Konon, Margareth Thatcher, PM Inggris saat perang Malvinas, bukan hanya cemberut tapi pernah marah-marah. Gara-gara berita koran yang menyebutkan bahwa Margareth Thatcher adalah satu-satunya “jantan” dalam jajaran pemimpin dunia. Bahkan dijuluki The Iron Lady. Tentu saja tulisan itu bermaksud baik. Ingin memuji keberanian dan ketegasan sikap sang perdana menteri. Tapi, pitamlah sang wanita besi tersebut, katanya: Mengapa yang baik dan hebat itu harus selalu “jantan?”
Seorang tokoh Women’s Lib mengajak seorang nyonya untuk ikut serta dalam gerakannya. Sang nyonya nampaknya berminat. Lalu berkata, wou saya tertarik. Tapi, maaf terlebih dahulu, saya harus minta izin suami.
Paradoks Perempuan
Benarkah dunia kita ini adalah dunianya kaum pria? Jawabnya, pasti tidak! Sekarang ini justru dunianya kaum wanita. Mereka jauh lebih mudah mendapatkan pekerjaan daripada kaum pria. Sang bapak yang resmi berkuasa, tapi sang istri yang pengendali sebenarnya. “Dalam kehidupan tangsi, bila bapak kolonel maka ibu jenderal”.
Tapi sesungguhnya, kenyataan yang terdalam menunjukkan bahwa dunia kita sekarang ini masih dunianya kaum pria. Ketika kewanitaan diidentikkan dengan kelemahan, bukan kelemah-lembutan, diasosiasikan dengan ketergantungan bukan kemandirian. Ketika yang hebat itu disebut “jago”, tapi yang “tuna susila” itu selalu wanita. Ketika pria yang palingsering diingatkan “awas sakit jantung”, tapi fakta bahwa wanita yang paling malas berolahraga. Bahkan meninggal dunia akibat penyakit tidak menular di kawasan ASEAN didominasi kaum wanita, yakni 61,5% dari total kematian.
Kesetaraan Gender
Sampai hari ini sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki atau yang lazim disebut kesetaraan gender. Peringatan Hari Kartini identik dengan perjuangan emansipasi.
Sebenarnya sebagian besar perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah “merdeka”. Biasanya mereka itu dari kalangan wanita karir yang sukses, punya prestasi, punya background pendidikan yang tinggi. Dan mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih merasa tidak memiliki hak setara dengan laki-laki. Sebenarnya bukan karena laki-laki menjadikan wanita sebagai obyek, melainkan karena perempuan sendiri yang berlaku demikian.
Dalam parlemen di Indonesia ada sekelompok pejuang perempuan yang meminta kuota 30% dalam keanggotaan legislatif, meminta daftar nama perempuan di barisan atas dalam pemilihan. Bahkan iklan tentang ini banyak diekspos di televisi. Ini justru sangat bertentangan dengan perjuangan feminisme. Sebab kalau meminta quota artinya kaum perempuan ini yakin tidak mampu bersaing secara normal dengan laki-laki dalam dunia politik, sehingga perlu quota. Apabila para aktivis perempuan ini yakin betul bahwa kemampuan kaum perempuan sejajar dengan laki-laki, mengapa tidak bersaing secara fair saja.
Perempuan Perki
Di Indonesia kesetaraan gender sudah sangat baik, lihat saja Megawati, beliau seorang perempuan yang menjadi Presiden, sebuah sukses dalam peraihan karir yang paling tinggi di negeri ini. Bahkan seorang anggota Perki Dr.dr. Fadillah Supari, SpJP menjadi Menteri Kesehatan dalam Kabinet Pembangunan I. Dalam lingkungan kardiologi, ada Prof. Lily Rilantono, SpJP seorang profesional handal yang masih tetap berkiprah hingga kini. Tiga puluh tahun yang lalu, periode 1984-1987 beliau terpilih sebagai Ketua Umum PP Perki. Jejaknya telah diikuti oleh sang murid, dr. Anna Ulfah Rahayoe, SpJP yang sebentar lagi akan melepaskan jabatan sebagai Ketua Umum PP Perki 2010-2012. Prof.dr. Ganesja M. Harimurti, SpJP yang pernah malang melintang sebagai PP Perki, bahkan kini masih pada posisi strategis dalam pendidikan SpJP sebagai Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.
Profil-profil ini cukup menggambarkan bahwa perempuan mempunyai andil hebat dalam perikehidupan kemasyarakatan dan perikehidupan Perki pada khususnya. Selamat, kaum perempuan! Bahwa kaum perempuan mampu membuktikan bahwa potensi karir dan intelektual antara perempuan dan laki-laki adalah setara.
Paguyuban perempuan
Lalu apa lagi yang harus diperjuangkan? Sampai kapan kaum perempuan berjuang untuk kesetaraan gender? Saya rasa jawabannya gampang saja “sampai pada saat mereka tidak teriak-teriak lagi soal kesetaraan gender.” Masalah kesetaraan gender yang gencar didengungkan kaum perempuan itu akan selalu ada jika kaum perempuan tidak pernah merasa bahwa laki-laki adalah “mitra” melainkan sebagai pesaing dan musuh.
Dengan demikian sangat mengherankan bila masih ada kaum feminis Indonesia tidak merasa terwakili oleh prestasi yang diraih mereka ini. Pola pikir DPR berbeda dengan RPD. Riwayat Penyakit Dahulu selalu direfleksikan ke konteks kekinian dalam membangun diagnosis.
Dideklarasikannya Indonesian Women Cardiologist (IWoC) sebagai paguyuban para kardiologis wanita Indonesia dalam meningkatkan kepedulian bagi kaumnya terhadap penyakit kardiovaskuler, perlu disambut dengan baik oleh organisasi profesi dengan memberi kesempatan menjadi public relation penguatan legitimasi kompetensi bagi semua pemangku kepentingan Perki khususnya bagi kelompok kategorial perempuan. A man is known by the companion he keeps. Seseorang bisa dikenal jiwanya dengan siapa ia berteman.
Dr.Dolly RD Kaunang, SpJP, FIHA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar