pita deadline
Rabu, 15 Agustus 2012
Pelantikan Pengurus PERKI Cabang Jakarta (PERKI JAYA) Masa Bakti 2012-2014
Penanda tanganan serah terima jabatan Ketua Pengurus PERKI JAYA masa bakti 2012-2014
Terima kasih Ketua Pengurus PERKI JAYA lama (2010-2012)
Selamat berjuang Ketua Pengurus PERKI JAYA baru (2012-2014)
Inilah diantara personil pengurus PERKI JAYA masa bakti 2012-2014
Ketua baru PERKI JAYA menyampaikan pidato perdananya setelah upacara pelantikan
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KARDIOVASKULAR INDONESIA
CABANG JAKARTA
(Indonesia Heart Association Jakarta Branch)
SUSUNAN PENGURUS MASA BAKTI 2012-2014
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KARDIOVASKULAR INDONESIA
CABANG JAKARTA
(Indonesia Heart Association Jakarta Branch)
SUSUNAN PENGURUS MASA BAKTI 2012-2014
Ketua : dr. Indriwanto S. Atmosudigdo, SpJP (K)
Wakil Ketua : dr. Dolly RD Kaunang, SpKP, SpJP
Sekretaris : dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP (K)
Wakil Sekretaris : dr. Yasmina Hanifah, SpJP
Bendahara : dr. Siska Suridanda Danny, SpJP
Wakil Bendahara : dr. Diah Retno Widowati, SpJP
Bidang Pendidikan :
dr. Yahya B Juwana, SpJP, PhD
dr. Henry AP Pakpahan, SpJP
Bidang Pelatihan :
dr. Ismi Purnawan, SpJP
dr. Daniel PL Tobing, SpJP (K)
Bidang Organisasi dan Advokasi :
dr. Frits RW Suling, SpJP (K)
dr. Heru Chandratmoko, SpJP
Bidang Media :
dr. M.A. Basalamah, SpJP
dr. Kurniawan Iskandarsyah, SpJP
Simptom Tidak dapat Memprediksi Beratnya Penyakit Jantung Koroner: Studi CT Angiografi Koroner
Dari Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-7 Society of Cardiovascular Computed Tomography (SCCT)
Contoh kasus arteri koroner seorang pasien asimtomatik. Tampak stenosis dan plak dengan kalsifikasi, positif remodeling dan atenuasi rendah. reff: J. Am. Coll. Cardiol. 2010; 3:440-444.
SEBUAH studi besar menemukan bahwa individu asimtomatik yang menjalani computed tomography angiografi koroner (CCTA) memiliki profil faktor risiko yang lebih buruk dan beban plak yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan individu yang mempunyai gejala.
Pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkumpulan Cardiovascular Computed Tomography 2012 yang diadakan di Baltimore-Maryland 19-22 Juli 2012, Dr Kavitha Chinnaiyan (William Beaumont Hospital, Royal Oak, MI) mempresentasikan hasil dari studi terhadap 21.573 pasien dari registri Advanced Cardiovascular Imaging Concorsium (ACIC) yang ditujukan untuk membandingkan hasil diagnostik CCTA pada pasien tanpa gejala (asimptomatik) dengan yang mempunyai gejala (simptomatik).
“Dalam penelitian ini, hasilnya sangat memprihatinkan dimana pasien asimtomatik ternyata memiliki penyakit yang lebih berat,” ujar Chinnaiyan. “Ketika pasien berjalan ke saya, dapatkah saya mengatakan bahwa penyakit yang diderita pasien hanya berdasarkan gejala saja? Jawabannya adalah tidak, dan hal ini harus menjadi perhatian. Kami kekurangan algoritma klinis yang baik. (Untuk mendiagnosa penyakit berdasarkan gejala),” katanya kepada heartwire.
Dia memperlihatkan bahwa dari registri CONFIRM menunjukkan CT memiliki nilai yang lebih dibanding skor kalsium untuk memprediksi prognosis pasien, tetapi “studi ini juga menunjukkan bahwa bila digunakan untuk diagnosis, temuan CCTA ini tidak berkorelasi baik dengan stenosis.” Dalam studi saat ini, prediktor terbaik dari penyakit koroner adalah kalsium skor arteri koroner yang lebih besar dari 400. Sehingga nilai diagnostik dari CCTA bila dibandingkan dengan skor kalsium koroner masih belum jelas, kata Chinnaiyan.
“Kita perlu membangun kegunaan CCTA di atas penilaian skor kalsium. Dalam populasi pasien ini, kita benar-benar tidak banyak kelolosan pasien dengan stenosis lebih dari 50% pada pasien dengan skor kalsium yang tinggi, jadi pertanyaannya sekarang adalah menemukan populasi yang mendapatkan manfaat dari pemeriksaan CCTA bukan skor kalsium,“ ujarnya. “Pendapat umum menyatakan bahwa mungkin pada pasien yang lebih muda dengan faktor risiko yang banyak, yang belum terjadi kalsifikasi pada plak, tapi itu adalah sesuatu yang perlu diteliti dalam studi populasi.”
Pasien asimtomatik terlihat lebih buruk pada CCTA
Saat ini, penggunaan appropriateness use criteria untuk CCTA pada individu asimtomatik masuk sebagai Inappropriate untuk pasien berisiko rendah atau sedang dan Uncertain pada pasien berisiko tinggi. Namun demikian, banyak pasien asimtomatik di registri ini menjalani CCTA, Chinnaiyan menjelaskan, baik sebagai tes skrining (1275 pasien) atau setelah stress test (1.264 pasien).
Studi ini menemukan bahwa, pada hasil CCTA, dibanding dengan pasien simtomatik, pasien asimtomatik memiliki frekuensi koroner normal yang lebih rendah (38% vs 51,2%) dan frekuensi yang lebih tinggi baik pada stenosis > 50% (21% vs 16,3%) dan stenosis < 50% diameter (51% vs 40,2%) (p < 0,001 untuk semua perbandingan).
Stenosis lebih dari 50% ditemukan di CCTA pada 23% pasien asimtomatik dengan stress test sebelumnya, pada 19% pasien asimtomatik tanpa stress test sebelumnya, dan 16,3% pasien simtomatik.
Prediktor multivariat dari stenosis lebih dari 50% pada CCTA hampir sama untuk kedua grup asimtomatik maupun simtomatik. Pada kedua grup, laki-laki sekitar 2,7 kali lebih tinggi untuk memiliki stenosis lebih dari 50% secara keseluruhan. Faktor risiko lain yang memprediksi stenosis lebih dari 50% pada kedua kelompok adalah diabetes, hipertensi dan dislipidemia.
Penelitian ini juga melihat pada tiga bulan untuk melihat apakah scan CCTA dari pasien ini menyebabkan pemanfaatan sumber daya yang lebih besar. Studi ini menemukan bahwa pasien yang simtomatik pada awal studi datang kembali ke rumah sakit lebih sering, tetapi pasien yang paling mungkin untuk menjalani angiografi (kateter) atau revaskularisasi adalah mereka yang mempunyai penyakit koroner yang paling berat. Studi ini juga memperkirakan paparan total radiasi pada pasien dan menemukan bahwa pasien yang telah menjalani tes stres nuklir sebelum CT memiliki dosis perkiraan tertinggi —sekitar 30 mSv rata-rata— dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang hanya menjalani CT.
Dosis tinggi untuk pasien yang menjalani uji stress pertama adalah “sangat diperhatikan,” jadi CCTA suatu hari nanti terbukti menjadi lebih baik untuk menskrining pasien tanpa mengekspos mereka dengan radiasi tinggi, ujar Chinnaiyan. Namun studi lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi populasi pasien dimana CCTA memberikan akurasi diagnostik yang lebih dari skor kalsium saja. (Reed Miller, Heartwire http://is.gd/nP6ozm)
Arbi Lizarda
KARDIOLOGI KUANTUM (9): Wanita, Stress dan Pendekatan Spiritual
“Stress is any influence that interferes with the normal functioning organism and produces some internal strain or tension” ~ Barker 1996
STRES dapat terjadi kepada siapa saja, dampaknya justru bisa menjadikan motivasi dan produktif, negatif, bahkan destruktif. Ketegangan, kegelisahan, dan depresi, adalah konsekuensi emosionil dari stres. Fisik (body), mental (mental), kecuali spiritual (pusat hidup imateri) dalam pandangan Kardiologi Kuantum adalah ranah penderitaan stres, kalau tidak waspada kita akan kehilangan keseimbangan (ekuilibrium) dan kemampuan adaptasi.
Gejala Fisik. Gejala yang perlu diperhatikan dari stres adalah: perasaan tegang, depresi, daya ingat yang buruk, daya konsentrasi rendah, marah-marah/ hostiliti, sulit membuat keputusan, sering terjadi perubahan suasana jiwa, pikiran negatif, gangguan pikiran dan perhatian, pening-katan jumlah rokok, konsumsi makanan dan alkohol untuk orang Barat. Para dokter Klinik Cleveland mencatatnya sebagai meningkatkan risiko kecelakaan, sakit kepala, gangguan perut, buruknya pencernaan, kelainan kulit, gangguan makan dan emosi. Dokter jantung memperhatikan faktor risiko bertambahnya berat badan, obesitas, darah tinggi, diabetes mellitus, dislipidemia, akhirnya mempercepat terjadinya serangan jantung mendadak strok, dan meninggal mendadak (dengan tenang?).
Mengapa para pakar berpendapat bahwa wanita (perempuan) secara khusus lebih mudah mendapat stres? Karena wanita diidentifikasi secara sosial sebagai pemerhati dan pemelihara keluarga dan lingkungannya. Lebih banyak wanita dibanding pria berkarir di luar rumah dan berusaha untuk mempertahankan peranan serta tanggung jawab tradisionalnya di dalam dan di luar jam kerjanya. Di Amerika, lebih dari 70% ibu rumah tangga dengan anak-anaknya di bawah usia 18 tahun bekerja di luar rumahnya. Ahli sosiologi menggambarkan wanita itu berjuang untuk mencapai “standar laki-laki” di kantor, sambil mencoba memelihara dirinya sebagai isteri yang baik sekaligus ibu dengan standar rumahan.
Posisi Mental. Wanita kurang lebih merasa sama posisi kekuatannya untuk mengubah lingkungannya. Wanita merasa berat untuk berkata tidak pada berbagai permintaan dan merasa bersalah sekiranya tidak dapat memenuhi permintaan orang lain. Mereka sering memiliki waktu yang lebih sedikit untuk menata emosi dan kebutuhan fisiknya, ketika mengambil waktu pribadinya yang sedikit itu masih di /menganggap sebagai mementingkan diri sendiri.
Wanita terus berkembang melalui strata waktu, keseimbangan hormonal dikala muda, paska melahirkan, dan perubahan menopause secara biokimiawi lebih mudah mendapatkan stres dan depresi.
Bagaimana mengatasi stres? Waktu santai hendaklah diposisikan sebagai suatu keharusan, bukan hanya bonus karena telah bekerja lebih banyak. Waktu pribadi untuk peremajaan tidak mungkin ada sekiranya tidak dialokasikan waktunya. Prioritas hendaknya berdasarkan prinsip daripada kebutuhan, untuk kedamaian hati dan kebahagiaan mental.
Anda tidak mungkin menjadi penguasa semuanya untuk seluruh manusia dengan seluruh waktunya. Janganlah menafikkan permintaan bantuan. Jauhi menyatukan berbagai projek. Delegasikan sekiranya perlu dan belajarlah berkata tidak. Beberapa contoh aktifitas yang menyegarkan fisik dan mental yaitu mandi, membaca, latihan pernafasan, pijat punggung, mendengarkan rekaman suara-suara rileks, menulis jurnal, bertemu kawan-kawan, tidur sejenak, jalan-jalan, menari, (No.11) mengikuti refleksi spiritual (olahrasa), stretching, dan mendengarkan musik.
Refleksi Spiritual. Myra Harris dalam disertasinya 2004: Use of spiritual-focus coping managing stress among Black woman pada Wurzweiler School of Social Worker di Universitas Yeshiva di New York membuktikan dari 119 responden Hitamnya pada respon awal stres menggunakan fokus-kognitif atau fokus-spiritual secara seimbang untuk mengatasinya. Koping fokus-emosional adalah cara lainnya dalam mengatasi stres. Fokus-spiritual itu sendiri diantara pekerja sosial juga dianggap ‘barang aneh’, saking tidak mengetahuinya upaya ini, disederhanakan menjadi itu diluar ilmu kesejahteraan sosial mereka. Disertasi ini membuktikan pertama kalinya koping fokus-spiritual digunakan sebagai alternatif bagi wanita Hitam tidak tergantung pada komposisi rumah tangga serta jumlah anaknya. Faktor umur dan tempat kelahirannya berperanan dalam menentukan alternatif mengatasi stres.
Kesimpulan. Kardiologi Kuantum menganggap upaya reedukasi keyakinannya kepada Tuhan YME (fungsi tertinggi dari sentra vitalitas komponen perasaan dan emosi) memiliki daya harmonisasi di dalam mental klien/pasien sakit atau merasa sakit jantung secara sekunder sebagai psiko terapi. Apabila berlanjut agar diserahkan saja kepada ahlinya yaitu psikolog dan psikiater.
STRES dapat terjadi kepada siapa saja, dampaknya justru bisa menjadikan motivasi dan produktif, negatif, bahkan destruktif. Ketegangan, kegelisahan, dan depresi, adalah konsekuensi emosionil dari stres. Fisik (body), mental (mental), kecuali spiritual (pusat hidup imateri) dalam pandangan Kardiologi Kuantum adalah ranah penderitaan stres, kalau tidak waspada kita akan kehilangan keseimbangan (ekuilibrium) dan kemampuan adaptasi.
Gejala Fisik. Gejala yang perlu diperhatikan dari stres adalah: perasaan tegang, depresi, daya ingat yang buruk, daya konsentrasi rendah, marah-marah/ hostiliti, sulit membuat keputusan, sering terjadi perubahan suasana jiwa, pikiran negatif, gangguan pikiran dan perhatian, pening-katan jumlah rokok, konsumsi makanan dan alkohol untuk orang Barat. Para dokter Klinik Cleveland mencatatnya sebagai meningkatkan risiko kecelakaan, sakit kepala, gangguan perut, buruknya pencernaan, kelainan kulit, gangguan makan dan emosi. Dokter jantung memperhatikan faktor risiko bertambahnya berat badan, obesitas, darah tinggi, diabetes mellitus, dislipidemia, akhirnya mempercepat terjadinya serangan jantung mendadak strok, dan meninggal mendadak (dengan tenang?).
Mengapa para pakar berpendapat bahwa wanita (perempuan) secara khusus lebih mudah mendapat stres? Karena wanita diidentifikasi secara sosial sebagai pemerhati dan pemelihara keluarga dan lingkungannya. Lebih banyak wanita dibanding pria berkarir di luar rumah dan berusaha untuk mempertahankan peranan serta tanggung jawab tradisionalnya di dalam dan di luar jam kerjanya. Di Amerika, lebih dari 70% ibu rumah tangga dengan anak-anaknya di bawah usia 18 tahun bekerja di luar rumahnya. Ahli sosiologi menggambarkan wanita itu berjuang untuk mencapai “standar laki-laki” di kantor, sambil mencoba memelihara dirinya sebagai isteri yang baik sekaligus ibu dengan standar rumahan.
Posisi Mental. Wanita kurang lebih merasa sama posisi kekuatannya untuk mengubah lingkungannya. Wanita merasa berat untuk berkata tidak pada berbagai permintaan dan merasa bersalah sekiranya tidak dapat memenuhi permintaan orang lain. Mereka sering memiliki waktu yang lebih sedikit untuk menata emosi dan kebutuhan fisiknya, ketika mengambil waktu pribadinya yang sedikit itu masih di /menganggap sebagai mementingkan diri sendiri.
Wanita terus berkembang melalui strata waktu, keseimbangan hormonal dikala muda, paska melahirkan, dan perubahan menopause secara biokimiawi lebih mudah mendapatkan stres dan depresi.
Bagaimana mengatasi stres? Waktu santai hendaklah diposisikan sebagai suatu keharusan, bukan hanya bonus karena telah bekerja lebih banyak. Waktu pribadi untuk peremajaan tidak mungkin ada sekiranya tidak dialokasikan waktunya. Prioritas hendaknya berdasarkan prinsip daripada kebutuhan, untuk kedamaian hati dan kebahagiaan mental.
Anda tidak mungkin menjadi penguasa semuanya untuk seluruh manusia dengan seluruh waktunya. Janganlah menafikkan permintaan bantuan. Jauhi menyatukan berbagai projek. Delegasikan sekiranya perlu dan belajarlah berkata tidak. Beberapa contoh aktifitas yang menyegarkan fisik dan mental yaitu mandi, membaca, latihan pernafasan, pijat punggung, mendengarkan rekaman suara-suara rileks, menulis jurnal, bertemu kawan-kawan, tidur sejenak, jalan-jalan, menari, (No.11) mengikuti refleksi spiritual (olahrasa), stretching, dan mendengarkan musik.
Refleksi Spiritual. Myra Harris dalam disertasinya 2004: Use of spiritual-focus coping managing stress among Black woman pada Wurzweiler School of Social Worker di Universitas Yeshiva di New York membuktikan dari 119 responden Hitamnya pada respon awal stres menggunakan fokus-kognitif atau fokus-spiritual secara seimbang untuk mengatasinya. Koping fokus-emosional adalah cara lainnya dalam mengatasi stres. Fokus-spiritual itu sendiri diantara pekerja sosial juga dianggap ‘barang aneh’, saking tidak mengetahuinya upaya ini, disederhanakan menjadi itu diluar ilmu kesejahteraan sosial mereka. Disertasi ini membuktikan pertama kalinya koping fokus-spiritual digunakan sebagai alternatif bagi wanita Hitam tidak tergantung pada komposisi rumah tangga serta jumlah anaknya. Faktor umur dan tempat kelahirannya berperanan dalam menentukan alternatif mengatasi stres.
Kesimpulan. Kardiologi Kuantum menganggap upaya reedukasi keyakinannya kepada Tuhan YME (fungsi tertinggi dari sentra vitalitas komponen perasaan dan emosi) memiliki daya harmonisasi di dalam mental klien/pasien sakit atau merasa sakit jantung secara sekunder sebagai psiko terapi. Apabila berlanjut agar diserahkan saja kepada ahlinya yaitu psikolog dan psikiater.
Kepustakaan:
1. http://my.clevelandclinic.org/healthy_living/stress_management/hic_stress_and_women.aspx cited August 2, 2012.
3. http://www.miranous.com/stressed-women-and-the-spiritual-life-guiding-principle-for-week-of-jan-22-28/
cited August 2, 2012.
2. Myra Harris PhD,
Yeshiva University 2005 (abstract). Use
of spiritual-focus coping managing stress among Black woman. http://gradworks.umi.com/31/60/3160106.html
cited August 2, 2012.
Budhi S. Purwowiyoto
Omega-3 untuk Hipertrigliseridemia Disetujui FDA sebagai Obat Resep
JULY 26, 2012 (Bedminster, New Jersey), FDA Amerika Serikat menyetujui paten etil asam eikospaentaenoic (EPA) sintetik, icosapent ethyl (Vascepa, sebelumnya bernama Amarin) untuk terapi hipertligiseridemia. Sehingga obat itu menjadi omega-3 kedua yang hanya didapat dengan resep dokter.
Vascepa adalah minyak ikan laut yang dimurnikan dengan kandungan EPA hingga 96%, sebagaimana Amarin sebut dalam literatur. Obat tersebut tidak mengandung kadar omega-3 lain secara bermakna, yang merupakan komponen utama kapsul minyak ikan Lovaza (GlaxoSmithKline), yang disetujui FDA beberapa tahun yang lalu.
Telah dibuktikan bahwa Vascepa yang hanya mengandung EPA saja, tidak meningkatkan kadar kolesterol LDL, efek yang ditemukan pada Lovaza, sebagaimana dilaporkan Heartwire. Petunjuk untuk mekanisme di balik ini adalah studi tahun lalu yang menunjukkan bahwa suplemen omega-3 yang hanya mengandung EPA memiliki efek oksidasi LDL yang lebih rendah dibanding sediaan EPA+DHA.
Persetujuan yang diberikan FDA didasari efficacy dan data keamanan dari 12 minggu uji klinis fase 3 MARINE di mana kadar trigliserida turun disertai perbaikan penanda lainnya, termasuk kolesterol total, apolipoprotein B (apo-B), lipoprotein associated phospholipase A2 (Lp-PLA2), dan high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP), semua tanpa kenaikan kolesterol LDL yang bermakna.
Amarin mengatakan sedang mencari persetujuan FDA untuk penggunaan Vascepa pada pasien dengan kadar trigliserid tinggi yang dalam pengobatan statin, dalam populasi studi ANCHOR, yang dilaporkan Heartwore tahun lalu dan dipublikasikan online belum lama ini di American Journal of Cardiology. Yang penting dicatat dalam ANCHOR, penambahan Vascepa 4 gram per hari terhadap statin secara bermakna menurunkan kadar LDL (p=0,0067).
MARINE dan ANCHOR tidak menilai outcome
Amarin belum lama ini meluncurkan studi randomisasi yang bernama Reduction of Cardiovascular Events with EPA-Intervention Trial (REDUCE-IT), di mana Vascepa ditambahkan dengan statin pada pasien risiko tinggi dengan peningkatan kadar trigliserid dan penyakit jantung koroner (PJK) atau risiko PJK. Yang dijadikan end-poin primer adalah kejadian kardiovaskular.
Menurut perusahaan itu, REDUCE-IT sedang berjalan di 300 situs internasional terutama di AS, dengan target responden 8.000 pasien, dan direncanakan selesai dalam 6 tahun. (http://www.medscape.com/viewarticle/768196_print)
Vascepa adalah minyak ikan laut yang dimurnikan dengan kandungan EPA hingga 96%, sebagaimana Amarin sebut dalam literatur. Obat tersebut tidak mengandung kadar omega-3 lain secara bermakna, yang merupakan komponen utama kapsul minyak ikan Lovaza (GlaxoSmithKline), yang disetujui FDA beberapa tahun yang lalu.
Telah dibuktikan bahwa Vascepa yang hanya mengandung EPA saja, tidak meningkatkan kadar kolesterol LDL, efek yang ditemukan pada Lovaza, sebagaimana dilaporkan Heartwire. Petunjuk untuk mekanisme di balik ini adalah studi tahun lalu yang menunjukkan bahwa suplemen omega-3 yang hanya mengandung EPA memiliki efek oksidasi LDL yang lebih rendah dibanding sediaan EPA+DHA.
Persetujuan yang diberikan FDA didasari efficacy dan data keamanan dari 12 minggu uji klinis fase 3 MARINE di mana kadar trigliserida turun disertai perbaikan penanda lainnya, termasuk kolesterol total, apolipoprotein B (apo-B), lipoprotein associated phospholipase A2 (Lp-PLA2), dan high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP), semua tanpa kenaikan kolesterol LDL yang bermakna.
Amarin mengatakan sedang mencari persetujuan FDA untuk penggunaan Vascepa pada pasien dengan kadar trigliserid tinggi yang dalam pengobatan statin, dalam populasi studi ANCHOR, yang dilaporkan Heartwore tahun lalu dan dipublikasikan online belum lama ini di American Journal of Cardiology. Yang penting dicatat dalam ANCHOR, penambahan Vascepa 4 gram per hari terhadap statin secara bermakna menurunkan kadar LDL (p=0,0067).
MARINE dan ANCHOR tidak menilai outcome
Amarin belum lama ini meluncurkan studi randomisasi yang bernama Reduction of Cardiovascular Events with EPA-Intervention Trial (REDUCE-IT), di mana Vascepa ditambahkan dengan statin pada pasien risiko tinggi dengan peningkatan kadar trigliserid dan penyakit jantung koroner (PJK) atau risiko PJK. Yang dijadikan end-poin primer adalah kejadian kardiovaskular.
Menurut perusahaan itu, REDUCE-IT sedang berjalan di 300 situs internasional terutama di AS, dengan target responden 8.000 pasien, dan direncanakan selesai dalam 6 tahun. (http://www.medscape.com/viewarticle/768196_print)
Sony HW
Jumat, 10 Agustus 2012
Stress Pekerjaan Merusak Jantung Perempuan, Namun Tak Ada yang Tahu Mengapa?
23 Juli, 2012 (Cambridge, Massachusetts) — Sebuah studi baru menunjukkan bahwa wanita-wanita yang mengalami stres berat dalam bekerja berisiko 40% lebih besar untuk mengalami kejadian kardiovaskular dalam periode waktu 10 tahun dibandingkan wanita-wanita yang memiliki stress pekerjaan yang ringan. Dr Natalie Slopen (Universitas Harvard, Cambridge, MA) dan koleganya mempublikasikan penemuan ini secara online pada 18 Juli 2012 di PLoS One.
Angka kejadian CVD terbanyak didapatkan pada kedua golongan wanita beban kerja tinggi, yaitu golongan dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi namun kontrol terhadap pekerjaannya rendah, serta pada golongan wanita pekerja aktif (tuntutan pekerjaan tinggi, namun memiliki otonomi yang tinggi terhadap pekerjaannya). Penemuan ini mengejutkan, seperti yang dikatakan Dr Michelle A Albert (Brigham and Women’s Hospital, Boston, MA) pada heartwire, karena pada mayoritas riset sebelumnya —yang objek penelitiannya lebih banyak pada pria— tidak menemukan peningkatan risiko CVD pada mereka yang memiliki pekerjaan yang ‘aktif’.
Terdapat hubungan yang besar antara stress pekerjaan yang besar dengan risiko kejadian kardiovaskular yang belum dapat kita mengerti.
Kedua golongan ini —Wanita dengan beban kerja tinggi serta wanita pekerja aktif— keduanya memiliki resiko peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular sebesar 40%. Wanita dengan beban kerja yang tinggi memiliki risiko lebih tinggi berdasarkan studi banding yang melibatkan pria, akan tetapi pada kelompok wanita pekerja aktif, bukanlah grup di mana terdapat banyak hasil studi yang mencakup pria maupun wanita kelompok ini tidak memiliki korelasi insiden kejadian antara pria dan wanita dengan angka kejadian penyakit kardiovaskuler pada wanita.
Penemuan besar lainnya adalah penemuan bahwa lebih dari 70% korelasi antara tingkat kerja dan risiko penyakit kardiovaskuler “tidak dapat dijelaskan dengan faktor resiko yang biasa terjadi atau ansietas/depresi” menurut Albert. “ Terdapat proporsi besar antara hubungan resiko kerja dan resiko penyakit kardiovaskular yang kami pun belum bisa mengerti hingga saat ini.”
Menurut slopen dkk, stressor yang berkaitan dengan pekerjaan juga berhubungan dengan resiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Namun pada studi-studi sebelumnya awalnya dilakukan kepada para pria. Sedangkan pada wanita baru diadakan sedikit percobaan, dan studi-studi ini hanya memiliki satu hasil akhir seperti penyakit jantung koroner atau stroke, serta hasilnya tidak konsisten.
Informasi mengenai efek stressor yang terkait pekerjaan sebagai faktor resiko kardiovaskular pada wanita normal sangat penting, melihat terjadinya peningkatan yang dramatis dari partisipasi wanita dalam tuntutan pekerjaan selama beberapa dekade terakhir, dan fakta bahwa stressor psikososial memberikan efek yang berbeda pada pria dan wanita.
Terdapat sebuah riset baru yang mempelajari lebih dari 22.00 wanita tenaga kesehatan dalam Women’s Health Study. Studi ini menanyakan kepada wanita-wanita tersebut stressor dalam pekerjaan mereka, seperti kiprah mereka, beban pekerjaan, tuntutan pekerjan, skill yang dibutuhkan, pengontrolan dalam pengambilan keputusan, dan keamanan pekerjaan.
Albert mengatakan salah satu kekuatan dari riset ini adalah hasil akhir kombinasi antara MI nonfatal, stroke, revaskularisasi koroner, dan kematian kardiovaskular, yang dikatakannya sebagai “sangat komprehensif dan tervalidasi dari rekam medis”.
Selama 10 tahun follow up, terdapat 170 MI, 163 stroke iskemik, 440 revaskularisasi koroner, dan 52 kematian kardiovaskular. Dalam Cox proportional-hazard models yang disesuaikan dengan perancu-perancu yang potensial, wanita dengan stress pekerjaan yang tinggi (tuntutan tinggi, kontrol rendah) memiliki risiko 38% lebih besar untuk mengalami kejadian CVD dibandingkan wanita yang memiliki stress pekerjaan rendah (tuntutan rendah, kontrol tinggi; rate ratio 1.38; 95 % CI 1.08-1.77). Hasil yang mirip juga didapatkan pada wanita denga pekerjaan yang aktif (tuntutan tinggi, kontrol tinggi) yakni berisiko 38% lebih besar untuk mengalami kejadian CVD dibandingkan stress pekerjaan rendah (95% CI 1.07 – 1.77).
Tidak ada buktinya terdapatnya asosiasi antara kejadian CVD dengan job insecurity.
“Tubuh kita mampu menghadapi stress yang normal, jadi yang dibicarakan di sini adalah stress yang di atas normal, di mana tubuh sudah tidak mampu beradaptasi lagi dengan stress”, ujar Albert.
“Tetapi kita tidak dapat menghilangkan stress pekerjaan, dan kita tidak bisa menghindari pekerjaan kita, jadi kita harus menemukan cara untuk bertahan. Kami tahu bahwa mekanisme pertahanan diri memegang pertahanan penting dalam meminimalisasi efek stress, seperti dalam literatur kesehatan jiwa. Tapi kami belum mengetahui banyak tentang itu dari literatur kardiovaskular, karena datanya tidak cukup, apalagi untuk wanita.”
Beliau merekomendasikan untuk cara pengendalian stress, tiap orang harus memastikan bahwa mereka banyak istirahat, menyediakan waktu untuk beraktivitas yang membuat rileks, “dan tidak membiarkan pekerjaan mengganggu waktu pribadi. Karena kita hidup dalam zaman elektronik, di mana kita menghabiskan waktu kita berkutat dengan alat-alat elektronik. Kita harus menghindari ini. “ Beliau juga mengungkapkan pentingnya dukungan dari jaringan sosial di sekitar kita.
Direksi dan perusahaan juga bertanggung jawab memastikan para pekerjanya tidak kelebihan beban pekerjaan. “Mereka harus menyadari bahwa produktivitas akan menurun jika para pekerjanya dalam keadaan stress.” Dan dokter juga harus selalu menanyakan mengenai stress pekerjaan kepada setiap pasiennya.
Angka kejadian CVD terbanyak didapatkan pada kedua golongan wanita beban kerja tinggi, yaitu golongan dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi namun kontrol terhadap pekerjaannya rendah, serta pada golongan wanita pekerja aktif (tuntutan pekerjaan tinggi, namun memiliki otonomi yang tinggi terhadap pekerjaannya). Penemuan ini mengejutkan, seperti yang dikatakan Dr Michelle A Albert (Brigham and Women’s Hospital, Boston, MA) pada heartwire, karena pada mayoritas riset sebelumnya —yang objek penelitiannya lebih banyak pada pria— tidak menemukan peningkatan risiko CVD pada mereka yang memiliki pekerjaan yang ‘aktif’.
Terdapat hubungan yang besar antara stress pekerjaan yang besar dengan risiko kejadian kardiovaskular yang belum dapat kita mengerti.
Kedua golongan ini —Wanita dengan beban kerja tinggi serta wanita pekerja aktif— keduanya memiliki resiko peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular sebesar 40%. Wanita dengan beban kerja yang tinggi memiliki risiko lebih tinggi berdasarkan studi banding yang melibatkan pria, akan tetapi pada kelompok wanita pekerja aktif, bukanlah grup di mana terdapat banyak hasil studi yang mencakup pria maupun wanita kelompok ini tidak memiliki korelasi insiden kejadian antara pria dan wanita dengan angka kejadian penyakit kardiovaskuler pada wanita.
Penemuan besar lainnya adalah penemuan bahwa lebih dari 70% korelasi antara tingkat kerja dan risiko penyakit kardiovaskuler “tidak dapat dijelaskan dengan faktor resiko yang biasa terjadi atau ansietas/depresi” menurut Albert. “ Terdapat proporsi besar antara hubungan resiko kerja dan resiko penyakit kardiovaskular yang kami pun belum bisa mengerti hingga saat ini.”
Menurut slopen dkk, stressor yang berkaitan dengan pekerjaan juga berhubungan dengan resiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Namun pada studi-studi sebelumnya awalnya dilakukan kepada para pria. Sedangkan pada wanita baru diadakan sedikit percobaan, dan studi-studi ini hanya memiliki satu hasil akhir seperti penyakit jantung koroner atau stroke, serta hasilnya tidak konsisten.
Informasi mengenai efek stressor yang terkait pekerjaan sebagai faktor resiko kardiovaskular pada wanita normal sangat penting, melihat terjadinya peningkatan yang dramatis dari partisipasi wanita dalam tuntutan pekerjaan selama beberapa dekade terakhir, dan fakta bahwa stressor psikososial memberikan efek yang berbeda pada pria dan wanita.
Terdapat sebuah riset baru yang mempelajari lebih dari 22.00 wanita tenaga kesehatan dalam Women’s Health Study. Studi ini menanyakan kepada wanita-wanita tersebut stressor dalam pekerjaan mereka, seperti kiprah mereka, beban pekerjaan, tuntutan pekerjan, skill yang dibutuhkan, pengontrolan dalam pengambilan keputusan, dan keamanan pekerjaan.
Albert mengatakan salah satu kekuatan dari riset ini adalah hasil akhir kombinasi antara MI nonfatal, stroke, revaskularisasi koroner, dan kematian kardiovaskular, yang dikatakannya sebagai “sangat komprehensif dan tervalidasi dari rekam medis”.
Selama 10 tahun follow up, terdapat 170 MI, 163 stroke iskemik, 440 revaskularisasi koroner, dan 52 kematian kardiovaskular. Dalam Cox proportional-hazard models yang disesuaikan dengan perancu-perancu yang potensial, wanita dengan stress pekerjaan yang tinggi (tuntutan tinggi, kontrol rendah) memiliki risiko 38% lebih besar untuk mengalami kejadian CVD dibandingkan wanita yang memiliki stress pekerjaan rendah (tuntutan rendah, kontrol tinggi; rate ratio 1.38; 95 % CI 1.08-1.77). Hasil yang mirip juga didapatkan pada wanita denga pekerjaan yang aktif (tuntutan tinggi, kontrol tinggi) yakni berisiko 38% lebih besar untuk mengalami kejadian CVD dibandingkan stress pekerjaan rendah (95% CI 1.07 – 1.77).
Tidak ada buktinya terdapatnya asosiasi antara kejadian CVD dengan job insecurity.
“Tubuh kita mampu menghadapi stress yang normal, jadi yang dibicarakan di sini adalah stress yang di atas normal, di mana tubuh sudah tidak mampu beradaptasi lagi dengan stress”, ujar Albert.
“Tetapi kita tidak dapat menghilangkan stress pekerjaan, dan kita tidak bisa menghindari pekerjaan kita, jadi kita harus menemukan cara untuk bertahan. Kami tahu bahwa mekanisme pertahanan diri memegang pertahanan penting dalam meminimalisasi efek stress, seperti dalam literatur kesehatan jiwa. Tapi kami belum mengetahui banyak tentang itu dari literatur kardiovaskular, karena datanya tidak cukup, apalagi untuk wanita.”
Beliau merekomendasikan untuk cara pengendalian stress, tiap orang harus memastikan bahwa mereka banyak istirahat, menyediakan waktu untuk beraktivitas yang membuat rileks, “dan tidak membiarkan pekerjaan mengganggu waktu pribadi. Karena kita hidup dalam zaman elektronik, di mana kita menghabiskan waktu kita berkutat dengan alat-alat elektronik. Kita harus menghindari ini. “ Beliau juga mengungkapkan pentingnya dukungan dari jaringan sosial di sekitar kita.
Direksi dan perusahaan juga bertanggung jawab memastikan para pekerjanya tidak kelebihan beban pekerjaan. “Mereka harus menyadari bahwa produktivitas akan menurun jika para pekerjanya dalam keadaan stress.” Dan dokter juga harus selalu menanyakan mengenai stress pekerjaan kepada setiap pasiennya.
(Dwita Rian Desandri)
FFR Berbasis CT Menghemat Biaya dengan Mengurangi PCI yang Tidak Dibutuhkan
Fractional Flow Reserve (FFR) diukur dengan CT angiografi koroner (CCTA) noninvasive nampaknya merupakan pendekatan yang murah dalam memberikan panduan dalam melakukan angiografi invasive.
Studi memperlihatkan bahwa pengukuran FFR berdasarkan CCTA (FFRCT) merupakan modalitas yang dapat memangkas biaya yang sekaligus menurunkan prosedur tindakan PCI. Dengan sedikitnya PCI yang dilakukan maka mungkin akan mendapatkan hasil keluaran yang lebih baik, karena ketika kita memberikan stent atau melakukan tindakan invasive lainnya mungkin kita akan mendapatkan masalah. Hal inilah yang diungkapkan dr Mark Hlatky dari Universitas Stanford dalam acara tahunan perkumpulan CCT 2012.
FFR vs angiografi pada pasien dengan penyakit arteri koroner multivessel (FAME) menunjukkan pengukuran rutin FFR selama PCI menurunkan mortalitas dan infark miokard, juga menurunkan angka pemakaian stent dengan cara mengidentifikasikan lesi yang terbatas kekurangan aliran darah yang lebih akurat terlihat dibandingkan dengan dilakukannya angiografi sendiri.
Studi DISCOVER FLOW (Diagnosis of Ischemia-Causing Stenoses Obtained via Noninvasive Fractional Flow Reserve) memperlihatkan bahwa FFRCT dapat mengidentifikasikan stenosis koroner yang menyebabkan iskemia tanpa harus dilakukannya intervensi invasive dari pengukuran tradisional kateter berdasarkan FFR.
Selain itu, studi tersebut menyatakan CCTA dapat menurunkan kebutuhan follow up pada beberapa pasien ketika memperlihatkan tanpa adanya penyakit koroner dengan stenosis yang tidak signifikan secara klinis sehingga tidak perlu dipasang stent.
Untuk menemukan bukti FFRCT memperbaiki hasil akhir dan mengurangi biaya yang dihubungkan dengan intervensi yang tidak perlu, dilakukanlah studi model yang membandingkan biaya dan hasil akhir dari strategi berbasis FFRCT dengan pendekatan-pendekatan lesi koroner mana yang akan diterapi.
Peneliti menggunakan data dari studi DISCOVER FLOW ditambah dengan data biaya pemerintah Amerika Serikat untuk menetukan satu tahun mortalitas yang diprediksikan dan tingkat infark miokard begitu juga dengan biaya dari ke tiga strategi diagnostik (angiografi koroner dengan PCI, CCTA diikuti dengan angiografi dan FFRCT kemudian dilakukan angiografi).
Hasil analisa menemukan bahwa pemeriksaan FFRCT sebelum evaluasi invasive dapat menurunkan kebutuhan tindakan angiografi invasive dan PCI sehingga dapat memotong biaya dibandingkan dengan CCTA atau angiografi invasive sendiri-sendiri.
Studi ini hanya memperlihatkan model statistik dan seharusnya dilakukan follow up dengan studi-studi prospektif yang akan mengkonfirmasi FFRCT dapat memperbaiki hasil akhir dan mengurangi biaya. (J Am Coll Cardiol 2012; 59(15): 1410-1)
Studi memperlihatkan bahwa pengukuran FFR berdasarkan CCTA (FFRCT) merupakan modalitas yang dapat memangkas biaya yang sekaligus menurunkan prosedur tindakan PCI. Dengan sedikitnya PCI yang dilakukan maka mungkin akan mendapatkan hasil keluaran yang lebih baik, karena ketika kita memberikan stent atau melakukan tindakan invasive lainnya mungkin kita akan mendapatkan masalah. Hal inilah yang diungkapkan dr Mark Hlatky dari Universitas Stanford dalam acara tahunan perkumpulan CCT 2012.
FFR vs angiografi pada pasien dengan penyakit arteri koroner multivessel (FAME) menunjukkan pengukuran rutin FFR selama PCI menurunkan mortalitas dan infark miokard, juga menurunkan angka pemakaian stent dengan cara mengidentifikasikan lesi yang terbatas kekurangan aliran darah yang lebih akurat terlihat dibandingkan dengan dilakukannya angiografi sendiri.
Studi DISCOVER FLOW (Diagnosis of Ischemia-Causing Stenoses Obtained via Noninvasive Fractional Flow Reserve) memperlihatkan bahwa FFRCT dapat mengidentifikasikan stenosis koroner yang menyebabkan iskemia tanpa harus dilakukannya intervensi invasive dari pengukuran tradisional kateter berdasarkan FFR.
Selain itu, studi tersebut menyatakan CCTA dapat menurunkan kebutuhan follow up pada beberapa pasien ketika memperlihatkan tanpa adanya penyakit koroner dengan stenosis yang tidak signifikan secara klinis sehingga tidak perlu dipasang stent.
Untuk menemukan bukti FFRCT memperbaiki hasil akhir dan mengurangi biaya yang dihubungkan dengan intervensi yang tidak perlu, dilakukanlah studi model yang membandingkan biaya dan hasil akhir dari strategi berbasis FFRCT dengan pendekatan-pendekatan lesi koroner mana yang akan diterapi.
Peneliti menggunakan data dari studi DISCOVER FLOW ditambah dengan data biaya pemerintah Amerika Serikat untuk menetukan satu tahun mortalitas yang diprediksikan dan tingkat infark miokard begitu juga dengan biaya dari ke tiga strategi diagnostik (angiografi koroner dengan PCI, CCTA diikuti dengan angiografi dan FFRCT kemudian dilakukan angiografi).
Hasil analisa menemukan bahwa pemeriksaan FFRCT sebelum evaluasi invasive dapat menurunkan kebutuhan tindakan angiografi invasive dan PCI sehingga dapat memotong biaya dibandingkan dengan CCTA atau angiografi invasive sendiri-sendiri.
Studi ini hanya memperlihatkan model statistik dan seharusnya dilakukan follow up dengan studi-studi prospektif yang akan mengkonfirmasi FFRCT dapat memperbaiki hasil akhir dan mengurangi biaya. (J Am Coll Cardiol 2012; 59(15): 1410-1)
SL Purwo
Studi CONFIRM: Prediksi Risiko pada Pasien Simptomatik
Registri studi CONFIRM menunjukkan bahwa diantara pasien yang hanya memperlihatkan penyakit non obstruksi pada pemeriksaan CT angiografi koroner (CCTA), mereka dengan gejala akut memilki hasil keluaran yang buruk dibandingkan dengan gejala kronik.
Penyakit apapun yang ditemukan pada pasien dengan gejala akut secara signifikan terdapat pada pasien yang memiliki gejala akut mempunyai kejadian yang tidak diinginkan lebih banyak dibandingkan penyakit dengan tingkat yang sama. Itulah yang dikatakan dr Kavitha Chinnaiyan dari RS William Beaumont. Beliau menyampaikan hasil studi dari 9.678 pasien CONFIRM di pertemuan tahunan CCT 2012. Walaupun penyakit yang ringan dengan gejala akut berarti fisiologinya berbeda jika dibandingkan dengan penyakit kronis yang stabil.
Mereka menggunakan CCTA untuk penatalaksanaan cepat triase, tetapi mereka tidak tahu yang terjadi pada pasien-pasien tersebut, jika menrujuk pada studi yang dilakukan di ruang emergensi beberapa hal terjadi secara tidak jelas apakah yang terjadi sehubungan dengan kardiak akan dirujuk ke spesialis jantung ataukah mereka sendiri yang akan menanganinya, itulah kasus yang sulit.
Studi ROMICAT II dan ACRIN, CCTA merupakan tes yang aman untuk skrining pasien-pasien dengan nyeri dada di ruang emergensi. Itulah yang seharusnya dikerjakan di emergensi, jika pasien terdapat gejala nyeri dada lakukanlah pemeriksaan CT dan ternyata tidak didapatkan obstruksi maka pasien dapat pulang.
Studi tersebut menyatakan bahwa CCTA merupakan alat yang tepat untuk mendiagnosis penyakit koroner di ruang emergensi, akan tetapi kita seharusnya menerjemahkan fakta dari masyarakat yang memiliki pnyakit walau ringan akan dilakukan prevensi sekunder yang agresif, dimana tidak dapat didukung studi-studi sebelumnya.
Chinnaiyan dan koleganya menganalisa 27.125 pasien konsekutif dari studi CONFIRM untuk mengidentifikasi 9.678 pasien simptomatik tanpa riwayat penyakit koroner. Dari pasien tersebut 7.204 pasien dengan gejala kronis kemungkinan penyakit koroner yang ditemukan oleh dokter di tempat praktek dan 2.467 pasien dengan gejala akut yang terdapat pada ruang emergensi.
Analisis multivariate memperlihatkan prediktor yang kuat dari kejadian mayor yang tidak diinginkan dengan rerata follow-up selama 2,2 tahun pada pasien penyakit obstruktif dimana merupakan faktor risiko tradisional seperti riwayat keluarga, jenis kelamin laki-laki, merokok, dll. Tetapi diantara pasien dengan penyakit obstruksi, faktor risiko yang terpenting adalah gejala akutnya, dengan tingkat mortalitas tertinggi dibandingkan dengan penyakit obstruksi tanpa gejala akut (3.5% vs 1%, p < 0.001) dan kejadian mayor yang tidak diinginkan tertinggi (4.2% vs 2.1%, p = 0.002). Pada pasien penyakit obstruksi, pasien dengan gejala akut memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan gejala kronis (5.6% vs 2.4%, p = 0.001), tetapi tingkat kejadian yang tidak diinginkan seluruhnya adalah sama pada kedua kelompok (11% vs 8.6%, p = 0.16).
Studi selanjutnya dari registry CONFIRM akan memeriksa karakteristik plak yang dapat menjelaskan perbedaan antara pasien akut dengan non akut. Peneliti juga berharap untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada pasien sindroma koroner akut setelah dipulangkan dari RS. (Circ Cardiovasc Imaging 2011; 4: 463-72)
Penyakit apapun yang ditemukan pada pasien dengan gejala akut secara signifikan terdapat pada pasien yang memiliki gejala akut mempunyai kejadian yang tidak diinginkan lebih banyak dibandingkan penyakit dengan tingkat yang sama. Itulah yang dikatakan dr Kavitha Chinnaiyan dari RS William Beaumont. Beliau menyampaikan hasil studi dari 9.678 pasien CONFIRM di pertemuan tahunan CCT 2012. Walaupun penyakit yang ringan dengan gejala akut berarti fisiologinya berbeda jika dibandingkan dengan penyakit kronis yang stabil.
Mereka menggunakan CCTA untuk penatalaksanaan cepat triase, tetapi mereka tidak tahu yang terjadi pada pasien-pasien tersebut, jika menrujuk pada studi yang dilakukan di ruang emergensi beberapa hal terjadi secara tidak jelas apakah yang terjadi sehubungan dengan kardiak akan dirujuk ke spesialis jantung ataukah mereka sendiri yang akan menanganinya, itulah kasus yang sulit.
Studi ROMICAT II dan ACRIN, CCTA merupakan tes yang aman untuk skrining pasien-pasien dengan nyeri dada di ruang emergensi. Itulah yang seharusnya dikerjakan di emergensi, jika pasien terdapat gejala nyeri dada lakukanlah pemeriksaan CT dan ternyata tidak didapatkan obstruksi maka pasien dapat pulang.
Studi tersebut menyatakan bahwa CCTA merupakan alat yang tepat untuk mendiagnosis penyakit koroner di ruang emergensi, akan tetapi kita seharusnya menerjemahkan fakta dari masyarakat yang memiliki pnyakit walau ringan akan dilakukan prevensi sekunder yang agresif, dimana tidak dapat didukung studi-studi sebelumnya.
Chinnaiyan dan koleganya menganalisa 27.125 pasien konsekutif dari studi CONFIRM untuk mengidentifikasi 9.678 pasien simptomatik tanpa riwayat penyakit koroner. Dari pasien tersebut 7.204 pasien dengan gejala kronis kemungkinan penyakit koroner yang ditemukan oleh dokter di tempat praktek dan 2.467 pasien dengan gejala akut yang terdapat pada ruang emergensi.
Analisis multivariate memperlihatkan prediktor yang kuat dari kejadian mayor yang tidak diinginkan dengan rerata follow-up selama 2,2 tahun pada pasien penyakit obstruktif dimana merupakan faktor risiko tradisional seperti riwayat keluarga, jenis kelamin laki-laki, merokok, dll. Tetapi diantara pasien dengan penyakit obstruksi, faktor risiko yang terpenting adalah gejala akutnya, dengan tingkat mortalitas tertinggi dibandingkan dengan penyakit obstruksi tanpa gejala akut (3.5% vs 1%, p < 0.001) dan kejadian mayor yang tidak diinginkan tertinggi (4.2% vs 2.1%, p = 0.002). Pada pasien penyakit obstruksi, pasien dengan gejala akut memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan gejala kronis (5.6% vs 2.4%, p = 0.001), tetapi tingkat kejadian yang tidak diinginkan seluruhnya adalah sama pada kedua kelompok (11% vs 8.6%, p = 0.16).
Studi selanjutnya dari registry CONFIRM akan memeriksa karakteristik plak yang dapat menjelaskan perbedaan antara pasien akut dengan non akut. Peneliti juga berharap untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada pasien sindroma koroner akut setelah dipulangkan dari RS. (Circ Cardiovasc Imaging 2011; 4: 463-72)
SL Purwo
CCTA Kurang Berguna pada Pasien dengan Nilai Kalsium yang Tinggi
Hasil dari studi CORE-64 menegaskan bahwa kegunaan pencitraan angiografi CT koroner (CCTA) bervariasi luas tergantung populasi pasien yang diperiksa.
Hasilnya memperlihatkan probabilitas pretest untuk penyakit arteri koroner (CAD) dan nilai kalsium koroner keduanya merupakan prediktif dari prevalensi penyakit, penting untuk menilai keefektifan CCTA mengeklusikan atau mengkonfirmasikan adanya penyakit koroner obstruksi pada pasien-pasien.
Pernyataan umum, seperti tes ini mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi mungkin tidak sepenuhnya benar, karena pada setting klinis mungkin ini bukanlah kasus yang bisa disamakan, walaupun dengan sensitivitas dan spesifisitas melebihi 90%. Temuan ini mungkin akan menjadi rekomendasi yang disesuaikan dalam hal penggunaan CCTA untuk skenario yang lebih spesifik. Mungkin juga akan mendorong praktisi untuk melakukan pemeriksaan nilai kalsium sebelum dilakukannya CCTA.
Studi tersebut menunjukkan pemeriksaan CCTA sangatlah bermanfaat untuk me-rule out pasien dengan probabilitas pretest yang rendah-sedang dari suatu penyakit dan kalsifikasi koroner ringan atau dalam hal ini dengan nilai kalsium nol.
Menggunakan 371 pasien yang diperiksa CCTA dan kateterisasi jantung untuk mendeteksi penyakit koroner obstruksi (paling tidak 50% stenosis lumen yang diukur dengan angiografi koroner kuantitatif, QCA). Pasien-pasien tersebut menjalankan dua kali pemeriksaan CCTA, satu untuk penilaian kalsium koroner dan sisanya untuk angiografi sebelum tindakan angiogram koroner konvensional.
Kelompok tersebut termasuk 80 pasien dengan nilai kalsium lebih dari 600. Daerah di bawah kurva karakteristik receiver-operating digunakan untuk membandingkan keakuratan diagnosis CCTA dengan QCA pada pasien yang dinilai dari nilai kalsium dan probabilitas pretest penyakit koroner.
Analisis pasien berbasis akurasi CCTA kuantitatif mengungkapkan AUC 0,93 (akurasi sangat baik), dimana tetap sama bahkan setelah pasien dengan penyakit koroner yang diketahui dikeluarkan. Tapi AUC menurun menjadi 0,81 pada pasien dengan nilai kalsium sebesar 600 atau lebih tinggi (p = 0,077). Meskipun AUC ada di sekitar 0,93 pada pasien dengan probabilitas pretest menengah atau tinggi atau penyakit koroner yang diketahui, nilai prediksi negatif berbeda masing-masing dengan 0,90, 0,83, dan 0,50.
Untuk kepentingan praktis, probabilitas pretest yang menggunakan karakteristik klinis dan nilai kalsium sangat membantu dalam menentukan keberhasilan dalam hal mengesampingkan penyakit arteri koroner obstruksi pada pasien. Sebagai contoh, studi CORE-64 menunjukkan bahwa nilai prediksi negatif dari CCTA pada pasien probabilitas pretest menengah mengalami penurunan lebih dari 90% pada mereka dengan nilai kalsium di bawah 100 sampai sekitar 75% pada pasien dengan nilai kalsium 100 atau lebih besar dan mendekati 70% pada pasien dengan nilai kalsium 400 atau lebih besar.
Temuan studi yang paling penting adalah populasi pasien terutama prevalensi penyakit, memiliki pengaruh yang sangat besar pada keakuratan diagnostik CCTA, karena pada setiap uji-khususnya memiliki nilai-nilai prediktif. Nilai kalsium dengan prevalensi penyakit membantu mendefinisikan prevalensi penyakit pada populasi tertentu. Hasil studi ini sama dengan hasil studi-studi sebelumnya.
Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa CCTA dapat menjadi alat yang handal dan bermanfaat untuk membimbing intervensi koroner. Gambar interpretasi untuk CCTA merupakan sesuatu yang tepat atau tidak tepat untuk modalitas pencitraan kardiak lainnya. Ada variabilitas yang cukup untuk modalitas-modalitas pencitraan lainnya, tergantung pada pelatihan, membaca volume, kualitas gambar, kalsifikasi, prevalensi penyakit, dll.
Nilai prediksi negatif CCTA pada pasien dengan penyakit koroner yang diketahui mendekati 0,50, dan tingkat positif palsu dan negatif palsu adalah sekitar 10% sampai 15% pada pasien dengan peluang pretest menengah. Karena itu, yang didokumentasikan dalam penelitian ini, tingkat kesalahan tetap terlalu tinggi untuk merekomendasikan penggunaan CCTA sebagai alternatif untuk kateterisasi jantung atau tes pencitraan stres pada pasien dengan probabilitas tinggi penyakit arteri koroner.
CCTA memberikan radiasi berpotensi berbahaya terhadap pasien dan kehadiran atau tidak adanya stenosis 50% tidak cukup untuk menentukan apakah revaskularisasi yang tepat atau tidak. Gejala dan adanya iskemia reversibel adalah faktor penting untuk menentukan kelayakan intervensi koroner. (J Am Coll Cardiol 2012; 59:388-389)
Hasilnya memperlihatkan probabilitas pretest untuk penyakit arteri koroner (CAD) dan nilai kalsium koroner keduanya merupakan prediktif dari prevalensi penyakit, penting untuk menilai keefektifan CCTA mengeklusikan atau mengkonfirmasikan adanya penyakit koroner obstruksi pada pasien-pasien.
Pernyataan umum, seperti tes ini mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi mungkin tidak sepenuhnya benar, karena pada setting klinis mungkin ini bukanlah kasus yang bisa disamakan, walaupun dengan sensitivitas dan spesifisitas melebihi 90%. Temuan ini mungkin akan menjadi rekomendasi yang disesuaikan dalam hal penggunaan CCTA untuk skenario yang lebih spesifik. Mungkin juga akan mendorong praktisi untuk melakukan pemeriksaan nilai kalsium sebelum dilakukannya CCTA.
Studi tersebut menunjukkan pemeriksaan CCTA sangatlah bermanfaat untuk me-rule out pasien dengan probabilitas pretest yang rendah-sedang dari suatu penyakit dan kalsifikasi koroner ringan atau dalam hal ini dengan nilai kalsium nol.
Menggunakan 371 pasien yang diperiksa CCTA dan kateterisasi jantung untuk mendeteksi penyakit koroner obstruksi (paling tidak 50% stenosis lumen yang diukur dengan angiografi koroner kuantitatif, QCA). Pasien-pasien tersebut menjalankan dua kali pemeriksaan CCTA, satu untuk penilaian kalsium koroner dan sisanya untuk angiografi sebelum tindakan angiogram koroner konvensional.
Kelompok tersebut termasuk 80 pasien dengan nilai kalsium lebih dari 600. Daerah di bawah kurva karakteristik receiver-operating digunakan untuk membandingkan keakuratan diagnosis CCTA dengan QCA pada pasien yang dinilai dari nilai kalsium dan probabilitas pretest penyakit koroner.
Analisis pasien berbasis akurasi CCTA kuantitatif mengungkapkan AUC 0,93 (akurasi sangat baik), dimana tetap sama bahkan setelah pasien dengan penyakit koroner yang diketahui dikeluarkan. Tapi AUC menurun menjadi 0,81 pada pasien dengan nilai kalsium sebesar 600 atau lebih tinggi (p = 0,077). Meskipun AUC ada di sekitar 0,93 pada pasien dengan probabilitas pretest menengah atau tinggi atau penyakit koroner yang diketahui, nilai prediksi negatif berbeda masing-masing dengan 0,90, 0,83, dan 0,50.
Untuk kepentingan praktis, probabilitas pretest yang menggunakan karakteristik klinis dan nilai kalsium sangat membantu dalam menentukan keberhasilan dalam hal mengesampingkan penyakit arteri koroner obstruksi pada pasien. Sebagai contoh, studi CORE-64 menunjukkan bahwa nilai prediksi negatif dari CCTA pada pasien probabilitas pretest menengah mengalami penurunan lebih dari 90% pada mereka dengan nilai kalsium di bawah 100 sampai sekitar 75% pada pasien dengan nilai kalsium 100 atau lebih besar dan mendekati 70% pada pasien dengan nilai kalsium 400 atau lebih besar.
Temuan studi yang paling penting adalah populasi pasien terutama prevalensi penyakit, memiliki pengaruh yang sangat besar pada keakuratan diagnostik CCTA, karena pada setiap uji-khususnya memiliki nilai-nilai prediktif. Nilai kalsium dengan prevalensi penyakit membantu mendefinisikan prevalensi penyakit pada populasi tertentu. Hasil studi ini sama dengan hasil studi-studi sebelumnya.
Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa CCTA dapat menjadi alat yang handal dan bermanfaat untuk membimbing intervensi koroner. Gambar interpretasi untuk CCTA merupakan sesuatu yang tepat atau tidak tepat untuk modalitas pencitraan kardiak lainnya. Ada variabilitas yang cukup untuk modalitas-modalitas pencitraan lainnya, tergantung pada pelatihan, membaca volume, kualitas gambar, kalsifikasi, prevalensi penyakit, dll.
Nilai prediksi negatif CCTA pada pasien dengan penyakit koroner yang diketahui mendekati 0,50, dan tingkat positif palsu dan negatif palsu adalah sekitar 10% sampai 15% pada pasien dengan peluang pretest menengah. Karena itu, yang didokumentasikan dalam penelitian ini, tingkat kesalahan tetap terlalu tinggi untuk merekomendasikan penggunaan CCTA sebagai alternatif untuk kateterisasi jantung atau tes pencitraan stres pada pasien dengan probabilitas tinggi penyakit arteri koroner.
CCTA memberikan radiasi berpotensi berbahaya terhadap pasien dan kehadiran atau tidak adanya stenosis 50% tidak cukup untuk menentukan apakah revaskularisasi yang tepat atau tidak. Gejala dan adanya iskemia reversibel adalah faktor penting untuk menentukan kelayakan intervensi koroner. (J Am Coll Cardiol 2012; 59:388-389)
SL Purwo
Apakah Penilaian Skar Miokard oleh MRI Membantu Dalam Stratifikasi Risiko untuk Terapi ICD ?
Studi ini merupakan studi kohort satu senter dari pasien-pasien yang dirujuk untuk dilakukannya tindakan studi elektrofisiologi (EPS) dan atau pemasangan Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) tanpa melihat fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF). Seluruh pasien dilakukan pemeriksaan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) kardiak dan persentasi skar dinilai. Hasil akhir primer adalah kematian atau ketepatan pemasangan ICD atas indikasi sustained ventricular tachycardia (VT).
Didapatkan usia rerata studi kohort tersebut 59 ± 15 tahun yang memiliki penyakit jantung iskemik, 33%/5% dengan NYHA kelas III/IV, 54% tanpa VT terinduksi pada pemeriksaan EPS dan rerata LVEF 35 ± 18%.
Selama 24 bulan follow up, 104 pasien mendapatkan ICD. Dari 137 pasien, 39 (28%) pasien didapatkan hasil akhir primer berupa kematian atau pelepasan ICD. Pasien yang memenuhi kriteria hasil akhir primer lebih banyak yang mempunyai gejala NYHA kelas lanjut dan VT terinduksi dari pemeriksaan EPS.
Pada MRI kardiak, pasien yang memenuhi hasil akhir primer memiliki LVEF yang rendah (30 ± 14% vs. 38 ± 19%, p = 0.002) volum LV yang besar (volum akhir diastolik ventrikel kiri 246 ± 156 vs. 192 ± 84 ml, p = 0.048) dan persentase skar miokard yang besar (12.9 [6.3-19]% vs. 5 [0-15]%, p = 0.002).
Analisis multivariat, kelas NYHA yang tinggi (HR 1.7; 95%CI 1.2-2.4) dan skar miokard > 5% (4.6; 1.8-11.8) merupakan prediktor hasil akhir primer. Skar miokard > 5% dihubungkan dengan peningkatan risiko mortalitas sebanyak 5.9 kali.
Pasien dengan LVEF > 30%, skar miokard > 5% dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian sebesar 6.3 kali dibanding dengan LVEF yang sama dan skar miokard < 5%. Tingkat kejadian pada LVEF> 30% dan skar miokard > 5% adalah sama pada pasien dengan LVEF < 30% (0.8; 0.4-1.6; p = 0.56).
Skar miokard merupakan prediktor kejadian yang tidak diinginkan dari pemasangan ICD tanpa melihat LVEF. Studi ini memperlihatkan skar miokard merupakan prediktor kejadian pada pasien yang menjalani pemasangan ICD. Keterbatasan studi ini adalah tidak tersamar, ICD merupakan bagian dari prosedur EPS dan 25% pasien tidak ada pemasangan ICD.
Persentase skar miokard nampaknya lebih baik dibandingkan LVEF dalam mengidentifikasikan kejadian. Pasien-pasien dengan LVEF > 30% dan luasnya skar miokard memiliki kejadian yang sama. (J Am Coll Cardiol 2012: 6: 408-20)
Didapatkan usia rerata studi kohort tersebut 59 ± 15 tahun yang memiliki penyakit jantung iskemik, 33%/5% dengan NYHA kelas III/IV, 54% tanpa VT terinduksi pada pemeriksaan EPS dan rerata LVEF 35 ± 18%.
Selama 24 bulan follow up, 104 pasien mendapatkan ICD. Dari 137 pasien, 39 (28%) pasien didapatkan hasil akhir primer berupa kematian atau pelepasan ICD. Pasien yang memenuhi kriteria hasil akhir primer lebih banyak yang mempunyai gejala NYHA kelas lanjut dan VT terinduksi dari pemeriksaan EPS.
Pada MRI kardiak, pasien yang memenuhi hasil akhir primer memiliki LVEF yang rendah (30 ± 14% vs. 38 ± 19%, p = 0.002) volum LV yang besar (volum akhir diastolik ventrikel kiri 246 ± 156 vs. 192 ± 84 ml, p = 0.048) dan persentase skar miokard yang besar (12.9 [6.3-19]% vs. 5 [0-15]%, p = 0.002).
Analisis multivariat, kelas NYHA yang tinggi (HR 1.7; 95%CI 1.2-2.4) dan skar miokard > 5% (4.6; 1.8-11.8) merupakan prediktor hasil akhir primer. Skar miokard > 5% dihubungkan dengan peningkatan risiko mortalitas sebanyak 5.9 kali.
Pasien dengan LVEF > 30%, skar miokard > 5% dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian sebesar 6.3 kali dibanding dengan LVEF yang sama dan skar miokard < 5%. Tingkat kejadian pada LVEF> 30% dan skar miokard > 5% adalah sama pada pasien dengan LVEF < 30% (0.8; 0.4-1.6; p = 0.56).
Skar miokard merupakan prediktor kejadian yang tidak diinginkan dari pemasangan ICD tanpa melihat LVEF. Studi ini memperlihatkan skar miokard merupakan prediktor kejadian pada pasien yang menjalani pemasangan ICD. Keterbatasan studi ini adalah tidak tersamar, ICD merupakan bagian dari prosedur EPS dan 25% pasien tidak ada pemasangan ICD.
Persentase skar miokard nampaknya lebih baik dibandingkan LVEF dalam mengidentifikasikan kejadian. Pasien-pasien dengan LVEF > 30% dan luasnya skar miokard memiliki kejadian yang sama. (J Am Coll Cardiol 2012: 6: 408-20)
SL Purwo
Hubungan Model 17 Segmen dan Anatomi Arteri Koroner Menggunakan Contrast Enhanced Cardiac Magnetic Resonance Imaging
Asosiasi Jantung Amerika (AHA) mengeluarkan panduan mengenai segmentasi miokardium dan registrasi pencitraan kardiak yang merekomendasikan model 17 segmen dari ventrikel kiri sebagai pendekatan optimal untuk menginterpretasikan regional abnormalitas ventrikel kiri secara visual dengan tehnik-tehnik pencitraan kardiak multipel.
Pencitraan resonansi magnetik kardiak (CMR) merupakan modalitas pencitraan noninvasive yang sangat kuat untuk mengevaluasi fungsi miokardium, perfusi dan viabilitas tanpa membutuhkan administrasi radioaktif.
Modalitas pencitraan ini menunjukkan resolusi spasial yang tinggi ketika dibandingkan dengan tehnik pencitraan perfusi nuklir.
Luasnya hyperenhacement subendokardial yang diikuti dengan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI) sesuai dengan jaringan miokardium yang terkena dari hasil angiografi.
Studi yang dilakukan oleh Ortiz-Perez et al ini bertujuan untuk menilai hubungan antara anatomi arteri koroner dan model 17 segmen berdasarkan suplai miokardium yang didasarkan pada AHA.
Dari studi prospektif yang menginvestigasikan remodeling ventrikel kiri dengan STEMI yang dilakukan sejak Januari 2000 sampai Juni 2006, dilakukan retrospektif 115 pasien yang memenuhi kriteria adanya nyeri dada selama 30 menit dengan EKG segmen ST elevasi > 0.1mV paling sedikit di 2 lead atau adanya kecurigaan infark posterior, dilakukannya tindakan PCI primer dalam 24 jam pertama, telah ada konfirmasi infark miokard akut dari kreatinin fosfokinase yang lebih dari 2 kali batas atas referensi serta tidak adanya riwayat infark miokard sebelumnya.
Studi ini mengeklusikan 11 pasien tingkat TIMI flow > 1 pada arteri terkait daerah infark (IRA), 2 pasien riwayat operasi bedah pintas koroner dan 1 pasien dengan ketidakjelasan IRA. Total 101 pasien yang memenuhi untuk studi ini serta dilakukan pemeriksaan CMR.
Studi CMR dilakukan pada 93 pasien infark miokard akut yang diterapi dengan PCI primer. Dua observer tersamar ganda melihat ulang semua angiogram pasien tersebut untuk menentukan lokasi dari lesi culprit dan dominansi arteri koroner. Dua observer tambahan menilai apakah ada hyperenhancement (HE) pada model 17 segmen. Segmen-segmen tersebut dibagi berdasarkan daerah anatomi seperti sulcus interventricular dan musculus papilaris.
Pada analisis per segmen, 23% dari segmen HE tidak sesuai dengan distribusi koroner yang ada. HE yang nampak pada dinding basal anteroseptal, mid anterior, mid anteroseptal atau apikal anterior adalah 100% spesifik untuk distribusi arteri koroner left anterior descending (LAD).
Distribusi segementasi arteri koroner.
Distribusi
segmentasi arteri koroner dengan model 17 segmen yang dibuat oleh AHA
(diagram kiri bulls eye) dan berdasarkan spesifitas maksimum CMR HE
(diagram kanan bulls eye). Hasil studi ini menyatakan daerah LAD pada
kebanyakan kasus memberikan segmentasi tambahan pada apeks (segmen 15
dan 16) dan dinding mid anterolateral (segmen 12). Infark pada LAD sering kali melibatkan dinding mid anterolateral, apikal lateral dan apikal inferior. Tidak ada 100% segmen yang spesifik untuk arteri koroner kanan (RCA) atau oklusi arteri koroner sirkumfleks kiri (LCX), walaupun HE pada dinding basal anterolateral sangat spesifik (98%) untuk oklusi LCX.
Kombinasi HE pada dinding anterolateral dan inferolateral 100% spesifik untuk oklusi LCX dan ketika meluas ke dinding inferior juga didapatkan 100% spesifik untuk oklusi dominan atau kodominan LCX.
Empat segmen secara spesifik dapat menggambarkan oklusi LAD. Tidak ada segmen yang dapat secara jelas menyatakan oklusi RCA atau LCX. Walaupun analisis segmen yang ada meningkatkan spesifitas untuk keterlibatan arteri koroner yang terkena. Temuan ini memberikan bukti objektif kegunaan segmentasi wilayah perfusi arteri koroner dan memberikan penilaian yang akurat mengenai pembuluh darah yang terkena pada beberapa modalitas pencitraan. (J Am Coll Cardiol Img 2008; 1: 282–93)
SL Purwo
Langganan:
Postingan (Atom)