Didapatkan usia rerata studi kohort tersebut 59 ± 15 tahun yang memiliki penyakit jantung iskemik, 33%/5% dengan NYHA kelas III/IV, 54% tanpa VT terinduksi pada pemeriksaan EPS dan rerata LVEF 35 ± 18%.
Selama 24 bulan follow up, 104 pasien mendapatkan ICD. Dari 137 pasien, 39 (28%) pasien didapatkan hasil akhir primer berupa kematian atau pelepasan ICD. Pasien yang memenuhi kriteria hasil akhir primer lebih banyak yang mempunyai gejala NYHA kelas lanjut dan VT terinduksi dari pemeriksaan EPS.
Pada MRI kardiak, pasien yang memenuhi hasil akhir primer memiliki LVEF yang rendah (30 ± 14% vs. 38 ± 19%, p = 0.002) volum LV yang besar (volum akhir diastolik ventrikel kiri 246 ± 156 vs. 192 ± 84 ml, p = 0.048) dan persentase skar miokard yang besar (12.9 [6.3-19]% vs. 5 [0-15]%, p = 0.002).
Analisis multivariat, kelas NYHA yang tinggi (HR 1.7; 95%CI 1.2-2.4) dan skar miokard > 5% (4.6; 1.8-11.8) merupakan prediktor hasil akhir primer. Skar miokard > 5% dihubungkan dengan peningkatan risiko mortalitas sebanyak 5.9 kali.
Pasien dengan LVEF > 30%, skar miokard > 5% dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian sebesar 6.3 kali dibanding dengan LVEF yang sama dan skar miokard < 5%. Tingkat kejadian pada LVEF> 30% dan skar miokard > 5% adalah sama pada pasien dengan LVEF < 30% (0.8; 0.4-1.6; p = 0.56).
Skar miokard merupakan prediktor kejadian yang tidak diinginkan dari pemasangan ICD tanpa melihat LVEF. Studi ini memperlihatkan skar miokard merupakan prediktor kejadian pada pasien yang menjalani pemasangan ICD. Keterbatasan studi ini adalah tidak tersamar, ICD merupakan bagian dari prosedur EPS dan 25% pasien tidak ada pemasangan ICD.
Persentase skar miokard nampaknya lebih baik dibandingkan LVEF dalam mengidentifikasikan kejadian. Pasien-pasien dengan LVEF > 30% dan luasnya skar miokard memiliki kejadian yang sama. (J Am Coll Cardiol 2012: 6: 408-20)
SL Purwo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar