Adanya bukti yang berkembang mengatakan bahwa atheroskelosis merupakan suatu proses inflamasi, beberapa marker inflamasi yg terdapat di dalam plasma telah dievaluasi sebagai prediktor yang potensial terhadap kejadian koroner. Marker inflamasi ini meliputi Amiloid A serum, interleukin-6, homocystein, kadar fibrinogen, kapasitas fibrinolitik, Apolipoprotein-A, apolipoprotein B-100, lipoprotein (a) dan C-Reaktive Protein (CRP). Diantara marker-marker inflamasi, CRP merupakan salah satu yang paling sering dipelajari dengan metode sensitivitas yang tinggi.
CRP menstimulus produksi tissue factor oleh sel sel mononuklear, inisiator utama koagulasi darah. Selain itu CRP bersama phospholipase A2 dapat menyebabkan aktivasi komplemen dan meningkatkan fagositosis sel sel yang rusak oleh netrofil yang teraktivasi. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa peningkatan CRP menandakan aktivasi inflamasi yang sedang berlangsung (ongoing) yang merupakan pertanda atau karakteristik dari penyakit arteri koroner tidak stabil serta tentunya merupakan salah satu faktor penyebab instabilitas plak.
Peningkatan konsentrasi serum CRP dilaporkan pada unstable angina dan pada acute myocardial infarction. CRP digunakan untuk memprediksi variasi luas dari tampilan klinis. Selain itu CRP memberikan nilai tambahan pada skrining lipid yang standard untuk prevensi primer. Analisis terbaru oleh Chew et all menunjukkan bahwa CRP memprediksikan risiko kematian atau miokard infark dalam 30 hari diantara pasien pasien yang menjalani Percutaneus Coronary Intervention (PCI). CRP secara independen berhubungan dengan rekurensi kejadian kardiovaskular dan dengan kematian dalam jangka waktu menengah atau lama. Hal tersebut memberi kesan bahwa CRP tidak hanya berperan sebagai marker inflamasi secara umum akan tetapi secara langsung berpartisipasi secara aktif pada kedua proses atherogenesis dan gangguan plak atheromatous.
Pada studi prospective single centered yang dilaksanakan oleh kolaborasi Departemen Kardiologi dan Patologi Bolan Medical College Complex, Quetta, Pakistan dilakukan dari januari hingga desember 2009 dengan total pasien sebanyak 963 orang yang datang dengan keluhan nyeri dada. Semua pasien dinilai dengan anamnesa yang detail, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang relevan terhadap diagnosa SKA dengan kriteria inklusi pasien yang datang dengan riwayat nyeri dada yang tipikal dan adanya ST elevasi atau depresi diatas 0,1 mV pada dua lead EKG yang bersesuaian atau tampilan klinis dari angina tidak stabil. Sedangkan kriteria eksklusi adalah miokard infark akut dalam beberapa bulan sebelumnya, kondisi inflamasi atau neoplasma yang kemungkinan berhubungan dengan peningkatan kadar CRPdan pasien dengan penyakit jantung katup, gagal hati dan gagal ginjal.
Untuk membandingkan kadar peningkatan CRP, pasien dibagi atas empat grup, dimana grup 1 adalah pasien yang didiagnosis dengan unstable angina sebanyak 232 orang, sedangkan grup 2 sebanyak 258 orang dengan diagnosa ST elevation myocardial infarction, grup 3 sebanyak 286 orang dengan diagnosis Non ST elevation myocardial infarction dan grup 4 yang merupakan kontrol meliputi 187 pasien. Grup kontrol meliputi pasien yang awalnya datang dengan keluhan nyeri dada tetapi tidak ditemukan gambaran EKG yang bermakna serta marker kardiak dalam batas normal. Tidak ada bukti adanya infeksi, inflamasi, malignansi, gagal jantung atau penyakit jantung katup pada pasien ini.
Sample darah diperiksa dengan menaruh pada sebuah tabung kecil dan dibekukan pada suhu ruangan. Tabung kecil di sentrifuge selama 5 menit dan serum dipisahkan untuk pemeriksaan CRP, CK, CK-MB dan Troponin T. CRP diukur dengan nephlometric assay (Boehring Diagnostic) dengan batas deteksi 0.2 mg/l, uji sebanding dengan 0,2 hingga 230 mg/L. Persentil 95th dari 120 donor darah yang sehat yang terdapat di rumah sakit institusi kadar CRP adalah 3,0 mg/L.
Follow up dilakukan selama 90 hari yang disusun dengan interview via telepon baik terhadap pasien langsung ataupun kerabat pasien. Semua pasien diobservasi secara prospektif tanpa diketahui kadar CRP yang menyebabkan komplikasi kardiovaskular meliputi kematian, (re-)miocardial infarction, recurrent unstable angina atau heart failure. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 14.0 dengan menghitung frekuensi, persentase dan chi-square.
Range kadar CRP dari 0,5 hingga 95 mg/ml. Rata rata keseluruhan +/- SE (Standard Error) adalah 17,6 +/- 7,96 mg/ml ( 95% CI = 1,66-33,6). Peningkatan kadar CRP lebih tinggi dijumpai pada grup 2 (STEMI) yaitu 29,4 +/-1,7 dan juga pada grup 3 (NSTEMI) yaitu 27,1+/- 1,7 sedangkan pada grup 1 (unstable angina) yaitu 5.4 +/-1,7.
Studi ini menunjukkan bahwa reaktan fase akut, CRP secara signifikan meningkat pada pasien Sindroma Koroner Akut (SKA) dibanding terhadap grup kontrol. Jumlah pasien dengan peningkatan CRP (>3mg/L) lebih besar pada grup 2 dan grup 3 (71% dan 78%) dibanding grup 1 (28%). Dari studi ini terlihat bahwa kadar CRP lebih meningkat pada pasien Non-STEMI dibandingkan STEMI hal ini menandakan derajat inflamasi yang lebih besar dan juga kemungkinan kerusakan miokard.
Distribusi kejadian kardiak setelah follow up 90 hari berupa kematian, miokard infark, angina stabil rekurren dan gagal jantung berdasarkan kadar CRP > 3 mg/l diperoleh bahwa grup 2 dan grup 3 memiliki proporsi persentase yang tinggi kejadian kardiak sebesar 91,2 %. Mortalitas secara signifikan meningkat lebih tinggi (p < 0,0001) pada grup 2 (8,9%) dan grup 3 (11,9%) dibandingkan terhadap grup 1 (2,1%) dan tidak ditemukan kejadian kardiak ataupun kematian pada grup 4.
Studi yang terakhir dibanding dengan studi oleh Cavusoglu et all dan Tomado et all yang mendemonstrasikan bahwa kadar CRP pada pasien dengan SKA pada onset 6 jam secara signifikan lebih tinggi dibanding grup kontrol. Proses inflamasi telah menunjukkan salah satu mekanisme yang menyebabkan rupture plak sehingga kadar CRP meningkat kurang dari 6 jam pada pasien SKA. Pada pasien SKA, konsentrasi high sensitivity CRP (hsCRP) sepuluh kali lipat lebih tinggi pada pasien stable coronary disease atau penyakit koroner yang belum diketahui.Pada studi sebelumnya peningkatan hsCRP telah menunjukkan hubungannya dengan mortalitas pada pasien UA dan NSTEMI.
Studi yang terakhir ini juga mengungkapkan bahwa peningkatan ringan dari CRP berhubungan kuat dan secara independen dengan berkembangnya gagal jantung, Hal tersebut memberi kesan bahwa intensitas respon inflamasi meningkatkan risiko dampak mekanikal dan komplikasi injuri iskemik. Oleh karena itu memegang peranan penting dalam perkembangan gagal jantung setelah kejadian ACS dan pengawasan yang tepat serta dalam hal pemberian terapi yang lebih agresiv dan kemungkinan terapi baru yang bertujuan untuk mencegah remodeling yang merugikan.
Kesimpulan yang diperoleh adalah pengukuran kadar CRP pada saat pasien masuk dengan dugaan Penyakit arteri koroner dapat berperan dalam mengidentifikasi kelompok pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi kardiovaskular yang membutuhkan manajemen kardiak yang agresif serta monitoring yang tepat setelah keluar dari rumah sakit. (Heart Views, Official Journal of Gulf Heart Association Jan-Mar 2012, 13: 7-12)
Andika Rizki Lubis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar