GAGAL jantung merupakan masalah kesehatan publik yang utama dan akan berkembang besar dimana dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang subtansial. Secara klasik, gagal jantung dihubungkan dengan kontraktilitas kardiak yang terganggu dan dilatasi kardiak.
Pada dekade terakhir ini, telah menjadi bukti kuat bahwa beberapa pasien memperlihatkan gejala gagal jantung tetapi memiliki LVEF yang normal. Beberapa studi melaporkan prevalensnya sekitar 50%.
Entitas ini sering kali dinamakan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang normal (HFNEF), beberapa juga menyebutnya gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tetap (HFPEF). Walau dengan pemahaman yang meningkat mengenai mekanisme yang mendasari penyakit tersebut, tetapi mekanisme yang pasti dan klasifikasi HFNEF masih tetap diperdebatkan.
Hipotesis sindroma tunggal, HFNEF dan HFREF dilihat sebagai dua spektrum akhir dari satu gagal jantung, perbedaan utama dari derajat dilatasi LV dan bentuk remodeling LV. Walau HFNEF merupakan karakteristik yang tipikal dari adanya disfungsi diastolik.
HFREF dihubungkan dengan penurunan kecepatan tissue Doppler miokard, dimana menyokong hipotesis sindroma gagal jantung tunggal. Sisi lainnya, teori yang dikemukakan berupa gagal jantung secara klinis Nampak dan berkembang bukan seperti sindroma tunggal tapi sebagai dua sindroma, satu dengan LVEF terdepresi dan lainnya denagn LVEF yang normal serta mekanisme spesifik yang bertanggung jawab untuk terjadinya disfungsi diastolik, dimana teori ini didukung dengan pendapat struktural, fungsional dan biologi molekuler.
Walau ekokardiografi merupakan metode diagnostik non invasif yang sangat berguna dalam mengevaluasi disfungsi sistolik dan diastolik, namun seni penilaian berdasarkan ekokardiografi yang terbaru memiliki nilai prognostik yang terbatas pada gagal jantung.
Gagal jantung terjadi akibat peranan yang kompleks dari genetik, neurohormonal, inflamasi dan perubahan biokimiapada miosit dan interstitium kardiak. Walau kumpulan kejadian yang menuju ke arah perubahan ventrikel bermula pada tingkat seluler, penilaian fenomena ini memiliki nilai yang besar dalam memperbaiki prognostik.
Biomarker mungkin dapat memberikan informasi penting pada patogenesis gagal jantung, teapai mungkin memiliki nilai pemeriksaan klinis yang bermakna untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang memiliki risiko gagal jantung, penegakan diagnosis gagal jantung, stratifikasi risiko dan monitoring terapi.
Walaupun banyak studi yang menginvestigasi nilai diagnostic dan prognostic biomarker baru dalam gagal jantung, kebanyakan studi tersebut hanya menggunakan pasien dengan HFREF saja. Dilakukanlah review sistematis dari studi epidemiologi pada asosiasi dari biomarker dengan kejadian HFNEF dan prognosis pasien HFNEF.
Biomarker yang utama diperiksa pada pasien HFNEF adalah stres miosit, inflamasi dan remodeling matriks ekstraseluler. Biomarker-biomarker tersebut menunjukkan peningkatan yang berbeda pada HFNEF dibandingkan dengan HFREF. Beberapa biomarker, termasuk penanda stress miosit, inflamasi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor diferensiasi perteumbuhan 15 (GDF-15), cystatin C, resistin dan galectin 3, dimana kesemua biomarker tersebut dihubungkan dengan perkembangan HFNEF dan keluaran klinis HFNEF berupa morbiditas dan mortalitas.
Biomarker stress miosit yang paling sering diteliti adalah BNP. ProBNP dibentuk di jantung sebagai akibat dari reaksi pelebaran dan distensi dinding kardiak serta aktivasi neurohormonal. Peningkatan konsentrasi BNP aktif di plasma akan menyebabkan natriuresis, vasodilatasi, inhibisi sistem renin angiotensin, aktivitas adrenergic dan memperbaiki relaksasi miokard.
Tingginya kadar NT-proBNP plasma dihubungkan dengan keparahan disfungsi diastolic pasien HFNEF. Beberapa studi memperlihatkan tingkat peptide natriuretic plasma sebagai prediktor kuat mortalitas dan hospitalisasi baik pada pasien HFREF dan pasien dengan HFNEF.
Biomarker stress miosit lainnya adalah adrenomedulin. Adrenomedulin merupakan hormone yang menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan bersifat natriuresis serta memiliki efek diuresis. Dibentuk di beberapa organ, seperti jantung, paru dan ginjal.
Studi oleh Yu et al. menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi plasma adrenomedulin ditemukan pada pasien HFNEF dibandingkan kelompok kontrol. Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar adrenomedulin Antara HFNEF dengan HFREF.
Biomarker inflamasi merupakan yang pertama kali dihubungkan dengan gagal jantung. Studi terdahulu menggunakan TNF∝, IL6 dan CRP. Sitokin proinflamasi tersebut mungkin berperan dalam terjadinya sindroma klinis gagal jantung dan perkembangan penyakit melalui efek yang tidak diinginkan pada endotel vaskuler, apoptosis miosit, induksi hipertrofi (IL6) dan dilatasi LV (TNF∝). CRP berkorelasi dengan tingkat keparahan dan prognosis gagal jantung.
Matriks ekstraseluler memberikan skeleton untuk miosit dan mempengaruhi ukuran dan bentuk. Perubahan pada matriks ekstraseluler mungkin akan berhubungan dengan remodeling ventrikel dengan hasil akhir perburukan gagal jantung. Perubahan kolagen diatur oleh matriks metalloproteinase (MMP) dan inhibitor metalloproteinase jaringan (TIMP). MMP merupakan famili endopeptidase yang dapat mengurai kandungan interstitial.
Frantz et al. melaporkan terdapat peningkatan yang sama pada TIMP-1 pasien HFNEF dan HFREF. Naito et al. juga menemukan peningkatan yang sama pada MMP-2 pasien HFNEF dan HFREF.
Homosistein secara tradisional dipercaya memiliki efek pro oksidatif, pro inflamasi dan vasokonstriksi serta menyebabkan disfungsi vaskuler endothelial. Studi eksperimental menunjukkan peningkatan kadar homositein mungkin berefek pada miokardium, menuju terjadinya hipertrofi ventrikel yang patologis dengan peningkatan kolagen yang tidak merata.
Konsentrasi homosistein secara signifikan meningkat pada pasien HFNEF. Namun, mekanisme patologis dan efek homosistein dari gagal jantung masih belum dapat dijelaskan.
Faktor diferensiasi pertumbuhan 15 (GDF15) diduga sebagai penanda indikatif yang berbeda dari jalur stress miokard dan inflamasi. Beberapa studi menunjukkan kadar GDF-15 lebih tinggi pada pasien HFNEF dibandingkan kontrol. Studi tersebut menjelaskan bahwa GDF-15 sama baiknya dalam diagnostik dengan NT-proBNP dan kombinasinya secara signifikan akan memperpaiki diagmosis akurasi.
Fungsi renal dipercaya mempunyai peran penting dalam evolusi gagal jantung. Cystatin C merupakan marker fungsi ginjal. Cystatin C merupakan prediktor kuat pada mortalitas atau hospitalisasi, juga tetap sebagi prediktor independen yang kuat.
Resistin nampaknya diproduksi dan dilepaskan dari jaringan lemak. Walau, fungsi pastinya belum diketahui, dihubungkan dengan resistensi insulin dan respon inflamasi. Konsentrasi resistin dikorelasikan dengan risiko CAD, disfungsi renal dan keluaran yang tidak baik pada pasien stroke. Resistin dihubungkan dengan insiden baik HFNEF dan HFREF.
Galectin 3 merupakan protein yang berhubungan dengan adesi sel, aktivasi sel, kemaatraktan, pertumbuhan sel, diferensiasi sel, aktivasi fibroblast dan apoptosis. Galectin 3 telah diperkenalkan sebagai biomarker baru dalam gagal jantung. Dihubungkan dengan peningkatan insiden gagal jantung dan mortalitas. Namun, kadar galectin 3 tidak berbeda bermakna Antara pasien HFNEF dengan HFPEF.
Biomarker-biomarker tersebut nampaknya menjanjikan sebagai alat diagnostic dan prognostic pasien dengan HFNEF. (Eur J Heart Fail 2013; 15: 1350-62)
Pada dekade terakhir ini, telah menjadi bukti kuat bahwa beberapa pasien memperlihatkan gejala gagal jantung tetapi memiliki LVEF yang normal. Beberapa studi melaporkan prevalensnya sekitar 50%.
Entitas ini sering kali dinamakan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang normal (HFNEF), beberapa juga menyebutnya gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tetap (HFPEF). Walau dengan pemahaman yang meningkat mengenai mekanisme yang mendasari penyakit tersebut, tetapi mekanisme yang pasti dan klasifikasi HFNEF masih tetap diperdebatkan.
Hipotesis sindroma tunggal, HFNEF dan HFREF dilihat sebagai dua spektrum akhir dari satu gagal jantung, perbedaan utama dari derajat dilatasi LV dan bentuk remodeling LV. Walau HFNEF merupakan karakteristik yang tipikal dari adanya disfungsi diastolik.
HFREF dihubungkan dengan penurunan kecepatan tissue Doppler miokard, dimana menyokong hipotesis sindroma gagal jantung tunggal. Sisi lainnya, teori yang dikemukakan berupa gagal jantung secara klinis Nampak dan berkembang bukan seperti sindroma tunggal tapi sebagai dua sindroma, satu dengan LVEF terdepresi dan lainnya denagn LVEF yang normal serta mekanisme spesifik yang bertanggung jawab untuk terjadinya disfungsi diastolik, dimana teori ini didukung dengan pendapat struktural, fungsional dan biologi molekuler.
Walau ekokardiografi merupakan metode diagnostik non invasif yang sangat berguna dalam mengevaluasi disfungsi sistolik dan diastolik, namun seni penilaian berdasarkan ekokardiografi yang terbaru memiliki nilai prognostik yang terbatas pada gagal jantung.
Gagal jantung terjadi akibat peranan yang kompleks dari genetik, neurohormonal, inflamasi dan perubahan biokimiapada miosit dan interstitium kardiak. Walau kumpulan kejadian yang menuju ke arah perubahan ventrikel bermula pada tingkat seluler, penilaian fenomena ini memiliki nilai yang besar dalam memperbaiki prognostik.
Biomarker mungkin dapat memberikan informasi penting pada patogenesis gagal jantung, teapai mungkin memiliki nilai pemeriksaan klinis yang bermakna untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang memiliki risiko gagal jantung, penegakan diagnosis gagal jantung, stratifikasi risiko dan monitoring terapi.
Walaupun banyak studi yang menginvestigasi nilai diagnostic dan prognostic biomarker baru dalam gagal jantung, kebanyakan studi tersebut hanya menggunakan pasien dengan HFREF saja. Dilakukanlah review sistematis dari studi epidemiologi pada asosiasi dari biomarker dengan kejadian HFNEF dan prognosis pasien HFNEF.
Biomarker yang utama diperiksa pada pasien HFNEF adalah stres miosit, inflamasi dan remodeling matriks ekstraseluler. Biomarker-biomarker tersebut menunjukkan peningkatan yang berbeda pada HFNEF dibandingkan dengan HFREF. Beberapa biomarker, termasuk penanda stress miosit, inflamasi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor diferensiasi perteumbuhan 15 (GDF-15), cystatin C, resistin dan galectin 3, dimana kesemua biomarker tersebut dihubungkan dengan perkembangan HFNEF dan keluaran klinis HFNEF berupa morbiditas dan mortalitas.
Biomarker stress miosit yang paling sering diteliti adalah BNP. ProBNP dibentuk di jantung sebagai akibat dari reaksi pelebaran dan distensi dinding kardiak serta aktivasi neurohormonal. Peningkatan konsentrasi BNP aktif di plasma akan menyebabkan natriuresis, vasodilatasi, inhibisi sistem renin angiotensin, aktivitas adrenergic dan memperbaiki relaksasi miokard.
Tingginya kadar NT-proBNP plasma dihubungkan dengan keparahan disfungsi diastolic pasien HFNEF. Beberapa studi memperlihatkan tingkat peptide natriuretic plasma sebagai prediktor kuat mortalitas dan hospitalisasi baik pada pasien HFREF dan pasien dengan HFNEF.
Biomarker stress miosit lainnya adalah adrenomedulin. Adrenomedulin merupakan hormone yang menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan bersifat natriuresis serta memiliki efek diuresis. Dibentuk di beberapa organ, seperti jantung, paru dan ginjal.
Studi oleh Yu et al. menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi plasma adrenomedulin ditemukan pada pasien HFNEF dibandingkan kelompok kontrol. Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar adrenomedulin Antara HFNEF dengan HFREF.
Biomarker inflamasi merupakan yang pertama kali dihubungkan dengan gagal jantung. Studi terdahulu menggunakan TNF∝, IL6 dan CRP. Sitokin proinflamasi tersebut mungkin berperan dalam terjadinya sindroma klinis gagal jantung dan perkembangan penyakit melalui efek yang tidak diinginkan pada endotel vaskuler, apoptosis miosit, induksi hipertrofi (IL6) dan dilatasi LV (TNF∝). CRP berkorelasi dengan tingkat keparahan dan prognosis gagal jantung.
Matriks ekstraseluler memberikan skeleton untuk miosit dan mempengaruhi ukuran dan bentuk. Perubahan pada matriks ekstraseluler mungkin akan berhubungan dengan remodeling ventrikel dengan hasil akhir perburukan gagal jantung. Perubahan kolagen diatur oleh matriks metalloproteinase (MMP) dan inhibitor metalloproteinase jaringan (TIMP). MMP merupakan famili endopeptidase yang dapat mengurai kandungan interstitial.
Frantz et al. melaporkan terdapat peningkatan yang sama pada TIMP-1 pasien HFNEF dan HFREF. Naito et al. juga menemukan peningkatan yang sama pada MMP-2 pasien HFNEF dan HFREF.
Homosistein secara tradisional dipercaya memiliki efek pro oksidatif, pro inflamasi dan vasokonstriksi serta menyebabkan disfungsi vaskuler endothelial. Studi eksperimental menunjukkan peningkatan kadar homositein mungkin berefek pada miokardium, menuju terjadinya hipertrofi ventrikel yang patologis dengan peningkatan kolagen yang tidak merata.
Konsentrasi homosistein secara signifikan meningkat pada pasien HFNEF. Namun, mekanisme patologis dan efek homosistein dari gagal jantung masih belum dapat dijelaskan.
Faktor diferensiasi pertumbuhan 15 (GDF15) diduga sebagai penanda indikatif yang berbeda dari jalur stress miokard dan inflamasi. Beberapa studi menunjukkan kadar GDF-15 lebih tinggi pada pasien HFNEF dibandingkan kontrol. Studi tersebut menjelaskan bahwa GDF-15 sama baiknya dalam diagnostik dengan NT-proBNP dan kombinasinya secara signifikan akan memperpaiki diagmosis akurasi.
Fungsi renal dipercaya mempunyai peran penting dalam evolusi gagal jantung. Cystatin C merupakan marker fungsi ginjal. Cystatin C merupakan prediktor kuat pada mortalitas atau hospitalisasi, juga tetap sebagi prediktor independen yang kuat.
Resistin nampaknya diproduksi dan dilepaskan dari jaringan lemak. Walau, fungsi pastinya belum diketahui, dihubungkan dengan resistensi insulin dan respon inflamasi. Konsentrasi resistin dikorelasikan dengan risiko CAD, disfungsi renal dan keluaran yang tidak baik pada pasien stroke. Resistin dihubungkan dengan insiden baik HFNEF dan HFREF.
Galectin 3 merupakan protein yang berhubungan dengan adesi sel, aktivasi sel, kemaatraktan, pertumbuhan sel, diferensiasi sel, aktivasi fibroblast dan apoptosis. Galectin 3 telah diperkenalkan sebagai biomarker baru dalam gagal jantung. Dihubungkan dengan peningkatan insiden gagal jantung dan mortalitas. Namun, kadar galectin 3 tidak berbeda bermakna Antara pasien HFNEF dengan HFPEF.
Biomarker-biomarker tersebut nampaknya menjanjikan sebagai alat diagnostic dan prognostic pasien dengan HFNEF. (Eur J Heart Fail 2013; 15: 1350-62)
SL Purwo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar