“Tidak akan ada bom dan reaktor nuklir jika tidak ada teori kuantum.”
~ Presiden Cina Jiang Zemin~
~ Presiden Cina Jiang Zemin~
SALAM Kardio, semangat, cita-cita, jiwa, dan ruh sering diungkapkan secara tertulis bukanlah sesuatu wujud fisik dan tidak jarang disebut sebagai ‘abstrak.’ Tentu saja banyak orang yang merasa kurang nyaman dengan sifat yang tidak konkret, kabur dan mudah menimbulkan multipersepsi tersebut. Apakah benar demikian? Ada baiknya kita renungkan juga kata-kata berikut ini: jiwa patriot, jiwa pendidikan, dan jiwa penelitian. Maka yang sedang dibicarakan sebenarnya adalah sifat-sifat tertentu yang dapat berubah, berkembang dan ada pasang surutnya.
Sesuai namanya, pendidikan tinggi mengajarkan (dan mengembangkan) ilmu yang paling tinggi, lebih atas tingkatannya dari pendidikan menengah, apalagi dasar, apa yang ditekuni benar-benar teratas dan terbaru, diramu dari penemuan para ilmuan besar, merupakan jejak dari akal budi dan puncak-puncak peradaban manusia. Apakah kata jiwa dapat menggantikan kata ruh dalam rangkaian kata-kata ruh-pendidikan tinggi yang beberapa kali dimuat di surat-surat kabar terkemuka di Indonesia? Kardiologi Kuantum akan menjawab “ya” dengan catatan: ruh dalam ruh-pendidikan tinggi adalah jiwa pendidikan tinggi yang ideal, suatu “hati nurani” pendidikan tinggi yang dapat dimiliki oleh siapa saja dosen, mahasiswa dan penyelenggara pendidikan tinggi lainnya. Bedakan juga dengan ruh, roh, dan spirit yang imateri, tidak berkembang, serta tidak terikat ruang dan waktu tetapi omnipotensi adalah jati dirinya manusia yang hakiki.
Baru-baru ini Perki-IDI menyelenggarakan program pelatihan menulis publikasi ilmiah dan meningkatkan kemampuan “induksi” statistik terhadap suatu metodologi penelitian. “Publication and Statistic Skill Training Program-CME IHA (8-9/2/2014 di Bandung)” yang dimotori oleh DR. Dr. Antonia A. Lukito, SpJP (K), FIHA dan sederet singkatan lainnya dinilai telah melakukan upaya yang eksotis untuk mengaktualisa-sikan Ruh Pendidikan Tinggi. Seperti diketahui, publikasi ilmiah di jurnal internasional yang memiliki dampak perubahan masyarakat yang tinggi termasuk penelitian-penelitian novel meningkatkan posisi tawar bangsa Indonesia. Di tengah-tengah keprihatinan berpartisipasi dalam program pemerintah untuk menaikkan martabat kesehatan seluruh rakyat Indonesia, masih ada kelompok ilmuwan yang memelihara jiwa-ideal, hati nurani yang dikenal khalayak ilmiah sebagai Ruh Pendidikan Tinggi itu, salam hormat bagi penyelenggaranya.
Tidak mudah menumbuhkan Jiwa-ideal (ruh) Pendidikan Tinggi apalagi untuk mendapatkan hadiah Nobel. Khususnya di negeri kita penghargaan berupa gaji yang mencukupi bagi penelitinya saja belum terpikirkan, atau sudah terpikir-kan tetapi terlupakan. Bukan rahasia lagi bila sebagian peneliti lebih sibuk mencari penghasilan tambahan daripada tekun, teliti dan berlama-lama di laboratorium. Menumbuh-kembangkan iklim penelitian untuk mencetak pemenang Noble tidaklah gampang. Kelihatannya mudah, perhatikan syarat yang diajukan oleh Prof Dr Ryoji Noyori, pemenang Nobel bidang kimia tahun 2001 dari Jepang hanyalah keberadaan guru, murid, dan sistem yang baik. Suatu hal yang sudah dimiliki oleh negara maju sejak lama.
Dalam tulisannya di Kompas , Kamis (5/2/2004), Dr Terry Mart, staf pengajar dan peneliti pada Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) di Universitas Indonesia, mencontohkan Cina. Negeri ini berani mengembangkan penelitian dasar dengan membangun instalasi penelitian modern skala besar sekaligus menciptakan iklim kondusif bagi para peneliti yang kembali dari belajar di luar negeri. Semua bisa diwujudkan karena Presiden Cina Jiang Zemin punya visi jauh ke depan. Ia rupanya sadar betul, teori adalah dasar suatu penelitian. Maka Jiang Zemin selalu menekankan, “Tidak akan ada bom dan reaktor nuklir jika tidak ada teori kuantum.”
Di Jepang, anak-anak diajak menjawab keingintahuan mereka lewat riset sejak dini, selain itu juga diajari mendokumentasikan setiap proses secara sistematis dan ilmiah. Dijamin, tidak ada alur pikir yang menjurus ke arah jawaban “magis” atau “tuyul” terhadap fenomena yang terjadi. Imbalan untuk guru memadai, sementara buat para penelitinya fasilitas yang tersedia mudah diakses. “Pemerintah Jepang itu membangun pusat-pusat penelitian lengkap yang boleh diakses setiap peneliti dari seluruh Jepang tanpa bayar. Bahkan, biaya transportasi mereka dibayari,” kata Dr Zeily Nurachman dari Jurusan Kimia ITB. Ditambah dengan tiadanya lagi permasalahan kebutuhan dasar serta laboratorium dan perpustakaannya serba ada, membuat hasil penelitian berkualitas Nobel selalu dihasilkan.
“Jadi, doktor lulusan Indonesia itu hebat. Mereka bisa mengatasi keterbatasan laboratorium, perpustakaan, maupun pembimbing yang sibuk terus,” ujar Ridwan. Menurut Ines Irene Caterina Atmosukarto PhD, peneliti biologi molekuler dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dosen di tempatnya belajar di Universitas Adelaide, Australia, hanya punya beban mengajar 20-30 persen. Sisanya meneliti. “Makanya dosen itu dari pagi hingga sore hari ada di universitas. Kalau tidak di kelas pasti ia di laboratorium.” HASILNYA..., orang menjadi sangat fokus. Inilah yang juga diamati Zeily saat mengambil postdoctoral-nya di Pusat Penelitian Kanker Jerman di Heidelberg tahun 2003. “Sebenarnya yang dilakukan tidak istimewa, tetapi karena topiknya fokus dan dijalani konsisten, hasilnya jadi berbeda,” katanya. Peneliti juga tinggal memilih topik, tidak perlu dibebani berbagai urusan lain mulai dari cari dana sampai beli bahan. “Sistem di Indonesia tidak mendukung. Peneliti tidak punya otonomi mengelola biaya penelitian sehingga dananya sering dipotong,” papar Ines.
Tak ada jalan lain. Perubahan mendasar dalam sistem yang ada di Indonesia harus dilakukan kalau mau bersaing di bidang penelitian, apalagi bila menargetkan Nobel. Sekali lagi, yang dibutuhkan memang komitmen dan dukungan penuh pemerintah. Seperti pemerintah Cina. Pada akhirnya, salah satu kata kunci dalam pengembangan riset kita adalah komunikasi yang baik antara peneliti dan pengambil keputusan di bidang penelitian (yang di dalamnya terdapat para peneliti juga). Dan kita semua sadar bahwa ini tidak mudah. Jangankan terhadap mereka yang awam terhadap suatu topik tertentu di dunia penelitian, dengan sesama peneliti pun kadang hal ini sulit dilakukan. Leo Esaki penerima kehormatan Nobel Fisika 1973, telah mengalami kesulitan dalam mengomunikasikan teorinya. Dalam kata pengantar sebuah bukunya, dia bercerita tentang makalahnya mengenai proposal teoretis terhadap superstruktur semikonduktor. Makalah ini ditolak oleh yuri (yang dia sebut tidak imajinatif) di sebuah jurnal Fisika yang terkenal, Physical Review, dengan alasan terlalu spekulatif. Makalah itu akhirnya hanya berhasil diterbitkan dalam sebuah laporan teknis IBM. Belakangan, Esaki secara teknis mampu membuktikan bahwa idenya itu bisa diwujudkan dan dia menjadi pelopor di bidang tersebut. Dengan demikian, perlu kiranya ditambahkan satu lagi kriteria yang harus turut dipertimbangkan oleh pengambil keputusan sebuah kriteria tambahan selain komunikasi dan membumi yaitu eksistensi, setidaknya menurut Hasanudin Dosen Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak beberapa tahun yang lalu.
Epilog. Tampak kardiolog-kardiolog senior dan para profesor yang kesemuanya sudah pensiun dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran UI di belakang Auditorium R.S. Jantung dan Pembuluh Darah. Mereka duduk pada deretan kursi terdepan pada setiap hari konferensi ilmiah dan diskusi penelitian para PPDS jantung agar mutu pendidikan, penelitian dan cara berpikir mereka setara dengan rekan-rekannya yang berada di negara-negara penerima Kehormatan Nobel. Tokoh-tokoh senior tersebut pantas disebut telah memiliki Ruh Pendidikan Tinggi karena mereka sesungguhnya nyaris tidak menerima imbalan apapun, bahkan mengeluarkan ongkosnya pribadi untuk datang dan membeli sepiring nasi untuk makan siangnya sendiri. “May TheForce be with you.” Salam Kuantum dari alam kenyataan serta jagatnya Star Wars.
Sesuai namanya, pendidikan tinggi mengajarkan (dan mengembangkan) ilmu yang paling tinggi, lebih atas tingkatannya dari pendidikan menengah, apalagi dasar, apa yang ditekuni benar-benar teratas dan terbaru, diramu dari penemuan para ilmuan besar, merupakan jejak dari akal budi dan puncak-puncak peradaban manusia. Apakah kata jiwa dapat menggantikan kata ruh dalam rangkaian kata-kata ruh-pendidikan tinggi yang beberapa kali dimuat di surat-surat kabar terkemuka di Indonesia? Kardiologi Kuantum akan menjawab “ya” dengan catatan: ruh dalam ruh-pendidikan tinggi adalah jiwa pendidikan tinggi yang ideal, suatu “hati nurani” pendidikan tinggi yang dapat dimiliki oleh siapa saja dosen, mahasiswa dan penyelenggara pendidikan tinggi lainnya. Bedakan juga dengan ruh, roh, dan spirit yang imateri, tidak berkembang, serta tidak terikat ruang dan waktu tetapi omnipotensi adalah jati dirinya manusia yang hakiki.
Baru-baru ini Perki-IDI menyelenggarakan program pelatihan menulis publikasi ilmiah dan meningkatkan kemampuan “induksi” statistik terhadap suatu metodologi penelitian. “Publication and Statistic Skill Training Program-CME IHA (8-9/2/2014 di Bandung)” yang dimotori oleh DR. Dr. Antonia A. Lukito, SpJP (K), FIHA dan sederet singkatan lainnya dinilai telah melakukan upaya yang eksotis untuk mengaktualisa-sikan Ruh Pendidikan Tinggi. Seperti diketahui, publikasi ilmiah di jurnal internasional yang memiliki dampak perubahan masyarakat yang tinggi termasuk penelitian-penelitian novel meningkatkan posisi tawar bangsa Indonesia. Di tengah-tengah keprihatinan berpartisipasi dalam program pemerintah untuk menaikkan martabat kesehatan seluruh rakyat Indonesia, masih ada kelompok ilmuwan yang memelihara jiwa-ideal, hati nurani yang dikenal khalayak ilmiah sebagai Ruh Pendidikan Tinggi itu, salam hormat bagi penyelenggaranya.
Tidak mudah menumbuhkan Jiwa-ideal (ruh) Pendidikan Tinggi apalagi untuk mendapatkan hadiah Nobel. Khususnya di negeri kita penghargaan berupa gaji yang mencukupi bagi penelitinya saja belum terpikirkan, atau sudah terpikir-kan tetapi terlupakan. Bukan rahasia lagi bila sebagian peneliti lebih sibuk mencari penghasilan tambahan daripada tekun, teliti dan berlama-lama di laboratorium. Menumbuh-kembangkan iklim penelitian untuk mencetak pemenang Noble tidaklah gampang. Kelihatannya mudah, perhatikan syarat yang diajukan oleh Prof Dr Ryoji Noyori, pemenang Nobel bidang kimia tahun 2001 dari Jepang hanyalah keberadaan guru, murid, dan sistem yang baik. Suatu hal yang sudah dimiliki oleh negara maju sejak lama.
Dalam tulisannya di Kompas , Kamis (5/2/2004), Dr Terry Mart, staf pengajar dan peneliti pada Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) di Universitas Indonesia, mencontohkan Cina. Negeri ini berani mengembangkan penelitian dasar dengan membangun instalasi penelitian modern skala besar sekaligus menciptakan iklim kondusif bagi para peneliti yang kembali dari belajar di luar negeri. Semua bisa diwujudkan karena Presiden Cina Jiang Zemin punya visi jauh ke depan. Ia rupanya sadar betul, teori adalah dasar suatu penelitian. Maka Jiang Zemin selalu menekankan, “Tidak akan ada bom dan reaktor nuklir jika tidak ada teori kuantum.”
Di Jepang, anak-anak diajak menjawab keingintahuan mereka lewat riset sejak dini, selain itu juga diajari mendokumentasikan setiap proses secara sistematis dan ilmiah. Dijamin, tidak ada alur pikir yang menjurus ke arah jawaban “magis” atau “tuyul” terhadap fenomena yang terjadi. Imbalan untuk guru memadai, sementara buat para penelitinya fasilitas yang tersedia mudah diakses. “Pemerintah Jepang itu membangun pusat-pusat penelitian lengkap yang boleh diakses setiap peneliti dari seluruh Jepang tanpa bayar. Bahkan, biaya transportasi mereka dibayari,” kata Dr Zeily Nurachman dari Jurusan Kimia ITB. Ditambah dengan tiadanya lagi permasalahan kebutuhan dasar serta laboratorium dan perpustakaannya serba ada, membuat hasil penelitian berkualitas Nobel selalu dihasilkan.
“Jadi, doktor lulusan Indonesia itu hebat. Mereka bisa mengatasi keterbatasan laboratorium, perpustakaan, maupun pembimbing yang sibuk terus,” ujar Ridwan. Menurut Ines Irene Caterina Atmosukarto PhD, peneliti biologi molekuler dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dosen di tempatnya belajar di Universitas Adelaide, Australia, hanya punya beban mengajar 20-30 persen. Sisanya meneliti. “Makanya dosen itu dari pagi hingga sore hari ada di universitas. Kalau tidak di kelas pasti ia di laboratorium.” HASILNYA..., orang menjadi sangat fokus. Inilah yang juga diamati Zeily saat mengambil postdoctoral-nya di Pusat Penelitian Kanker Jerman di Heidelberg tahun 2003. “Sebenarnya yang dilakukan tidak istimewa, tetapi karena topiknya fokus dan dijalani konsisten, hasilnya jadi berbeda,” katanya. Peneliti juga tinggal memilih topik, tidak perlu dibebani berbagai urusan lain mulai dari cari dana sampai beli bahan. “Sistem di Indonesia tidak mendukung. Peneliti tidak punya otonomi mengelola biaya penelitian sehingga dananya sering dipotong,” papar Ines.
Tak ada jalan lain. Perubahan mendasar dalam sistem yang ada di Indonesia harus dilakukan kalau mau bersaing di bidang penelitian, apalagi bila menargetkan Nobel. Sekali lagi, yang dibutuhkan memang komitmen dan dukungan penuh pemerintah. Seperti pemerintah Cina. Pada akhirnya, salah satu kata kunci dalam pengembangan riset kita adalah komunikasi yang baik antara peneliti dan pengambil keputusan di bidang penelitian (yang di dalamnya terdapat para peneliti juga). Dan kita semua sadar bahwa ini tidak mudah. Jangankan terhadap mereka yang awam terhadap suatu topik tertentu di dunia penelitian, dengan sesama peneliti pun kadang hal ini sulit dilakukan. Leo Esaki penerima kehormatan Nobel Fisika 1973, telah mengalami kesulitan dalam mengomunikasikan teorinya. Dalam kata pengantar sebuah bukunya, dia bercerita tentang makalahnya mengenai proposal teoretis terhadap superstruktur semikonduktor. Makalah ini ditolak oleh yuri (yang dia sebut tidak imajinatif) di sebuah jurnal Fisika yang terkenal, Physical Review, dengan alasan terlalu spekulatif. Makalah itu akhirnya hanya berhasil diterbitkan dalam sebuah laporan teknis IBM. Belakangan, Esaki secara teknis mampu membuktikan bahwa idenya itu bisa diwujudkan dan dia menjadi pelopor di bidang tersebut. Dengan demikian, perlu kiranya ditambahkan satu lagi kriteria yang harus turut dipertimbangkan oleh pengambil keputusan sebuah kriteria tambahan selain komunikasi dan membumi yaitu eksistensi, setidaknya menurut Hasanudin Dosen Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak beberapa tahun yang lalu.
Epilog. Tampak kardiolog-kardiolog senior dan para profesor yang kesemuanya sudah pensiun dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran UI di belakang Auditorium R.S. Jantung dan Pembuluh Darah. Mereka duduk pada deretan kursi terdepan pada setiap hari konferensi ilmiah dan diskusi penelitian para PPDS jantung agar mutu pendidikan, penelitian dan cara berpikir mereka setara dengan rekan-rekannya yang berada di negara-negara penerima Kehormatan Nobel. Tokoh-tokoh senior tersebut pantas disebut telah memiliki Ruh Pendidikan Tinggi karena mereka sesungguhnya nyaris tidak menerima imbalan apapun, bahkan mengeluarkan ongkosnya pribadi untuk datang dan membeli sepiring nasi untuk makan siangnya sendiri. “May TheForce be with you.” Salam Kuantum dari alam kenyataan serta jagatnya Star Wars.
Budhi S. Purwowiyoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar