1.1 mm pada kelompok RV menurun (p < 0,0001). RVOT_SE < 6 mm diidentifikasi pada pasien dengan fungsi RV menurun dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Angka harapan hidup pada 1 tahun adalah 63% pada pasien dengan RVOT_SE < 6 mm, dan 84% pada pasien dengan RVOT_SE > 6 mm, p = 0,004.
RVOT_SE merupakan parameter fungsi sistolik RV yang baru dan menjanjikan. Sangat sederhana, membutuhkan hanya satu pemeriksaan M-Mode dari parasternal short axis view. Hal ini dapat secara akurat memisahkan pasien dengan fungsi RV yang normal dan menurun. Studi besar lainnya dibutuhkan untuk menilai kesahihan RVOT_SE ketika dibandingkan dengan metode ekokardiografi yang digunakan saat ini serta tehnik pencitraan lainnya pada pasien dengan berbagai penyakit yang berhubungan dengan jantung kanannya.(Eur Heart J Cardiovasc Imag 2012: 13; 871-7)
SL Purwo
Fraksi Ejeksi dan Outcomes pada Pasien AF dan Gagal Jantung: the Loire Valley Atrial Fibrillation Project
RISIKO seumur hidup satu dari empat dan satu dari lima atrial fibrilasi (AF) akibat non katup dan gagal jantung memberikan beban berat pada kesehatan masyarakat akibat morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan.
Gagal jantung merupakan sebab dan memberikan efek AF non katup. Pada pasien AF non katup, gagal jantung dihubungkan dengan peningkatan risiko stroke dan kejadian trombo emboli.
Gagal jantung mungkin dihubungkan dengan spectrum fungsi ventrikel kiri. Terdapat debat mengenai definisi gagal jantung berdasarkan pengukuran kuantitatif seperti fraksi ejeksi ventrikel kiri dan bervariasi di antara beberapa panduan klinis, studi klinis maupun studi epidemiologi.
Studi-studi terdahulu memperlihatkan perbedaan profil faktor risiko dan outcomes pasien gagal jantung fraksi ejeksi normal (HFPEF) dengan penurunan fraksi ejeksi (HFREF). HFPEF terdapat 50% pada pasien gagal jantung. Beberapa studi mengindikasikan tingka tmorbiditas dan mortalitas yang sama serta profil faktor risiko lebih berat pada kelompok HFPEF dibandingkan dengan HFREF.
Gagal jantung secara klinis telah memperlihatkan untuk menambahkan nilai prediktif stroke dan kejadian trombo emboli pada pasien AF non katup, tetapi peranan kuantitatif fraksi ejeksi sebagai prediksi risiko pada pasien tersebut belumlah jelas.
Analisis ekokardiografi terbesar dari investigator AF menemukan disfungsi ventrikel kiri tingkat sedang-berat dengan eko 2D hanya sebagai prediktor independen pada analisis multivariat.
Diakukanlah studi kohort oleh Banerjee et al. (the Loire Valley Atrial Fibrillation Project) untuk menganalisa pasien AF non katup dan gagal jantung dengan rekam medis fraksi ejeksi untuk menilai apakah fraksi ejeksi sebagai faktor risiko independen stroke atau trombo emboli dan perdarahan serta melihat perbedaan profil faktor risiko dan outcomes diantara pasien AF non katup dengan HFREF dibandingkan HFPEF.
Pasien AF non katup, riwayat gagal jantung dan pengukuran fraksi ejeksi dimasukan dalam kriteria inklusi pada analisis retrospektif. Pasien gagal jantung dan HFPEF didefinisikan sebagai gagal jantung klinis dan fraksi ejeksi > 50%.
Diantara 7.156 pasien AF non katup, 1.276 (17.8%) pasien dengan gagal jantung. 747 dari 1.276 (58.5%) pasien mendapatkan terapi antagonis vitamin K. Tingkat kejadian stroke atau trombo emboli per 100 orang/tahun 1.05 (95% CI 0.87-1.25).
Pasien HFPEF lebih sering terdapat pada wanita (p < 0.001), usia tua (p < 0.001) dan hipertensi (p < 0.001) dan jarang terkena penyakit vaskuler sebelumnya (p < 0.001).
Tidak terdapat perbedaan pada tingkat stroke (p = 0.17) dan stroke/tombo emboli (p = 0.11) diantara pasien HFPEF dan HFREF. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mortalitas oleh semua sebab ketika distratifikasi berdasarkan fraksi ejeksinya.
Pada analisis multivariat, hanya riwayat stroke (HR 2.36, 95% CI 1.45-3.86) dan penyakit vaskuler (HR 1.57, 95% CI 1.07-2.30) yang meningkatkan risiko stroke/ trombo emboli diantara pasien AF non katup dengan gagal jantung, tetapi fraksi ejeksinya < 35% tidak berpengaruh (HR 0.75, 95% CI 0.44-1.30).
Studi ini memperlihatkan tingkat stroke, stroke/trombo emboli, kematian dan perdarahan adalah sama pada HFPEF dan HFREF. Hanya riwayat stroke dan penyakit vaskuler secara independen meningkatkan risiko stroke/trombo emboli pada pasien-pasien tersebut. Fraksi ejeksi tidak memperlihatkan nilai lebih terhadap prediksi risiko stroke pada pasien AF non katup dan gagal jantung, serta peningkatan risiko dari adverse outcomes dihubungkan dengan gagal jantung klinis pada pasien AF non katup yang tidak berhubungan secara signifikan dengan pengukuran fraksi ejeksi. (Eur J of Heart Failure 2012; 14: 295-301)
Pasien AF non katup, riwayat gagal jantung dan pengukuran fraksi ejeksi dimasukan dalam kriteria inklusi pada analisis retrospektif. Pasien gagal jantung dan HFPEF didefinisikan sebagai gagal jantung klinis dan fraksi ejeksi > 50%.
Diantara 7.156 pasien AF non katup, 1.276 (17.8%) pasien dengan gagal jantung. 747 dari 1.276 (58.5%) pasien mendapatkan terapi antagonis vitamin K. Tingkat kejadian stroke atau trombo emboli per 100 orang/tahun 1.05 (95% CI 0.87-1.25).
Pasien HFPEF lebih sering terdapat pada wanita (p < 0.001), usia tua (p < 0.001) dan hipertensi (p < 0.001) dan jarang terkena penyakit vaskuler sebelumnya (p < 0.001).
Tidak terdapat perbedaan pada tingkat stroke (p = 0.17) dan stroke/tombo emboli (p = 0.11) diantara pasien HFPEF dan HFREF. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mortalitas oleh semua sebab ketika distratifikasi berdasarkan fraksi ejeksinya.
Pada analisis multivariat, hanya riwayat stroke (HR 2.36, 95% CI 1.45-3.86) dan penyakit vaskuler (HR 1.57, 95% CI 1.07-2.30) yang meningkatkan risiko stroke/ trombo emboli diantara pasien AF non katup dengan gagal jantung, tetapi fraksi ejeksinya < 35% tidak berpengaruh (HR 0.75, 95% CI 0.44-1.30).
Studi ini memperlihatkan tingkat stroke, stroke/trombo emboli, kematian dan perdarahan adalah sama pada HFPEF dan HFREF. Hanya riwayat stroke dan penyakit vaskuler secara independen meningkatkan risiko stroke/trombo emboli pada pasien-pasien tersebut. Fraksi ejeksi tidak memperlihatkan nilai lebih terhadap prediksi risiko stroke pada pasien AF non katup dan gagal jantung, serta peningkatan risiko dari adverse outcomes dihubungkan dengan gagal jantung klinis pada pasien AF non katup yang tidak berhubungan secara signifikan dengan pengukuran fraksi ejeksi. (Eur J of Heart Failure 2012; 14: 295-301)
SL Purwo
Apheresis Spesifik Lipoprotein(a) Mengurangi Progresi Aterosklerosis
DATA baru menunjukkan bahwa apheresis spesifik Lipoprotein(a) [Lp(a)] yang ditargetkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) dalam terapi statin dengan peningkatan Lp(a), dapat menstablisasi bahkan mengurangi progresi aterosklerosis. Mengomentari studi tersebut, Maya Safarova, Cardiology Research Center, Moscow, Russia sebagai peneliti utama mengatakan: “Penurunan rata-rata Lp(a) 30 mg/dL menyebabkan penurunan volume plak, terutama komponen fibrosa dan lipid. Hasil positif ini memberikan bukti efek menguntungkan penurunan Lp(a) di atas terapi statin optimal untuk menurunkan LDL.”
Peningkatan kadar Lp(a) plasma telah diidentifikasi sebagai kontributor penting dalam risiko kardiovaskular di luar LDL dalam konsensus panel European Atherosclerosis Society (EAS) belum lama ini. Konsensus panel EAS merekomendasikan kadar Lp(a) <50 mg/dL sebagai prioritas terapi, setelah manajemen LDL. Panduan ini telah disetujui oleh US National Lipid Association dan the International Atherosclerosis Society, dan dimasukkan ke dalam European Guidelines for Management of Dyslipidaemia 2011.Studi ini merekrut 32 pasien (rata-rata usia 53 tahun, 66% laki-laki) dengan peningkatan Lp(a) (>50 mg/dL) dengan LDL terkontrol oleh terapi atorvastatin. Semua pasien telah memiliki dokumentasi angiografi koroner sebagai bukti PJK. Pasien dialokasikan secara random untuk mendapatkan terapi apheresis Lp(a) seminggu sekali selama 18 bulan atau tanpa terapi. Endpoint primer studi ini adalah rata-rata perubahan total volume atheroma pada bulan ke 18, dinilai dengan intravascular ultrasound (IVUS).
Setelah 18 bulan, Lp(a) berkurang dari baseline hingga 60% pada grup yang dilakukan apheresis Lp(a), dibandingkan dengan tidak ada perubahan di grup yang tidak dilakukan (p=0,04). Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua grup dalam variabel lipid lainnya. Total volume ateroma rata-rata menurun 7,2 mm3, dibandingkan dengan peningkatan 0.1 mm3 pada pasien yang tidak menjalani apheresis. Terdapat lebih banyak segmen yang mengalami regresi dan stabilisasi pada pasien yang menjalani apheresis dibandingkan grup kontrol (70% v 43%, p=0,02). Lebih jauh lagi, plak koroner pada pasien dengan apheresis ditandai dengan tren penurunan jaringan fibrosa (-8,28 mm3 vs. +1,25 mm3, p=0,06).
Mengomentari hasil tersebut, Borge G Nordestgaard, Copenhagen University Hospital dan University of Copenhagen, Denmark mengatakan bahwa temuan positif ini dapat lebih mempertimbangan keluaran klinis dalam evaluasi efek apheresis spesifik Lp(a).
Selama ini Lp(a) kurang diperhatikan karena sulit menurunkannya memang belum ada obat yang spesifik, namun berdasarkan data baru di atas, perlu ditemukan terapi yang dapat menurunkan Lp(a) tanpa perlu apheresis, sehingga stabilisasi plak dan regresi aterosklerosis dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari. (Diterjemahkan dari http://is.gd/9M7pBU)
Peningkatan kadar Lp(a) plasma telah diidentifikasi sebagai kontributor penting dalam risiko kardiovaskular di luar LDL dalam konsensus panel European Atherosclerosis Society (EAS) belum lama ini. Konsensus panel EAS merekomendasikan kadar Lp(a) <50 mg/dL sebagai prioritas terapi, setelah manajemen LDL. Panduan ini telah disetujui oleh US National Lipid Association dan the International Atherosclerosis Society, dan dimasukkan ke dalam European Guidelines for Management of Dyslipidaemia 2011.Studi ini merekrut 32 pasien (rata-rata usia 53 tahun, 66% laki-laki) dengan peningkatan Lp(a) (>50 mg/dL) dengan LDL terkontrol oleh terapi atorvastatin. Semua pasien telah memiliki dokumentasi angiografi koroner sebagai bukti PJK. Pasien dialokasikan secara random untuk mendapatkan terapi apheresis Lp(a) seminggu sekali selama 18 bulan atau tanpa terapi. Endpoint primer studi ini adalah rata-rata perubahan total volume atheroma pada bulan ke 18, dinilai dengan intravascular ultrasound (IVUS).
Setelah 18 bulan, Lp(a) berkurang dari baseline hingga 60% pada grup yang dilakukan apheresis Lp(a), dibandingkan dengan tidak ada perubahan di grup yang tidak dilakukan (p=0,04). Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua grup dalam variabel lipid lainnya. Total volume ateroma rata-rata menurun 7,2 mm3, dibandingkan dengan peningkatan 0.1 mm3 pada pasien yang tidak menjalani apheresis. Terdapat lebih banyak segmen yang mengalami regresi dan stabilisasi pada pasien yang menjalani apheresis dibandingkan grup kontrol (70% v 43%, p=0,02). Lebih jauh lagi, plak koroner pada pasien dengan apheresis ditandai dengan tren penurunan jaringan fibrosa (-8,28 mm3 vs. +1,25 mm3, p=0,06).
Mengomentari hasil tersebut, Borge G Nordestgaard, Copenhagen University Hospital dan University of Copenhagen, Denmark mengatakan bahwa temuan positif ini dapat lebih mempertimbangan keluaran klinis dalam evaluasi efek apheresis spesifik Lp(a).
Selama ini Lp(a) kurang diperhatikan karena sulit menurunkannya memang belum ada obat yang spesifik, namun berdasarkan data baru di atas, perlu ditemukan terapi yang dapat menurunkan Lp(a) tanpa perlu apheresis, sehingga stabilisasi plak dan regresi aterosklerosis dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari. (Diterjemahkan dari http://is.gd/9M7pBU)
Sony Hilal Wicaksono
Disnatremia pada Gagal Jantung
DAMPAK merugikan kadar natrium serum yang rendah pada prognosis pasien gagal jantung dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang menurun (HF-REF) telah dijelaskan dalam beberapa hasil studi, namun tidak secara khusus diteliti pada pasien dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi yang tidak menurun (HF-PEF).
Lebih lanjut, patomekanisme yang tepat mengenai terjadinya hiponatremi pada gagal jantung belumlah ada. Disregulasi endokrin dari sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatis (SNS), penurunan pengisisan arteri akibat mediasi baroreseptor, sekresi vasopressin non osmotic (AVP), gagal ginjal kronik dan terapi diuretik diduga sebagai mekanisme hiponatremia, akan tetapi masih kurang dapat dipahami.
Nilai batas dikatakannya hiponatemia masih menjadi perdebatan. Utilitas klinis juga msih belumlah jelas dan indikasi terapi dari hiponatremia ringan dan sedang (125 mmol/L) pada gagal jantung masih secara kontroversi didiskusikan.
Masih terdapat data yang terbatas mengenai relevansi prognostic hipernatremia pada gagal jantung. Suti besar registri yang mengobservasi peningkatan risiko mortalitas di rumah sakit dihubungkan dengan hipernatremia pada saat datang ke rumah sakit tidak secara lengkap dibahas.
Oleh karena itu dilakukanlah studi oleh Deubner et al. untuk menentukan hubungan disnatremia dan menyelidiki nilai prognostik pada pasien gagal jantung, menganalisis natrium serum baik sebagai variabel kontinyu dan dalam kategori hipo-, normo- dan hipernatremia. Peneliti berhipotesis bahwa baik hipo dan hipernatremia mengindikasikan buruknya prognosis pada pasien dengan HF-REF atau HF-PEF.
Menggunakan seribu pasien konsekutif gagal jantung dengan penyebab yang beragam dan berbagai tingkat keparahan yang diambil dari registry gagal jantung interdisipliner Wurzburg. Model non-linear untuk hubungan antara natrium serum dan risiko kematian yang dihitung dengan menggunakan splines kubik terbatas dan regresi Cox proportional hazard. Median follow-up untuk survivor adalah 5,1 tahun.
Hubungan independen disnatremia termasuk rekomendasi panduan klinis gagal jantung kronis, indicator fungsi ginjal dan asosiasi yang terbalik dari faktor risiko kardiak. Keseluruhan mortalitas sekitar 56%. Baik hiponatremia (n = 72) dan hipernatremia (n = 98) dihubungkan secara signifikan dengan peningkatan risiko mortalitas dengan HR 2.10, 95% CI 1.60-2.77 dan HR 1.91, 95% CI 1.49-2.45. Didapatkan hubungan kurva U dari natrium serum dengan risiko mortalitas. Prognosis yang baik terdapat pada pasien dengan kadar normal tinggi natrium serum (140-145 mmol/L).
Baik hiper- dan hiponatremia mengindikasikan dua kali lipat peningkatan risiko kematian 5-tahun pada pasien dengan gagal jantung terlepas dari penyebab yang mendasarinya dan tingkat kemampuan ventrikel kiri. Ini menggarisbawahi karakter gagal jantung sebagai sindrom melampaui fungsi ventrikel kiri.
Bahkan kadar natrium setengah nilai di bawah nilai referensi dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan. Ambang batas prognostik secara signifikan untuk hiponatremia mungkin masih terletak di dalam rentang referensi saat. Interaksi beberapa agen farmakologis diamati untuk kedua jenis disnatraemia seperti tiazid dan diuretik loop. Tiazid mungkin lebih baik pada pasien yang berisiko untuk hipernatremia. Variasi yang dapat dijelaskan dari disnatraemia dengan menggunakan informasi dari beberapa uji korelasi, namun masih kecil, masih menunjuk ke arah patomekanisme yang belum jelas.
Definisi nilai ambang batas natrium yang optimal untuk penilaian prognostik masih perlu dilakukan studi lebih lanjut, yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah hiponatremia relatif merupakan suatu disbalans neurohormonal epifenomena yang dihubungkan dengan disregulasi volum dan elektrolit atau hanya sebagai hasil terapi. (Eur J Heart Fail 2012: 14; 1147-54)
Lebih lanjut, patomekanisme yang tepat mengenai terjadinya hiponatremi pada gagal jantung belumlah ada. Disregulasi endokrin dari sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatis (SNS), penurunan pengisisan arteri akibat mediasi baroreseptor, sekresi vasopressin non osmotic (AVP), gagal ginjal kronik dan terapi diuretik diduga sebagai mekanisme hiponatremia, akan tetapi masih kurang dapat dipahami.
Nilai batas dikatakannya hiponatemia masih menjadi perdebatan. Utilitas klinis juga msih belumlah jelas dan indikasi terapi dari hiponatremia ringan dan sedang (125 mmol/L) pada gagal jantung masih secara kontroversi didiskusikan.
Masih terdapat data yang terbatas mengenai relevansi prognostic hipernatremia pada gagal jantung. Suti besar registri yang mengobservasi peningkatan risiko mortalitas di rumah sakit dihubungkan dengan hipernatremia pada saat datang ke rumah sakit tidak secara lengkap dibahas.
Oleh karena itu dilakukanlah studi oleh Deubner et al. untuk menentukan hubungan disnatremia dan menyelidiki nilai prognostik pada pasien gagal jantung, menganalisis natrium serum baik sebagai variabel kontinyu dan dalam kategori hipo-, normo- dan hipernatremia. Peneliti berhipotesis bahwa baik hipo dan hipernatremia mengindikasikan buruknya prognosis pada pasien dengan HF-REF atau HF-PEF.
Menggunakan seribu pasien konsekutif gagal jantung dengan penyebab yang beragam dan berbagai tingkat keparahan yang diambil dari registry gagal jantung interdisipliner Wurzburg. Model non-linear untuk hubungan antara natrium serum dan risiko kematian yang dihitung dengan menggunakan splines kubik terbatas dan regresi Cox proportional hazard. Median follow-up untuk survivor adalah 5,1 tahun.
Hubungan independen disnatremia termasuk rekomendasi panduan klinis gagal jantung kronis, indicator fungsi ginjal dan asosiasi yang terbalik dari faktor risiko kardiak. Keseluruhan mortalitas sekitar 56%. Baik hiponatremia (n = 72) dan hipernatremia (n = 98) dihubungkan secara signifikan dengan peningkatan risiko mortalitas dengan HR 2.10, 95% CI 1.60-2.77 dan HR 1.91, 95% CI 1.49-2.45. Didapatkan hubungan kurva U dari natrium serum dengan risiko mortalitas. Prognosis yang baik terdapat pada pasien dengan kadar normal tinggi natrium serum (140-145 mmol/L).
Baik hiper- dan hiponatremia mengindikasikan dua kali lipat peningkatan risiko kematian 5-tahun pada pasien dengan gagal jantung terlepas dari penyebab yang mendasarinya dan tingkat kemampuan ventrikel kiri. Ini menggarisbawahi karakter gagal jantung sebagai sindrom melampaui fungsi ventrikel kiri.
Bahkan kadar natrium setengah nilai di bawah nilai referensi dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan. Ambang batas prognostik secara signifikan untuk hiponatremia mungkin masih terletak di dalam rentang referensi saat. Interaksi beberapa agen farmakologis diamati untuk kedua jenis disnatraemia seperti tiazid dan diuretik loop. Tiazid mungkin lebih baik pada pasien yang berisiko untuk hipernatremia. Variasi yang dapat dijelaskan dari disnatraemia dengan menggunakan informasi dari beberapa uji korelasi, namun masih kecil, masih menunjuk ke arah patomekanisme yang belum jelas.
Definisi nilai ambang batas natrium yang optimal untuk penilaian prognostik masih perlu dilakukan studi lebih lanjut, yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah hiponatremia relatif merupakan suatu disbalans neurohormonal epifenomena yang dihubungkan dengan disregulasi volum dan elektrolit atau hanya sebagai hasil terapi. (Eur J Heart Fail 2012: 14; 1147-54)
SL Purwo
Senyum, Anti Stress, dan Kesehatan Jantung Anda!
“Age old adages, such as ‘grin and bear it’ have suggested smiling to be not only an important nonverbal indicator of happiness but also wishfully promotes smiling as a panacea for life’s stressful events” ~ Tara Kraft
PADA situasi yang sulit, seseorang tidak semudah itu tersenyum. Perasaan yang menyenangkan, akan membuat kita tersenyum. Apakah benar senyuman itu adalah sarana untuk memperbaiki suasana hati orang yang stres? Setidaknya adalah pertanyaan riset di dalam suatu penelitian menurut Psychology & Psychiatry Just grin and bear it! 30 Juli 2012. Tara Kraft dan Sarah Pressman dari Universitas Kansas di dalam Psychological Science, suatu jurnal perhimpunan sain psikologi meneliti potensi manfaat dari senyuman dengan memperhatikan perbedaan berbagai jenis senyuman, kesadaran akan senyuman, kemampuan afektif individu untuk memperbaiki kembali setelah menghadapi episode stres. Adagium kuno yang diyakini oleh Tara Kraft ketika kita tersenyum lebar dan mempertahankannya, adalah obat untuk menghadapi segala macam stres kehidupan. Sebagai ilmuwan sah-sah saja ingin membuktikannya bahwa kata-kata kuno tersebut memiliki makna saintifik dengan membuktikan kebenarannya secara metodologi dan induksi statistik yang pas untuk itu.
Rupanya, senyuman yang kita kenal sehari-hari itu secara ilmu perilaku dapat dibagi menjadi dua yaitu yang standar, menggunakan otot-otot disekitar mulut, dan yang asli atau senyuman gaya Duchenne yang menggunakan otot-otot disekitar mulut dan mata, Riset sebelumnya memperlihatkan emosi positif dapat membantu menenangkan selama waktu stres dan senyuman dapat mempengaruhi emosi; walaupun demikian penelitian Kraft dan Pressman adalah pertama kalinya secara eksperimen memanipulasi senyuman orang sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk meneliti pengaruhnya terhadap stres.
Peneliti mengumpulkan 169 responden dari Universitas Midwestern. Studi ini memiliki dua fase: pelatihan dan penilaian. Selama fase pelatihan responden dibagi dalam tiga kelompok, setiap kelompok dilatih untuk memiliki ekspresi facial yang berbeda. Responden disuruh menggigit sumpit di mulutnya agar menggunakan otot facial dengan ekspresi netral, senyuman standar, atau senyuman Duchenne. Sumpit adalah esensial pada upaya ini sebab mereka harus mengajak orang lain untuk tersenyum tanpa sadar yang bersangkutan juga melakukan hal yang sama: hanya separuh dari kelompok secara aktif diinstruksikan tersenyum.
Pada fase penilaian, responden diminta mengerjakan berbagai aktivitas, yang tanpa sepengetahuannya di disain untuk stres. Pertama adalah aktivitas yang menyebabkan stres dengan mencari satu bintang menggunakan cermin yang dipegang dengan tangan yang non dominan berdasarkan refleksi bintang di dalam cermin. Aktivitas yang menyebabkan stres kedua adalah memasukkan tangan di dalam air es. Selama dua kegiatan yang memicu stres responden menggigit sumpit di mulutnya sesuai dengan apa yang dipikirkan sewaktu pelatihan. Peneliti mengukur denyut jantung responden dan melaporkan tingkat stresnya selama menjalani fase perlakuan tersebut.
Hasil studi menunjukkan bahwa senyuman sungguh-sungguh mempengaruhi status fisik kita: membandingkan responden yang mengekspresikan muka yang netral, responden yang diinstruksikan tersenyum, dan khususnya bagi mereka yang melakukan senyuman Duchenne, memiliki denyut nadi yang rendah setelah aktivitas yang membuat stres dihentikan. Responden yang memakai sumpit dan menyuruh tersenyum tetapi secara eksplisit tidak disuruh tersenyum seperti pada fase pelatihan, juga dilaporkan denyut jantungnya menurun sedikit berarti perasaannya positif dibanding dengan mereka yang mempertahankan ekspresi muka yang netral.
Penemuan ini memperlihatkan bahwa senyuman selama menghadapi stres berjangka pendek dapat membantu mengurangi intensitas respon tubuh terhadap stres, tanpa tergantung perasaan senangnya responden. “Jika anda sewaktu-waktu terjebak lalu-lintas atau menghadapi stres yang lain,” kata Pressman, “cobalah mempertahankan senyuman di muka anda barang sekejab. Kegiatan ini tidak hanya menolong anda sesuai konsep psikologi ‘Senyuman lebar sekejap dan pertahankanlah’ (Just grin and bear it!), tetapi juga akan meningkatkan kesehatan jantung anda!”
Menurut catatan penulis, diberbagai kebudayaan termasuk agama pasti banyak perilaku-perilaku sederhana tentang bagaimana seharusnya orang tersenyum yang diajarkan kepada pemangku kebudayaan itu dan dituturkan secara turun-temurun. Perhatikan ajaran orang tua, leluhur tentang pentingnya “sering menampilkan senyuman yang diekspresikan secara tulus akan membuat senang hati orang banyak” (Jawa: “Ulat sumeh agawe renaning wong akeh”) atau “senyuman itu ibadah” dapat dianggap telah mendapat legitimasi saintifik berdasarkan interpolasi dari hasil studi psikologi mazhab perilaku tersebut. (http://medicalxpress.com/news/2012-07-stress-recovery.html cited Sept. 6, 2012)
PADA situasi yang sulit, seseorang tidak semudah itu tersenyum. Perasaan yang menyenangkan, akan membuat kita tersenyum. Apakah benar senyuman itu adalah sarana untuk memperbaiki suasana hati orang yang stres? Setidaknya adalah pertanyaan riset di dalam suatu penelitian menurut Psychology & Psychiatry Just grin and bear it! 30 Juli 2012. Tara Kraft dan Sarah Pressman dari Universitas Kansas di dalam Psychological Science, suatu jurnal perhimpunan sain psikologi meneliti potensi manfaat dari senyuman dengan memperhatikan perbedaan berbagai jenis senyuman, kesadaran akan senyuman, kemampuan afektif individu untuk memperbaiki kembali setelah menghadapi episode stres. Adagium kuno yang diyakini oleh Tara Kraft ketika kita tersenyum lebar dan mempertahankannya, adalah obat untuk menghadapi segala macam stres kehidupan. Sebagai ilmuwan sah-sah saja ingin membuktikannya bahwa kata-kata kuno tersebut memiliki makna saintifik dengan membuktikan kebenarannya secara metodologi dan induksi statistik yang pas untuk itu.
Rupanya, senyuman yang kita kenal sehari-hari itu secara ilmu perilaku dapat dibagi menjadi dua yaitu yang standar, menggunakan otot-otot disekitar mulut, dan yang asli atau senyuman gaya Duchenne yang menggunakan otot-otot disekitar mulut dan mata, Riset sebelumnya memperlihatkan emosi positif dapat membantu menenangkan selama waktu stres dan senyuman dapat mempengaruhi emosi; walaupun demikian penelitian Kraft dan Pressman adalah pertama kalinya secara eksperimen memanipulasi senyuman orang sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk meneliti pengaruhnya terhadap stres.
Peneliti mengumpulkan 169 responden dari Universitas Midwestern. Studi ini memiliki dua fase: pelatihan dan penilaian. Selama fase pelatihan responden dibagi dalam tiga kelompok, setiap kelompok dilatih untuk memiliki ekspresi facial yang berbeda. Responden disuruh menggigit sumpit di mulutnya agar menggunakan otot facial dengan ekspresi netral, senyuman standar, atau senyuman Duchenne. Sumpit adalah esensial pada upaya ini sebab mereka harus mengajak orang lain untuk tersenyum tanpa sadar yang bersangkutan juga melakukan hal yang sama: hanya separuh dari kelompok secara aktif diinstruksikan tersenyum.
Pada fase penilaian, responden diminta mengerjakan berbagai aktivitas, yang tanpa sepengetahuannya di disain untuk stres. Pertama adalah aktivitas yang menyebabkan stres dengan mencari satu bintang menggunakan cermin yang dipegang dengan tangan yang non dominan berdasarkan refleksi bintang di dalam cermin. Aktivitas yang menyebabkan stres kedua adalah memasukkan tangan di dalam air es. Selama dua kegiatan yang memicu stres responden menggigit sumpit di mulutnya sesuai dengan apa yang dipikirkan sewaktu pelatihan. Peneliti mengukur denyut jantung responden dan melaporkan tingkat stresnya selama menjalani fase perlakuan tersebut.
Hasil studi menunjukkan bahwa senyuman sungguh-sungguh mempengaruhi status fisik kita: membandingkan responden yang mengekspresikan muka yang netral, responden yang diinstruksikan tersenyum, dan khususnya bagi mereka yang melakukan senyuman Duchenne, memiliki denyut nadi yang rendah setelah aktivitas yang membuat stres dihentikan. Responden yang memakai sumpit dan menyuruh tersenyum tetapi secara eksplisit tidak disuruh tersenyum seperti pada fase pelatihan, juga dilaporkan denyut jantungnya menurun sedikit berarti perasaannya positif dibanding dengan mereka yang mempertahankan ekspresi muka yang netral.
Penemuan ini memperlihatkan bahwa senyuman selama menghadapi stres berjangka pendek dapat membantu mengurangi intensitas respon tubuh terhadap stres, tanpa tergantung perasaan senangnya responden. “Jika anda sewaktu-waktu terjebak lalu-lintas atau menghadapi stres yang lain,” kata Pressman, “cobalah mempertahankan senyuman di muka anda barang sekejab. Kegiatan ini tidak hanya menolong anda sesuai konsep psikologi ‘Senyuman lebar sekejap dan pertahankanlah’ (Just grin and bear it!), tetapi juga akan meningkatkan kesehatan jantung anda!”
Menurut catatan penulis, diberbagai kebudayaan termasuk agama pasti banyak perilaku-perilaku sederhana tentang bagaimana seharusnya orang tersenyum yang diajarkan kepada pemangku kebudayaan itu dan dituturkan secara turun-temurun. Perhatikan ajaran orang tua, leluhur tentang pentingnya “sering menampilkan senyuman yang diekspresikan secara tulus akan membuat senang hati orang banyak” (Jawa: “Ulat sumeh agawe renaning wong akeh”) atau “senyuman itu ibadah” dapat dianggap telah mendapat legitimasi saintifik berdasarkan interpolasi dari hasil studi psikologi mazhab perilaku tersebut. (http://medicalxpress.com/news/2012-07-stress-recovery.html cited Sept. 6, 2012)
Budhi Setianto
Langganan:
Postingan (Atom)