“Pemikiran yang bertahan selama ini adalah bahwa orang mendapat hipertensi dari penyebab lain dan tekanan darah yang tinggi merusak aorta —akibat tekanan tinggi pada dindingnya— kemudian stiffness timbul sekunder akibat hipertensi.” Jelas Dr Gary F Mitchell (Cardiovascular Engineering, Norwood, MA, Amerika Serikat yang memiliki perusahaan yang mengembangkan alat pengukur stiffness vaskular) kepada heartwire. “Kami membuktikan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, adalah stiffness yang mengakibatkan tekanan darah tinggi.”
Mitchell mengatakan bahwa ada beberapa pesan kunci dari hasil kerja ini. Pertama, “kami mendekati titik di mana stiffness vaskular dapat direkomendasikan sebagai faktor prognostik yang dapat digunakan untuk stratifikasi risiko.” Kedua, “jika kami dapat tetap fokus dalam mencegah atau membalikkan stiffness aorta, itu akan menjadi langkah besar ke depan. Saya tidak ragu pasti ada jalan untuk memodulasi dinding aorta. Hanya saja belum dalam jangkauan saat ini. Hampir semua obat antihipertensi yang ada didesain untuk memodulasi dinding arteri kecil karena pandangan umum bahwa patogenesis hipertensi adalah pada arteri kecil. Jika kita bisa mengubah fokus, kita akan menemukan intervensi yang mampu memodulasi dinding arteri besar dan memiliki dampak dalam kesuksesan kita menatalaksana hipertensi.”
Pengaruh modulasi aortic stiffness terhadap kejadian kardiovaskular masih perlu dibuktikan
Mitchell menekankan bahwa masih ada “bagian yang hilang” yang membuktikan jelas bahwa jika stiffness aorta dapat dimodulasi, “kita dapat menurunkan risiko, maka masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”
Atas permintaan heartwire, Presiden European Society for Hypertension (ESH) Dr Josep Redon (University of Valencia, Spanyol) mengatakan: “studi ini menawarkan untuk pertama kalinya bukti pentingnya perubahan fenotipe vaskular untuk mendeteksi individu dengan risiko hipertensi. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai bagaimana perubahan awal ini dapat dibalik dan potensi dampaknya dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi.
Dalam editorial yang terbit bersamaan artikel tersebut, Dr Debabrata Mukherjee (Texas Tech University Health Science Center, El Paso, TX, AS) menyetujuinya: “Studi masa depan akan menilai apakah terapi vaskular untuk meningkatkan elastisitas arteri atau menurunkan stiffness akan mengurangi risiko hipertensi dan morbiditas serta mortalitas kardiovaskular.
Juru bicara hipertensi European Society of Cardiology, Dr Adrian Brady (University of Glasgow, Scotland), menekankan bahwa, partisipan studi berusia rata-rata sekitar 60-70 tahun, walaupun hasilnya menarik, Brady meyakini stiffness vaskular berhubungan dengan tipe hipertensi tertentu. “Ini benar-benar mengidentifikasi mekanisme yang mungkin untuk hipertensi sistolik pada usia tua, daripada menjelaskan onset hipertensi pada awal usia setengah baya, di mana banyak pasien menjadi hipertensi.” Demikian hasil observasinya.
Studi unik mengidentifikasi Silent Killer
Mitchell menjelaskan bahwa sementara riset permulaan telah menduga stiffness mendahului hipertensi, “hanya studi ini yang benar-benar mengukur stiffness pada satu titik waktu, yang kemudian menilai tekanan darahnya. Yang menarik dari studi kami adalah kami mengukur stiffness dan tekanan darah pada dua titik dalam waktu yang berjarak panjang, lebih dari tujuh tahun, sehingga kami dapat secara definitif bertanya: apakah stiffness mengakibatkan tekanan darah tinggi di masa yang akan datang? Kami mampu melihat kedua sisi dari mata uang. Dan belum ada studi seperti ini sebelumnya.”
Mitchell dan koleganya menggunakan data dari 1759 partisipan dari studi kohort the FraminghamOffspring, berdasarkan dua siklus pemeriksaan terakhir (siklus 7, 1998-2001 dan siklus 8, 2005-2008). Mereka memeriksa kaitan waktu antara tekanan darah dan tiga pengukuran stiffness vaskular dan pulsatilitas tekanan dari alat tonometri arteri —Carotid-femoral pulsed-wave velocity (CFPWV), forward wave amplitude (FWA) dan indeks augmentasi— selama rentang waktu tujuh tahun. Keluaran primer adalah tekanan darah dan insiden hipertensi selama pemeriksaan siklus 8. Keluaran sekunder adalah CFPWV, FWA dan indeks augmentasi selama siklus 8.
Dalam multivariat analisis, CFPWV dan FWA yang tinggi saat pemeriksaan siklus 7 berhubungan dengan tekanan darah sistolik pada pemeriksaan siklus 8. Sama dengan itu, sebuah model yang memasukkan tekanan darah sistolik dan diastolik dan faktor risiko tambahan saat pemeriksaan siklus 7, FWA yang tinggi (odds ratio[OR] 1,6 per satu standar deviasi [SD]; p < 0,001), indeks augmentasi (OR 1,7 per satu SD; p < 0,001) dan CFPWV (OR 1,3 per satu SD; p = 0,04 berhubungan dengan insidens hipertensi saat pemeriksaan siklus 8.
Sebaliknya, “tidak ada hubungan bermakna antara tekanan darah sekarang dengan stiffness di masa yang akan datang.”
“Hipertensi telah disebut sebagai silent killer. Apa yang kami tunjukkan adalah bahwa ada silent killer lain yang muncul satu dekade sebelum hipertensi yang menjadi silent killer sebenarnya, karena kita bahkan tidak mengukur atau menganggapnya bermakna, sehingga perlu kita beri tempat untuk hal ini.” catatnya.
“Saya pikir kita perlu untuk menganggap serius bagaimana pengukuran ini dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari dan bagaimana evaluasinya. Ada bukti, ini dapat mendahului kejadian klinis atau hipertensi puluhan tahun sebelumnya, dan informasi itu dapat amat penting untuk memprediksi hipertensi. Kemudian kita dapat setidaknya mengidentifikasi siapa yang berisiko tinggi jika belum saatnya memulai pengobatan.
Mitchell menambahkan bahwa telah diketahui beberapa obat antihipertensi sekarang seperti penghambat sistim renin-angiotensin, dapat mengurangi stiffness arteri. Dan diet rendah garam serta penurunan berat badan juga menunjukkan hasil yang efektif dalam studi kecil. Namun mungkin saja ternyata perlu obat baru, ujarnya.
Walaupun, ia menyadari bahwa penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menentukan batas ambang, tingkat stiffness seberapa yang perlu intervensi. “Kami mengetahui tingkat stiffness yang berisiko tinggi, tapi kami perlu data lebih banyak.”
Mengatasi stiffness vaskular dapat menjadi target baru prevensi
Mitchell mengatakan alat —pulse transducer atau tonometer— yang diperlukan untuk kalkulasi Pulsed Wave Velocity (PWV) termasuk berteknologi rendah, noninvasif dan tidak mahal untuk alat kesehatan: “Anda dapat memiliki sistem portabel desktop atau bedside seharga US$ 25 000 hingga 30 000.” Namun ia menyadari perlu keterampilan untuk mengerjakan tonometri dengan tepat, “jadi akan ada learning curve sampai bisa digunakan secara luas.”
PWVsudah sering digunakan untuk alat riset di Eropa dan Australasia, walaupun adopsinya lebih rendah dibanding di AS. Dan perubahan pada PWV telah dimasukkan sebagai penanda kerusakan organ dalam tabel risiko ESH-ESC guidelines sejak tahun 2007, catatnya.
“Saya yakin pengukuran PWV akan menjadi keluaran rutin dalam studi terapi hipertensi, karena sangat jelas bahwa stiffness adalah bagian utama yang kita lihat saat ini,” ujarnya.
Mukherjee mengatakan: “Jika studi prospektif memvalidasi kedua hal yaitu prevensi hipertensi dan perbaikan keluaran kardiovaskular menggunakan pendekatan modifikasi gaya hidup dan kombinasi terapi pada individu dengan stiffness vaskular, disfungsi endotel atau keduanya sebelum hipertensi muncul, strategi seperti itu dapat menjadi strategi utama preventif nasional. Implikasi studi Kaess dan kawan-kawan untuk prevensi akan jadi substansial.
Mitchell adalah pemilik Cardiovascular Engineering, sebuah perusahaan yang mengembangkan alat pengukur stiffness vaskular dan bekerja sebagai konsultan untuk Novartis dan Merck. Peneliti lain tidak ada konflik kepentingan. Mukherjee disebut menerima royalti dari Lippincott, Williams & Wilkins untuk mengedit dua buku dalam kardiologi intervensi. (Diterjemahkan dari http://is.gd/fWg2RP)
Sony Hilal Wicaksono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar