Pembicara dan moderator simposium
Atrial Fibrilasi (AF) merupakan bentuk aritmia jantung yang paling sering dijumpai dan dihubungkan dengan keadaan pro-trombotik akibat turbulensi aliran darah pada atrium yang pada akhirnya menyebabkan terbentuknya emboli. Emboli yang terbentuk akibat AF yang berkepanjangan perlahan akan dibawa ke aliran cerebrovascular yang dapat mengakibatkan stroke kardioemboli. Risiko terjadinya stroke pada kasus AF 1,5 % pertahun pada usia 50-59 tahun dan sebanyak 23,5 % pada usia 80-89 tahun.
dr. Erwinanto, SpJP(K), FIHA
Materi pembuka yang disampaikan oleh dr.Erwinanto,Sp.JP.FIHA dengan judul Atrial Fibrilation : Diagnosis, Pathogenesis and Primary Stroke Prevention mengatakan bahwa terbentuknya Atrial Fibrilasi oleh karena adanya substrat dan trigger. Substrat maksudnya adalah fibrosis atrium yang mengakibatkan ganguan konduksi sinyal listrik jantung yang menyebabkan mekanisme re-entrant. Fibrosis atrium dapat disebabkan baik karena kondisi iskemik ataupun adanya peregangan atrium pada kasus gagal jantung. Sedangkan trigger disebabkan oleh karena pembentukan impuls yang terlalu banyak oleh vena pulmonalis. Impuls berlebihan yang dibentuk di SA node akan melewati AV node yang sedang dalam keadaan refrakter sehingga tidak semua impuls diteruskan yang mengakibatkan gambaran irregular pada EKG. Studi AFFIRM (Atrial Fibrilation Follow Up Investigation of rhytme management) tahun 2002 menunjukkan bahwa yang menjadi strategi pada penatalaksanaan atrial fibrilasi adalah kontrol rate. Kesimpulan yang didapatkan adalah kontrol rate disertai pemberian antikoagulan merupakan strategi terapi pada pasien AF dengan faktor resiko terjadinya stroke atau kematian dan lebih baik daripada kontrol ritme.
Prognosis dari AF paroksismal lebih baik daripada AF sustained, meskipun demikian AF paroksismal tetap diterapi oleh karena mempunyai risiko yang sama terhadap kejadian stroke emboli. Pada setiap kasus AF kita harus membuat stratifikasi terhadap kejadian stroke dan trombo-emboli. Assesmen risiko tersebut dapat dinilai melalui CHA2DS2VASc score yang merupakan akronim dari Congestive heart failure, Hypertension, Age >75 (doubled), Diabetes, stroke (doubled), vascular disease, age 65-74, sex category (female) dengan memakai system poin yang akan dijumlahkan dari masing masing faktor risiko. CHA2DS2VASc score berguna sebagai acuan dalam pemilihan tromboprophylaxis pada pasien AF. Pasien yang memiliki satu faktor risiko mayor atau lebih dari dua factor risik non-mayor yang relevan (CHA2DS2VASc score = 2) maka pilihan tromboprofilaksis adalah antikoagulan oral (OAC), sedangkan pasien yang memiliki satu faktor risiko non mayor yang relevan (CHA2DS2VASc score = 1) maka pilihan tromboprofilaksis bisa dengan antikoagulan oral atau aspirin 75 hingga 325 mg perhari (aspirin yang sering dipakai dalam regimen dosis adalah 75-160 mg perhari oleh karena pada dosis tersebut sudah dapat menghambat agregasi trombosit dengan lengkap), namun lebih dianjurkan pemakaian antikoagulan oral. Pasien yang tidak memiliki faktor risiko sama sekali (CHA2DS2VASc score = 0) tidak dianjurkan pemberian tromboprofilaksis.
Materi kedua disampaikan pembicara dari luar Indonesia yaitu dr. Jafra Cox yang membahas tentang aplikasi klinis pemakaian rivaroxaban (xarelto) yang bekerja sebagai inhibitor langsung faktor Xa mengawali presentasinya dengan beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan AF. Studi ROCKET (Rivaroxaban once daily oral factor X inhibition compared with vitamin K antagonist for prevention of stroke and embolism trial in AF) dengan randomized double blind yang membandingkan rivaroxaban 20 mg dan warfarin yang diberikan pada pasien AF dengan minimal memiliki dua faktor risiko yaitu gagal jantung, hipertensi, usia diatas 75 tahun dan diabetes atau adanya stroke, TIA atau emboli sistemik. Kesimpulan dari rocket study bahwa pada manajemen kasus AF, antikoagulan rivaroxaban non-inferior terhadap warfarin untuk pencegahan stroke dan tromboemboli tanpa membutuhkan monitoring INR selain itu rivaroxaban (xarelto) secara signifikan mengurangi risiko stroke hemoragik dan emboli sistemik dibandingkan dengan warfarin dan mempunyai efek pendarahan intrakranial/fatal yang lebih sedikit dibanding warfarin serta secara klinis hanya sedikit interaksi dengan berbagai obat. Akan tetapi rivaroxaban memiliki keterbatasan yaitu tidak adanya anti dotum jika terjadi perdarahan.
Selain itu dibahas juga manajemen pemberian anti trombotik yang disertai dengan coronary artery disease (CAD) baik itu stable CAD, recent ACS dan pasien yang menjalani Percutaneus Coronary intervention (PCI) berdasarkan Canadian Cardiovascular Society Atrial Fibrilation Guidelines 2010 : Prevention of stroke and Thromboembolism in Atrial Fibrilarion and Atrial Flutter mengatakan bahwa pemilihan anti-trombotik berdasarkan CHADS2 score. Pasien stable CAD dengan score 0 hanya diberikan aspirin, sedangkan jika score lebih besar sama dengan 1 diberikan monoterapi anti koagulan. Pasien dengan recent ACS dengan score lebih kecil sama dengan 1 diberi kombinasi aspirin dan clopidogrel, sedangkan jika lebih besar sama dengan 2 diberi triple anti trombotik. Pasien yang menjalani PCI jika score lebih kecil sama dengan 1 diberikan kombinasi aspirin dan clopidogrel, sedangkan jika score lebih besar sama dengan 2 diberikan triple antitrombotik.
Sebelum pemberian antikoagulan pertimbangkanlah beberapa hal berikut yaitu usia lanjut dimana risiko perdarahan meningkat pada pasien geriatrik, kedua adalah fungsi ginjal oleh karena obat antikoagulan di ekskresi oleh ginjal berikutnya adalah evaluasi stroke dan risiko perdarahan dan juga perlu dilakukan re-evaluasi setelah prosedur diagnostik atau bedah. Jadi dosis profilaksis rivaroxaban yang direkomendasikan untuk pencegahan stroke adalah 20 mg, satu tablet sekali sehari, jika terdapat gangguan ginjal dosis dapat dikurangi menjadi 15 mg, satu tablet sekali sehari
Dalam pemberian antikoagulan secara rutin terhadap pasien hendaknya dilakukan monitoring antara lain adalah nilai kepatuhan atau adherensi pasien dalam mengkonsumsi antikoagulan berikutnya adalah evaluasi fungsi ginjal oleh karena antikoagulan diekresi oleh ginjal. Monitoring mencakup nilai Creatinin Clearance (CrCl), jika CrCl < 15 ml/menit maka segera hentikan konsumsi antikoagulan rivaroxaban, jika CrCl < 30 ml/ menit maka segera hentikan konsumsi antikoagulan debigatran. Selain itu perlu juga dilakukan monitoring terhadap parameter laboratium dan tampilan klinis yang relevan.
Materi penutup disampaikan oleh dr. M. Kurniawan, Sp.S, neurolog tersebut mengatakan bahwa penyebab utama stroke Iskemik oleh karena kardioemboli adalah AF. Berdasarkan Framingham study mengatakan bahwa AF meningkatkan risiko kejadian stroke sebesar lima kali lipat dan memperberat stroke itu sendiri. Beliau juga mengatakan bahwa terdapat kecenderungan untuk rekurensi serangan stroke setelah kejadian stroke iskemik atau transient ischemic attact (TIA). Selama 30 hari paska stroke rukurensi terjadinya TIA sebanyak 4-8 % dan 3-10 % pada stroke, dan dalam 5 tahun rekurensi pada TIA terjadi sebanyak 24-29% dan pada stroke sebanyak 25-40%. Fase setelah stroke akut pemberian rivaroxaban dimulai berdasarkan tingkat keparahan stroke. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan imaging terlebih dahulu untuk memastikan apakah stroke perdarahan atau bukan. Kasus TIA jika pada imaging terbukti tidak ada perdarahan serebral, rivaroxaban dapat segera diberi, sedangkan pada kasus yang berat rivaroxaban diberikan 2 minggu setelah onset stroke. Pada kasus ringan pemberian awal 3-5 hari setelah onset, sedangkan kasus moderate 5-7 hari setelah onset. Rivaroxaban (xarelto) disini perannya sebagai secondary prevention pada TIA dan stroke.
Jika terjadi perdarahan karena antikoagulan, langkah yang dapat dilakukan adalah hentikan segera penggunaan obat, kontrol perdarahan dengan tekanan atau hemostasis secara bedah, periksa aPTT/PT jika memanjang maka obat segera dihentikan, Hemodialisis kecuali pada antikoagulan jenis rivaroxaban tidak akan berkhasiat oleh karena rivaroxaban terikat dengan protein.
Akhir acara diadakan diskusi panel dengan berbagai pembicara dari berbagai jenis spesialisasi membahas pertanyaan pertanyaan yang diajukan kepada pembicara baik dari Jakarta sendiri maupun yang lagi didaerah melalui media interaktif langsung. Prinsip terpenting dalam memberikan antikoagulan adalah range terapi atau therapeutic window oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium yang menunjang sebelum pemberian antikoagulan serta saat monitoring terapi. Seperti pada pemberian heparin maka diperiksa terlebih dahulu aPTT dimana nilai normalnya 1-1,5x kontrol, pemberian rivaroxaban perlu pemeriksaan factor Xa dimana nilai normalnya 0,3-0,7 dan warfarin perlu monitoring INR.
(Andika Rizki Lubis, Haikal, SL Purwo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar