pita deadline
Rabu, 21 November 2012
Pidato Sambutan Ketua PP PERKI Saat Pelantikan POKJA PERKI PUSAT Jum'at, 19 Oktober 2012
Assalamau’alaikum wr.wb
Terimakasih
Sesuai dengan Anggaran Dasar PP PERKI pada bab VI bagian 9 pasal 24 dan Anggaran Rumah Tangga bab VI bagian 12 pasal 19 dapat diketahui bahwa :
1. POKJA dibentuk dan bernaung di bawah PP PERKI dalam rangka pendalaman suatu cabang ilmu kardiovaskuler
2. POKJA selalu berkoordinasi dengan PP PERKI dalam menyelenggarakan aktivitas ilmiah maupun organisasi
3. Kegiatan ilmiah dalam hal ini dapat bekerja sama dengan P2KB (Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan) dan mendapat persetujuan dari PP PERKI
4. POKJA baru yang merupakan usulan dari anggota dan collegium diharapkan dapat sesuai dengan perkembangan ilmu kardiovaskuler yang diusulkan PP PERKI dan disahkan oleh KO PERKI
Setelah POKJA ini dilantik diharapkan :
1. Selambat-lambatnya dua minggu setelah pelantikan telah terdata nama-nama pengurus dan anggota-anggotanya dan dikirimkan ke PP PERKI
2. PP PERKI mencoba mengumpulkan Bank Speaker sesuai dengan kompetensinya pada 12 Pusat Pendidikan (SPJP) dan cabang PERKI setempat yang bertujuan agar POKJA memiliki data pembicara yang dapat digunakan dalam kegiatan nasional maupun internasional
3. Membuat PoA (Plan of Action) program kegiatan dan anggaran untuk kurun waktu 2 tahun dan evaluasi kegiatannya dilaporkan setiap 6 bulan pada PP PERKI
4. Menerbitkan buku pedoman dan standar pelayanan masing-masing POKJA selambat-lambatnya 3 bulan (anggaran dapat segera dimintakan ke PP PERKI) yang akan dipresentasikan di forum ASMIHA tahun 2013 dan nantinya selalu diperbarui setiap tahun
5. Memberikan saran dan masukan secara tertulis kepada Badan Etik dan Pembelaan Anggota apabila terdapat masalah pelanggaran etik/dugaan pelanggaran standar pelayanan kardiovaskuler.
6. Memberikan informasi, saran serta mewakili PP PERKI dalam bidang keilmuan pada kegiatan ilmiah nasional maupun internasional.*
Selasa, 20 November 2012
Efek Celecoxib pada Restenosis setelah Intervensi Koroner dan Evolusi Aterosklerosis (Studi Mini-COREA): Celecoxib, Dua Mata Pisau pada Pasien Angina
DRUG eluting stents (DES) mengurangi insidens angiografi restenosis pada stent dan revaskularisasi ulang. Walaupun demikian, mayoritas komplikasi PCI dengan DES masih dengan masalah in stent restenosis.
Celecoxib merupakan inhibitor COX-2 yang sering kali digunakan sebagai anti inflamasi. Akan tetapi, obat itu juga memperlihatkan efek antiproliferatif dan menginduksi apoptosis pada sel kanker.
Studi lain memperlihatkan celecoxib sebagai inhibitor yang potensial dari formasi neointima dengan cara menghambat aktivasi Akt yang diinduksi injuri. Studi COREA-TAXUS memperlihatkan penggunaan tambahan celecoxib selama 6 bulan setelah implantasi stent TAXUS-EXPRESSTM dengan penyakit arteri koroner secara signifikan menurunkan kejadian in stent luminal late loss (LL).
Pada studi follow up jangka panjang COREA-TAXUS memperlihatkan bahwa celecoxib yang diberikan selama 6 bulan memberikan hasil akhir klinis yang lebih baik selama 2 tahun dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Selama 2 tahun, tingkat kejadian kardiak yang tidak diinginkan secara konsisten lebih rendah pada kelompok celecoxib (6.9%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (19.7%).
Pada sistem DES, seperti paclitaxel atau zotarolimus, dimana mengelusi dalam 4 minggu pertama untuk menginhibisi proliferatif dini dari sel otot polos setelah implantasi stent. Celecoxib mungkin menginhibisi proliferative tidak hanya sel otot polos vasskuler namun juga sel endotel serta sel progenitor endotel.
Penggunaan celecoxib setelah fase akhir penyembuhan pada implantasi DES mungkin memperlambat penyembuhan lapisan endotel setelah intervensi koroner dan mengganggu keseimbangan antara progtaglandin dan tromboksan, dimana dapat meningkatkan risiko thrombosis.
Untuk mengevaluasi kefektifan dan keamanan pemberian tambahan celecoxib selama durasi 3 bulan dalam hal mengurangi hyperplasia intima pada pasien dengan implantasi PES Taxus-liberteTM atau ZES EndeavorTM dilakukanlah studi oleh Kang et al.
Pasien (n = 909) yang diterapi pada lesi arteri koroner dirandomisasi dalam 4 kelompok: kontrol atau kelompok celecoxib dengan stratifikasi yang menggunakan jenis stent: stent paclitaxel (PES) atau zotarolimus (ZES).
Pada kelompok celecoxib, 200 mg dosis celecoxib diberikan tiga kali sehari selama 3 bulan setelah tindakan. Endpoint primer adalah LL pada enam bulan. Instent LL secara signifikan lebih rendah pada kelompok celecoxib dibandingkan kelompok kontrol (0.64 ± 0.54 vs 0.55 ± 0.47 mm; p = 0.02).
Tren penurunan LL pada kelompok celecoxib tetap pada sub kelompok ZES dan PES, walaupun tidak mencapai hasil yang signifikan secara statistik. Terdapat tren penurunan secara klinis pada lesi target revaskularisasi (TLR) selama 6 bulan pada kelompok celecoxib (5.7 vs 3.2%, log rank p = 0.09), tetapi tingkat kejadian kardiak yang tidak diinginkan tidak berbeda di antara kedua kelompok (kematian kardiak, infark miokard non fatal dan TLR; 8.6 vs 7.7%; log rank p = 0.84).
Infark miokard non fatal dan kematian kardiak terjadi pada 1.6% pasien kelompok celecoxib ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol (log rank p = 0.33). Sehingga dapat dikatakan selama tiga bulan pemberian celecoxib mungkin dapat berguna dalam mengurangi LL dari DES. Walaupun studi ini mungkin akan meningkatkan risiko trombosis pada celecoxib dan lebih lagi pada pasien yang menerima dual antiplatelet. (European Heart Journal 2012; 33: 2653-61)
Celecoxib merupakan inhibitor COX-2 yang sering kali digunakan sebagai anti inflamasi. Akan tetapi, obat itu juga memperlihatkan efek antiproliferatif dan menginduksi apoptosis pada sel kanker.
Studi lain memperlihatkan celecoxib sebagai inhibitor yang potensial dari formasi neointima dengan cara menghambat aktivasi Akt yang diinduksi injuri. Studi COREA-TAXUS memperlihatkan penggunaan tambahan celecoxib selama 6 bulan setelah implantasi stent TAXUS-EXPRESSTM dengan penyakit arteri koroner secara signifikan menurunkan kejadian in stent luminal late loss (LL).
Pada studi follow up jangka panjang COREA-TAXUS memperlihatkan bahwa celecoxib yang diberikan selama 6 bulan memberikan hasil akhir klinis yang lebih baik selama 2 tahun dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Selama 2 tahun, tingkat kejadian kardiak yang tidak diinginkan secara konsisten lebih rendah pada kelompok celecoxib (6.9%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (19.7%).
Pada sistem DES, seperti paclitaxel atau zotarolimus, dimana mengelusi dalam 4 minggu pertama untuk menginhibisi proliferatif dini dari sel otot polos setelah implantasi stent. Celecoxib mungkin menginhibisi proliferative tidak hanya sel otot polos vasskuler namun juga sel endotel serta sel progenitor endotel.
Penggunaan celecoxib setelah fase akhir penyembuhan pada implantasi DES mungkin memperlambat penyembuhan lapisan endotel setelah intervensi koroner dan mengganggu keseimbangan antara progtaglandin dan tromboksan, dimana dapat meningkatkan risiko thrombosis.
Untuk mengevaluasi kefektifan dan keamanan pemberian tambahan celecoxib selama durasi 3 bulan dalam hal mengurangi hyperplasia intima pada pasien dengan implantasi PES Taxus-liberteTM atau ZES EndeavorTM dilakukanlah studi oleh Kang et al.
Pasien (n = 909) yang diterapi pada lesi arteri koroner dirandomisasi dalam 4 kelompok: kontrol atau kelompok celecoxib dengan stratifikasi yang menggunakan jenis stent: stent paclitaxel (PES) atau zotarolimus (ZES).
Pada kelompok celecoxib, 200 mg dosis celecoxib diberikan tiga kali sehari selama 3 bulan setelah tindakan. Endpoint primer adalah LL pada enam bulan. Instent LL secara signifikan lebih rendah pada kelompok celecoxib dibandingkan kelompok kontrol (0.64 ± 0.54 vs 0.55 ± 0.47 mm; p = 0.02).
Tren penurunan LL pada kelompok celecoxib tetap pada sub kelompok ZES dan PES, walaupun tidak mencapai hasil yang signifikan secara statistik. Terdapat tren penurunan secara klinis pada lesi target revaskularisasi (TLR) selama 6 bulan pada kelompok celecoxib (5.7 vs 3.2%, log rank p = 0.09), tetapi tingkat kejadian kardiak yang tidak diinginkan tidak berbeda di antara kedua kelompok (kematian kardiak, infark miokard non fatal dan TLR; 8.6 vs 7.7%; log rank p = 0.84).
Infark miokard non fatal dan kematian kardiak terjadi pada 1.6% pasien kelompok celecoxib ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol (log rank p = 0.33). Sehingga dapat dikatakan selama tiga bulan pemberian celecoxib mungkin dapat berguna dalam mengurangi LL dari DES. Walaupun studi ini mungkin akan meningkatkan risiko trombosis pada celecoxib dan lebih lagi pada pasien yang menerima dual antiplatelet. (European Heart Journal 2012; 33: 2653-61)
SL Purwo
Simposium Makan Siang dari Boehringer Ingelheim: Dabigatran dan Kombinasi Telmisartan (+) Amlodipin
DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K), FIHA dan Dr. Amiliana M Susanto, SpJP(K), FIHA sebagai pembicara
pada WECOC 24th, 2012.
pada WECOC 24th, 2012.
SIMPOSIUM makan siang WECOC pada hari itu, Sabtu 20 Oktober 2012 di Ballroom 2 Ritz Carlton Hotel, Kuningan Jakarta padat dihadiri peserta. Tampak Dr RWM. Kaligis sedang memandu sidang pada simposium ke-4 tersebut yang diberi judul oleh panitia sebagai Redifining Cardiovascular Prevention In A World of Increasing Cardiovascular Risk.
Pada simposium ini dikemukakan dua topik yang menarik yaitu Let Experience Be Our Guide: New Oral Anti Coagulant vs Vitamin K Antagonist in Stroke Pevention in AF for Daily Practice yang dibawakan oleh DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K) pada jam 11.15-11.40 dan Evolving The Future of Single Pill Combination in Antihypertensive Therapy : Focus on Telmisartan + Amlodipine dibawakan oleh Dr. Amiliana M. Susanto, SpJP(K) pada jam 11.40-112.05. Dilanjutkan diskusinya pada jam 12.05-12-20.
Sebenarnya, judul presentasinya DR Yoga adalah Navigating the landscape of anticoagulation Proven OAC for significant superior stroke prevention in Atrial fibrillation patients. Pencerahannya lancar, diawali dengan besarnya permasalahan atrial fbrilasi sebagai penyebab strok yang memiliki kecenderungan untuk meningkat dari tahun ke tahun yaitu 6,7 juta pasien pada 2010 meningkat menjadi 15,7 juta pada 2050 menurut prediksi Miyasaka yang dipublikasikan di Circulation pada tahun 2006. Tipe atrial fibrilasi sebenarnya unik bisa merupakan urutan episode kejadian atau sebagai kemandirian ketika didiagnosis pertama kali misalnya sebagai Paroksismal AF; biasanya berlangsung selama < 48 jam, persisten, atau persisten yang berlangsung lama (> 1 tahun), dan permanen.
DR Yoga juga memberikan re-edukasi kepada hadirin tentang bedanya irama sinus dan fibrilasi atrial yang berciri iregular, ketika dilakukan tes jalan cepat biasanya lebih cepat dari irama sinus, kenaikan denyut nadi pada AF tidak sesuai dengan stresnya. Penampakan gelombang P pada AF tidak teratur dan sering tidak jelas besar-kecilnya.
Setelah menunjukkan foto tromboemboli yang terorganisasi kira-kira sebesar telur burung puyuh, beliau menunjukkan data dari the Danish National Indicator Project terhadap 39.484 pasien yang dirawat untuk stroke (80% dari seluruh pasien stroke yang dirawat di Denmark) termasuk di dalamnya 6.294 pasien dengan AF; sayangnya antikoagulan oralnya tidak dicatat.
DR Yoga Yuniadi menyimpulkan bahwa perlunya prevensi stroke pada pasien dengan AF dan Dabigatran 2x150mg diyakini dapat menyelamatkan 3 dari 4 stroke yang berhubungan dengan AF. Dabigatran bahkan superior terhadap Warfarin yang didukung oleh penelitian CHADS2 SCORE dan telah dianjurkan oleh asosiasi ahli jantung di Eropa, Kanada dan Amerika dalam bentuk panduan.
Dr. Amiliana M. Soesanto memberikan presentasi bernuansa futuristik tentang kombinasi terapi untuk hipertensi bagi penderitanya yang difokuskan pada telmisartan (+) amlodipin, judulnya Evolving the Future of Single-Pills Combination Therapy for Hypertensive Patients: focus on Telmisartan + Amlodipine. Apa sih problemnya?
Rupanya Indonesia memiliki prevalensi tertinggi di Asean, berturut-turut berikutnya Singapura, Thailand dan Malaysia yaitu 31,7%, 27,3%, 22,7%, dan 20%, dukungan data dari Riset Kesehatan Dasar 2007.
Pengobatan hipertensi tentu saja ada manfaatnya menurut studi metaanalisis dari 61 studi prospektif observasional. Dari 10 mmHg dalam rerata SBP, yang turun akan mengurangi risiko kematian 30% akibat penyakit jantung iskemik dan 40% menurunkan angka kematian akibat stroke, jadi berdampak > 40% pada faktor risiko kardiovaskular.
Data dari NHANES tentang pengontrolan tekanan darah menunjukkan bahwa mayoritas pasien hipertensi telah mengenali kondisi penyakitnya. Namun ada banyak dari mereka yang tekanan darahnya masih belum terkontrol. Tatalaksana yang diberikan adalah modifikasi gaya hidup dan obat-obatan dengan tujuan pencapaian target tekanan darah. Hypertensi disebut terkontrol bila rerata TD < 140/90 mmHg atau pada pasien DM atau CKD lebih rendah lagi yaitu < 130/80 mmHg.
Antara 1976 and 2004, pasien hipertensi tidak terkontrol bisa mencapai sekitar 70%. Pasien-pasien ini termasuk yang diobati maupun yang tidak diobati. Namun data tahun 2005-2008 menunjukkan bahwa walaupun telah diterapi, sekitar 50% pasien tersebut masih belum mencapai target terapi. Bahkan Dickerson pada Lancet 1999 melaporkan 61% dari pasien-pasien yang ditelitinya gagal untuk mencapai target terapi < 140/90 mmHg pada pemberian obat pertama kali.
Akhirnya, kesenjangan inilah yang memberikan peluang suatu kombinasi obat telmisartan (+) amlodipin untuk mengatasi masalah ini, karena sebagian besar hipertensi memang memerlukan obat kombinasi yang diawali dengan dosis rendah. Alasan utama adalah meminimalisasi efek buruknya dan memaksimalkan efek penurunan tekanan darahnya. Kombinasi pilihan ARB dan CCB ini unggul di kelasnya dibandingkan dengan obat-obatan kompetitornya. Dari sudut hiperfiltrasi ginjal, kedua obat ini saling melengkapi kegunaannya sehingga memaksimalkan daya kerjanya.
“Terima kasih dan selamat (makan) siang!” Kata Dr. Amiliana sambil tersenyum yang dibalas tepuk tangan oleh peserta, sesuai dengan suara keroncong yang merdu di perutnya.
(Budhi Setianto)
Kardiologi Kuantum (12): Reedukasi Keyakinan Religi Mental-Spiritual Pasien, Metode Kualitatif dan Hermeneutika Filsafati
“Pada dasarnya tradisi semua agama besar membawa pesan yang sama yaitu cinta, kasih saying dan pengampunan. Semua itu penting untuk menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.” ~Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet
SEORANG perempuan, 86 tahun, pasien lama PJNHK (MR 136914) dengan old anterior MCI, telah berobat teratur selama 18 tahun tanpa keluhan signifikan. Datang ke emergensi 16 September 2012 dengan keluhan nyeri dada, didiagnosis sebagai NSTEMI. Pasien selama perawatan mengalami VT unstable berulang dan dilakukan kardioversi berkali-kali. Pasien pulang paksa setelah 6 hari perawatan, dengan menolak tindakan ablasi, namun kembali datang ke emergensi kurang dari 24 jam berada di rumah, dengan VT unstable, dilakukan kardioversi dan dirawat di CVCU.
Dalam perawatan di CVCU pasien mengalami AFRVR, diberikan digoxin iv. Saat itu sgot/sgpt pasien tinggi, QT intervalnya memanjang sehingga merupakan kontraindikasi pemberian amiodarone. Tekanan darah sistolik antara 70-80, diastolik antara 50-60 dengan MAP 45-55. Beta bloker yang merupakan pilihan anti aritmia belum dapat diberikan karena kondisi pasien masih failure dengan EF 20%.
Keluarga telah diberikan informasi yang cukup jelas mengenai prognosis pasien, dan segala kemungkinan terburuk termasuk cardiac arrest. Keluarga mengaku telah pasrah serta menyerahkan yang terbaik pada dokter, sekalipun mereka tetap menolak tindakan ablasi dan kateterisasi dengan persiapan pemasangan cincin koroner karena faktor usia.
Namun ternyata selama perawatan di CVCU pasien tidak mengalami VT hingga 3x24 jam, dengan irama yang sempat berubah menjadi AFRVR 120-140x/mnt, akhirnya convert menjadi normal sinus rhytm, 70x/mnt. Hemodinamik cukup stabil dengan MAP 55-60, perfusi renal cukup, urin 0,5-1 cc/kgBB/jam, cardiac output selalu dalam pantauan echohemodinamik, keseimbangan elektrolit dan total kebutuhan cairan dipenuhi. Satu-satunya pilihan adalah pemberian betabloker dosis kecil, bisoprolol 1,25 mg.
Sebagai penguatnya pada siang hari itu adalah anjuran meditasi transendental (dzikir, intraversi, introspeksi atau doa) pasien dengan menyebut nama Tuhan YME di dalam satu dan/atau dua suku kata menurut religi dan keyakinan meta-fisiknya sesuai dengan masuk-keluarnya udara pernafasan.
Perbandingan Empat Candra Jiwa
Catatan penulis:
Perbandingan 4 (empat) candra jiwa yang semuanya dilahirkan di Eropa. Posisi sang-Aku (Ego) sebagai sentra pembanding utamanya. Menjadi jelas bahwa Candra Jiwa Indonesia berdiri sejajar dengan lainnya dan tampak lebih lengkap strukturnya. Das ES di dalam Candra Jiwa Freud disebut juga sebagai ID. Freud tidak percaya adanya Tuhan, Adler tidak membicarakan Tuhan maupun struktur jiwa, jadi keduanya tidak memiliki "Yang Diatas", suprastruktur. Suprastruktur adalah bagian transendennya (kalbu-hati) manusia.
Pada suprastruktur Jung menempatkan Das Selbst suatu tujuan evolusi puncaknya Ego manusia untuk mencapai kesadaran kolektif. Pada awalnya Sadar Kolektif itu ada dua (BiAspect): Suksma Kawekas (statis) adalah tujuan hidup, sumber, dan asal mula hidup dan Suksma Sejati (dinamis) adalah utusan-abadinya yang statis, yang meng-hidup-i, menjadi penuntun dan gurunya Ego-yang-imateri (Roh Suci, yang di-hidup-i, Sadar Kolektif Pribadi) manusia. Ego-materi (Aku) adalah bagian sadar individu yang merupakan kristalisasi dari angan-angan, secara struktur berasal dari Cipta-nya manusia. (BSP)
-------------------
Soemantri Hardjoprakoso. Indonesisch Mensbeeld als Basis Ener Psycho-Therapie.
Rijkuniversiteit, Leiden-Nederland, 20 June 1956 (Dissertation)
========================================================================
Upaya re-edukasi keyakinan Egonya kepada Yang Absolut Transenden ini telah membuat rasa nyaman, tenang, dan tenteram terbukti dengan melambatnya angka denyut nadi pada monitor ICU.
Pemberian beta bloker dengan dosis kecil diberikan saat ronkhi basah halus telah minimal, dan dalam evaluasi ketat pasien tidak menimbulkan perburukan.
Pagi hari berikutnya dilaporkan pasien dalam keadaan tenang, tidak di dapatkan VES kuplet maupun salvo, kemudian dapat dipindahkan ke ruangan intermediate dengan sadar penuh, keadaan klinis dan hemodinamik yang baik. Keluhan subyektif pasien selama perawatan di CVCU tidak muncul kembali.
Pengakuan keluarga besarnya, anak-cucu, kemenakan, dan menantu tidak henti-hentinya memanjatkan doa dan memohonkan kesembuhan bagi pasien tua tersebut, dan peristiwa ini diyakini sebagai anugerah dari Tuhan YME bukan semata-mata upaya para dokter yang menanganinya. Pasien dipulangkan 22 September 2012 dan telah kontrol kembali dengan keadaan umum yang baik kira-kira seminggu kemudian.
Diskusi. Re-edukasi keyakinan Egonya kepada Yang Absolut Transenden pada dasarnya adalah suatu psikogogi yaitu upaya untuk mengembalikan keyakinan, iman seorang pasien yang telah dimiliki sebelumnya. Hal ini dianjurkan oleh Carl Gustav Jung dan Soemantri Hardjoprakoso. Carl Gustav Jung adalah satu-satunya ilmuwan Eropa yang tanpa malu-malu menyebutkan adanya Prinsip Rohani (Ketuhanan) selain Prinsip Alami di dalam candra jiwanya manusia. Bedakan dengan Freud yang tidak percaya kepada Tuhan dalam pernyataan-pernyataannya dan Alfred Adler yang tidak membicarakannya sebab fokus utama dalam candra jiwanya adalah masyarakat dijadikan tolok ukur idealismenya.
Rupanya upaya meditasi transendental (dzikir, intraversi, introspeksi, atau doa) pasien dengan menyebut nama Tuhan YME di dalam satu dan/atau dua suku kata menurut religi dan keyakinan meta-fisiknya sesuai dengan masuk-keluarnya udara pernafasan telah membuat rasa nyaman, tenang, dan tenteram terbukti dengan melambatnya angka denyut nadi pada monitor ICU, dapat membuat nyenyak tidur.
Dalam ilmu pengetahuan biomedis yang dilandasi dengan ilmu filsafat positivisme dengan ciri-ciri metodologi seperti RCT dan metaanalisis diyakini para ilmuwan sebagai cara mencari kebenaran yang tertinggi. Namun perlu diingat ada kebenaran lain yang dianggap absolut oleh penganutnya ialah kebenaran religi, setidaknya kebenaran performatif sampai diketemukan kebenaran dikemudian har, tidak memerlukan metaanalisisi. Tidak heran kalau Paul Karl Feyeraben filsuf ilmu pengetahuan menyodorkan konsep ‘metodologi lain’ anything goes dan anti-metodologi agar membuka perspektif baru dalam dunia ilmu pengetahuan.
Kesimpulan. Sebagai dokter pada dasarnya berperanan membantu pasien dalam upaya adaptasinya terhadap penyakit, psiko-sosial, lingkungan, serta keyakinan spiritualnya, seyogyanya dapat menerima keyakinan dan kenyataan ini. Tanpa mempersoalkan metodologi penelitian maupun induksi statistik yang canggih sebagai suatu cara mencapai kebenaran. Keyakinan pada yang Absolut Transendental di dalam dunia ke-4-nya manusia/pasien, apabila akan dilakukan penelitian, memerlukan metodologi kualitatif atau setidaknya dengan pendekatan hermeneutika filsafati.
SEORANG perempuan, 86 tahun, pasien lama PJNHK (MR 136914) dengan old anterior MCI, telah berobat teratur selama 18 tahun tanpa keluhan signifikan. Datang ke emergensi 16 September 2012 dengan keluhan nyeri dada, didiagnosis sebagai NSTEMI. Pasien selama perawatan mengalami VT unstable berulang dan dilakukan kardioversi berkali-kali. Pasien pulang paksa setelah 6 hari perawatan, dengan menolak tindakan ablasi, namun kembali datang ke emergensi kurang dari 24 jam berada di rumah, dengan VT unstable, dilakukan kardioversi dan dirawat di CVCU.
Dalam perawatan di CVCU pasien mengalami AFRVR, diberikan digoxin iv. Saat itu sgot/sgpt pasien tinggi, QT intervalnya memanjang sehingga merupakan kontraindikasi pemberian amiodarone. Tekanan darah sistolik antara 70-80, diastolik antara 50-60 dengan MAP 45-55. Beta bloker yang merupakan pilihan anti aritmia belum dapat diberikan karena kondisi pasien masih failure dengan EF 20%.
Keluarga telah diberikan informasi yang cukup jelas mengenai prognosis pasien, dan segala kemungkinan terburuk termasuk cardiac arrest. Keluarga mengaku telah pasrah serta menyerahkan yang terbaik pada dokter, sekalipun mereka tetap menolak tindakan ablasi dan kateterisasi dengan persiapan pemasangan cincin koroner karena faktor usia.
Namun ternyata selama perawatan di CVCU pasien tidak mengalami VT hingga 3x24 jam, dengan irama yang sempat berubah menjadi AFRVR 120-140x/mnt, akhirnya convert menjadi normal sinus rhytm, 70x/mnt. Hemodinamik cukup stabil dengan MAP 55-60, perfusi renal cukup, urin 0,5-1 cc/kgBB/jam, cardiac output selalu dalam pantauan echohemodinamik, keseimbangan elektrolit dan total kebutuhan cairan dipenuhi. Satu-satunya pilihan adalah pemberian betabloker dosis kecil, bisoprolol 1,25 mg.
Sebagai penguatnya pada siang hari itu adalah anjuran meditasi transendental (dzikir, intraversi, introspeksi atau doa) pasien dengan menyebut nama Tuhan YME di dalam satu dan/atau dua suku kata menurut religi dan keyakinan meta-fisiknya sesuai dengan masuk-keluarnya udara pernafasan.
Perbandingan Empat Candra Jiwa
Catatan penulis:
Perbandingan 4 (empat) candra jiwa yang semuanya dilahirkan di Eropa. Posisi sang-Aku (Ego) sebagai sentra pembanding utamanya. Menjadi jelas bahwa Candra Jiwa Indonesia berdiri sejajar dengan lainnya dan tampak lebih lengkap strukturnya. Das ES di dalam Candra Jiwa Freud disebut juga sebagai ID. Freud tidak percaya adanya Tuhan, Adler tidak membicarakan Tuhan maupun struktur jiwa, jadi keduanya tidak memiliki "Yang Diatas", suprastruktur. Suprastruktur adalah bagian transendennya (kalbu-hati) manusia.
Pada suprastruktur Jung menempatkan Das Selbst suatu tujuan evolusi puncaknya Ego manusia untuk mencapai kesadaran kolektif. Pada awalnya Sadar Kolektif itu ada dua (BiAspect): Suksma Kawekas (statis) adalah tujuan hidup, sumber, dan asal mula hidup dan Suksma Sejati (dinamis) adalah utusan-abadinya yang statis, yang meng-hidup-i, menjadi penuntun dan gurunya Ego-yang-imateri (Roh Suci, yang di-hidup-i, Sadar Kolektif Pribadi) manusia. Ego-materi (Aku) adalah bagian sadar individu yang merupakan kristalisasi dari angan-angan, secara struktur berasal dari Cipta-nya manusia. (BSP)
-------------------
Soemantri Hardjoprakoso. Indonesisch Mensbeeld als Basis Ener Psycho-Therapie.
Rijkuniversiteit, Leiden-Nederland, 20 June 1956 (Dissertation)
========================================================================
Upaya re-edukasi keyakinan Egonya kepada Yang Absolut Transenden ini telah membuat rasa nyaman, tenang, dan tenteram terbukti dengan melambatnya angka denyut nadi pada monitor ICU.
Pemberian beta bloker dengan dosis kecil diberikan saat ronkhi basah halus telah minimal, dan dalam evaluasi ketat pasien tidak menimbulkan perburukan.
Pagi hari berikutnya dilaporkan pasien dalam keadaan tenang, tidak di dapatkan VES kuplet maupun salvo, kemudian dapat dipindahkan ke ruangan intermediate dengan sadar penuh, keadaan klinis dan hemodinamik yang baik. Keluhan subyektif pasien selama perawatan di CVCU tidak muncul kembali.
Pengakuan keluarga besarnya, anak-cucu, kemenakan, dan menantu tidak henti-hentinya memanjatkan doa dan memohonkan kesembuhan bagi pasien tua tersebut, dan peristiwa ini diyakini sebagai anugerah dari Tuhan YME bukan semata-mata upaya para dokter yang menanganinya. Pasien dipulangkan 22 September 2012 dan telah kontrol kembali dengan keadaan umum yang baik kira-kira seminggu kemudian.
Diskusi. Re-edukasi keyakinan Egonya kepada Yang Absolut Transenden pada dasarnya adalah suatu psikogogi yaitu upaya untuk mengembalikan keyakinan, iman seorang pasien yang telah dimiliki sebelumnya. Hal ini dianjurkan oleh Carl Gustav Jung dan Soemantri Hardjoprakoso. Carl Gustav Jung adalah satu-satunya ilmuwan Eropa yang tanpa malu-malu menyebutkan adanya Prinsip Rohani (Ketuhanan) selain Prinsip Alami di dalam candra jiwanya manusia. Bedakan dengan Freud yang tidak percaya kepada Tuhan dalam pernyataan-pernyataannya dan Alfred Adler yang tidak membicarakannya sebab fokus utama dalam candra jiwanya adalah masyarakat dijadikan tolok ukur idealismenya.
Rupanya upaya meditasi transendental (dzikir, intraversi, introspeksi, atau doa) pasien dengan menyebut nama Tuhan YME di dalam satu dan/atau dua suku kata menurut religi dan keyakinan meta-fisiknya sesuai dengan masuk-keluarnya udara pernafasan telah membuat rasa nyaman, tenang, dan tenteram terbukti dengan melambatnya angka denyut nadi pada monitor ICU, dapat membuat nyenyak tidur.
Dalam ilmu pengetahuan biomedis yang dilandasi dengan ilmu filsafat positivisme dengan ciri-ciri metodologi seperti RCT dan metaanalisis diyakini para ilmuwan sebagai cara mencari kebenaran yang tertinggi. Namun perlu diingat ada kebenaran lain yang dianggap absolut oleh penganutnya ialah kebenaran religi, setidaknya kebenaran performatif sampai diketemukan kebenaran dikemudian har, tidak memerlukan metaanalisisi. Tidak heran kalau Paul Karl Feyeraben filsuf ilmu pengetahuan menyodorkan konsep ‘metodologi lain’ anything goes dan anti-metodologi agar membuka perspektif baru dalam dunia ilmu pengetahuan.
Kesimpulan. Sebagai dokter pada dasarnya berperanan membantu pasien dalam upaya adaptasinya terhadap penyakit, psiko-sosial, lingkungan, serta keyakinan spiritualnya, seyogyanya dapat menerima keyakinan dan kenyataan ini. Tanpa mempersoalkan metodologi penelitian maupun induksi statistik yang canggih sebagai suatu cara mencapai kebenaran. Keyakinan pada yang Absolut Transendental di dalam dunia ke-4-nya manusia/pasien, apabila akan dilakukan penelitian, memerlukan metodologi kualitatif atau setidaknya dengan pendekatan hermeneutika filsafati.
(Danayu Sanni Prahasti, Budhi Setianto)
Kegunaan Ultrasound Paru dalam Memprediksi Tekanan Paru dan Jantung
“Mudah digunakan menjadikan ultrasound paru lebih sering digunakan dalam memprediksikan tekanan kardiak sisi kanan dan resistensi vaskuler paru.”
MANAJEMEN gagal jantung dan pencegahan hospitalisasi pasien gagal jantung secara luas tergantung pada pemeriksaan status volum dan cardiac filling. Dimana yang terakhir dideskripsikan sebagai kongesti hemodinamik.
Penilaian secara bedside dari tekanan pengisian pada pasien gagal jantung masih menjadi suatu tantangan dengan keakuratan pemeriksaan sisi kanan kardiak dan kiri sekitar 71% dan 60%.
Walaupun tekanan intrakardiak secara langsung dapat diukur dengan menggunakan monitoring hemodinamik secara invasive, evaluasi bedside massih menjadi batu loncatan penilaian klinis pasien dengan setting rawat jalan.
Peningkatan penilaian klinis dengan menggunakan tes non invasif radiografi thoraks, ekokardiografi, penilaian impedans intrathorakal, peptide natriuretik dan variasi tekanan nadi, akan tetapi tindakan ini mempunyai banyak keterbatasan.
Ultrasound paru memperlihatkan metode baru dalam pendekatan kuantitatif penilaian kongesti paru. Tehnologi ini tersedia dengan cepat pada setting penanganan akut serta tehnik ini sederhana, dapat digunakan cepat dan bersifat non invasif.
Penilaian sonografi cairan paru ekstravaskuler didasarkan atas artefak arbeverasi yang muncul dari pleural line dan yang berasal dari penebalan septum interlobularis oleh cairan. Artefak ini dikenal dengan B lines (juga dikenal comet tails or lung comets).
Jumlah B lines dilaporkan berkorelasi dengan jumlah cairan paru ekstravaskuler dan penurunan dalam beberapa jam hemodialisis atau dalam beberapa hari pengobatan gagal jantung akut.
Kebanyakan gagal jantung yang eksaserbasi dihubungkan dengan peningkatan progresif tekanan cardiac filling (kongesti hemodinamik) menyebabkan kongesti pulmoner. Jika tidak ada pemeriksaan gold standard, penggunaan tekanan atrial kanan (RAP) dan tekanan baji paru (PCWP) sering digunakan sebagai penanda kongesti paru.
Sehingga untuk mengetahui hubungan antara jumlah B line dan tekanan intra kardiak dilakukanlah studi oleh Platz et al. Dilakukanlah studi observasional prospektif pada pasien rawat inap dan jalan yang menjalani pemeriksaan kateterisasi jantung kanan (RHC) pada pusat pendidikan. Dengan 100 subjek dilakukan ultrasound paru pada delapan zona. Dimana 92 subjek dilakukan RHC, 79 subjek telah lengkap menjalankan pemeriksaan ultrasound paru pada seluruh zona (rerata usia 61 tahun; 26 wanita; rerata fraksi ejeksi ventrikel kiri LVEF 58%; 35 subjek dengan gagal jantung; 22 subjek dengan transplantasi post kardiak)
Jumlah B lines berkorelasi dengan pengukuran tekanan atrium kanan (r = 0,32), tekanan diastolik arteri pulmoner (PADP) (r = 0,34), rerata tekanan arteri pulmoner (mPAP) (r = 0,43), tekanan sistolik arteri pulmoner (PASP) (r = 0,48) dan resistensi vaskuler paru (PVR) (r = 0,51) (p < 0,005 untuk ke semua hasil), tetapi tidak untuk PCWP.
Setiap penambahan nilai B lines dihubungkan dengan peningkatan 1 mmHg PASP dan peningkatan 0,1 Wood units PVR. Hubungan ini tetap sama setelah dilakukannnya penyesuaian multivariate (p = 0,002).
Studi ini memperlihatkan threshold > 5 B lines pada 8 zona paru untuk memprediksikan peningkatan PASP. Pemeriksaan ultrasound paru pada 8 zona, dengan adanya > 3 B lines dimana paling sedikit satu zona setiap hemithoraks (total > 6 B lines) menunjukkan perbedaan antara gagal jantung dengan penyebab dispnea akut lainnya dengan sensitivitas 78 – 100% dan spesifitas 72 – 95%, dibandingkan dengan pemeriksaan NT-proBNP sensitivitas 85 – 92% serta spesifitas 63 – 89%. (Eur J Heart Fail 2012; 14: 1276-84)
MANAJEMEN gagal jantung dan pencegahan hospitalisasi pasien gagal jantung secara luas tergantung pada pemeriksaan status volum dan cardiac filling. Dimana yang terakhir dideskripsikan sebagai kongesti hemodinamik.
Penilaian secara bedside dari tekanan pengisian pada pasien gagal jantung masih menjadi suatu tantangan dengan keakuratan pemeriksaan sisi kanan kardiak dan kiri sekitar 71% dan 60%.
Walaupun tekanan intrakardiak secara langsung dapat diukur dengan menggunakan monitoring hemodinamik secara invasive, evaluasi bedside massih menjadi batu loncatan penilaian klinis pasien dengan setting rawat jalan.
Peningkatan penilaian klinis dengan menggunakan tes non invasif radiografi thoraks, ekokardiografi, penilaian impedans intrathorakal, peptide natriuretik dan variasi tekanan nadi, akan tetapi tindakan ini mempunyai banyak keterbatasan.
Ultrasound paru memperlihatkan metode baru dalam pendekatan kuantitatif penilaian kongesti paru. Tehnologi ini tersedia dengan cepat pada setting penanganan akut serta tehnik ini sederhana, dapat digunakan cepat dan bersifat non invasif.
Penilaian sonografi cairan paru ekstravaskuler didasarkan atas artefak arbeverasi yang muncul dari pleural line dan yang berasal dari penebalan septum interlobularis oleh cairan. Artefak ini dikenal dengan B lines (juga dikenal comet tails or lung comets).
Jumlah B lines dilaporkan berkorelasi dengan jumlah cairan paru ekstravaskuler dan penurunan dalam beberapa jam hemodialisis atau dalam beberapa hari pengobatan gagal jantung akut.
Kebanyakan gagal jantung yang eksaserbasi dihubungkan dengan peningkatan progresif tekanan cardiac filling (kongesti hemodinamik) menyebabkan kongesti pulmoner. Jika tidak ada pemeriksaan gold standard, penggunaan tekanan atrial kanan (RAP) dan tekanan baji paru (PCWP) sering digunakan sebagai penanda kongesti paru.
Sehingga untuk mengetahui hubungan antara jumlah B line dan tekanan intra kardiak dilakukanlah studi oleh Platz et al. Dilakukanlah studi observasional prospektif pada pasien rawat inap dan jalan yang menjalani pemeriksaan kateterisasi jantung kanan (RHC) pada pusat pendidikan. Dengan 100 subjek dilakukan ultrasound paru pada delapan zona. Dimana 92 subjek dilakukan RHC, 79 subjek telah lengkap menjalankan pemeriksaan ultrasound paru pada seluruh zona (rerata usia 61 tahun; 26 wanita; rerata fraksi ejeksi ventrikel kiri LVEF 58%; 35 subjek dengan gagal jantung; 22 subjek dengan transplantasi post kardiak)
Jumlah B lines berkorelasi dengan pengukuran tekanan atrium kanan (r = 0,32), tekanan diastolik arteri pulmoner (PADP) (r = 0,34), rerata tekanan arteri pulmoner (mPAP) (r = 0,43), tekanan sistolik arteri pulmoner (PASP) (r = 0,48) dan resistensi vaskuler paru (PVR) (r = 0,51) (p < 0,005 untuk ke semua hasil), tetapi tidak untuk PCWP.
Setiap penambahan nilai B lines dihubungkan dengan peningkatan 1 mmHg PASP dan peningkatan 0,1 Wood units PVR. Hubungan ini tetap sama setelah dilakukannnya penyesuaian multivariate (p = 0,002).
Studi ini memperlihatkan threshold > 5 B lines pada 8 zona paru untuk memprediksikan peningkatan PASP. Pemeriksaan ultrasound paru pada 8 zona, dengan adanya > 3 B lines dimana paling sedikit satu zona setiap hemithoraks (total > 6 B lines) menunjukkan perbedaan antara gagal jantung dengan penyebab dispnea akut lainnya dengan sensitivitas 78 – 100% dan spesifitas 72 – 95%, dibandingkan dengan pemeriksaan NT-proBNP sensitivitas 85 – 92% serta spesifitas 63 – 89%. (Eur J Heart Fail 2012; 14: 1276-84)
SL Purwo
Studi ARIC: Prediksi Insidens Gagal Jantung di Praktek Umum
SETIAP tahunnya sekitar 500.000 individu terdiagnosis gagal jantung untuk pertama kalinya di Amerika Serikat. Pada setting manajemen yang lebih tinggi, insidens dan prevalens penyakit ini makin meningkat. Walaupun perkembangan terapi gagal jantung ini nampaknya dihubungkan dengan perbaikan angka harapan hidup, usaha yang lebih dibutuhkan untuk mendeteksi secara dini disfungsi ventrikel dan prevensi gagl jantung simptomatis.
Skor risiko gagal jantung yang simple dan efektif akan memfasilitasi prevensi primer dan diagnosis dini gagal jantung di praktek umum. Peneliti melakukan pemeriksaan validitas eksternal dari skor risiko gagal jantung yang telah ada, 10 tahun fungsi risiko gagal jantung dan memriksa nilai tambahan dari beberapa penanda biologis termasuk N-terminal pro-brain natriuretic peptide.
Selama 15,5 tahun (210.102 pasien per tahun follow up), 1487 kejadian gagal jantung terdeteksi di antara 13.555 pasien pada studi bietnik kohort Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC). Area dibawah kurva dari data yang dipublikasi studi Framingham (rekalibrasi dari Framingham, Health ABC HF dan skor risiko ARIC) didapatkan 0.610, 0.762 dan 0.797.
Pada pemeriksaan N-terminal pro-brain natriuretic peptide, area di bawah kurva dari skor risiko gagal jantung ARIC meningkat dari 0.773 (95% CI 0.753-0.787) sampai 0.805 (95% CI 0.792-0.820).
Inklusi N-terminal pro-brain natriuretic peptide memperbaiki keseluruhan klasifikasi dari rekalibrasi studi Framingham, Health ABC dan skor risiko studi ARIC sebesar 18%, 12% dan 13%. Sementara itu, cystatin C atau high sensitivity C-reactive protein tidak menambahkan nilai tambah prediksi risiko.
Skor risiko gagal jantung studi ARIC sedikit lebih baik memprediksikan gagal jantung dari pada skor risiko yang ada sebelumnya dalam memprediksi 10 tahun risiko insidens gagal jantung. Dimasukkannya NT-proBNP secara signifikan meningkatkan prediksi risiko gagal jantung.
Sebuah skor risiko yang disederhanakan terbatas pada usia pasien, ras, jenis kelamin, dan NT-proBNP melakukan perbandingan sampai nilai maksimal (AUC = 0,745), dan cocok untuk pelaporan otomatis berdasarkan hasil laboratorium dan rekam medis elektronik. (Circ Heart Fail. 2012; 5: 422-9)
Skor risiko gagal jantung yang simple dan efektif akan memfasilitasi prevensi primer dan diagnosis dini gagal jantung di praktek umum. Peneliti melakukan pemeriksaan validitas eksternal dari skor risiko gagal jantung yang telah ada, 10 tahun fungsi risiko gagal jantung dan memriksa nilai tambahan dari beberapa penanda biologis termasuk N-terminal pro-brain natriuretic peptide.
Selama 15,5 tahun (210.102 pasien per tahun follow up), 1487 kejadian gagal jantung terdeteksi di antara 13.555 pasien pada studi bietnik kohort Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC). Area dibawah kurva dari data yang dipublikasi studi Framingham (rekalibrasi dari Framingham, Health ABC HF dan skor risiko ARIC) didapatkan 0.610, 0.762 dan 0.797.
Pada pemeriksaan N-terminal pro-brain natriuretic peptide, area di bawah kurva dari skor risiko gagal jantung ARIC meningkat dari 0.773 (95% CI 0.753-0.787) sampai 0.805 (95% CI 0.792-0.820).
Inklusi N-terminal pro-brain natriuretic peptide memperbaiki keseluruhan klasifikasi dari rekalibrasi studi Framingham, Health ABC dan skor risiko studi ARIC sebesar 18%, 12% dan 13%. Sementara itu, cystatin C atau high sensitivity C-reactive protein tidak menambahkan nilai tambah prediksi risiko.
Skor risiko gagal jantung studi ARIC sedikit lebih baik memprediksikan gagal jantung dari pada skor risiko yang ada sebelumnya dalam memprediksi 10 tahun risiko insidens gagal jantung. Dimasukkannya NT-proBNP secara signifikan meningkatkan prediksi risiko gagal jantung.
Sebuah skor risiko yang disederhanakan terbatas pada usia pasien, ras, jenis kelamin, dan NT-proBNP melakukan perbandingan sampai nilai maksimal (AUC = 0,745), dan cocok untuk pelaporan otomatis berdasarkan hasil laboratorium dan rekam medis elektronik. (Circ Heart Fail. 2012; 5: 422-9)
SL Purwo
Rekomendasi Bersama EACPR dan AHA Meningkatkan Penggunaan Tes Latihan Kardiopulmoner bagi Penyedia Pelayanan Kesehatan
TUJUAN utama dari pernyataan itu adalah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap nilai latihan kardiopulmoner (CPX) dan profesional kesehatan merasa mampu melakukan interpretasi CPX secara klinis.
Selain itu, menurut Ross Arena rekomendasi bersama tersebut digunakan untuk mendistribusikan pernyataan yang konsisten secara internasional dalam mencegah kebimbangan terhadap hasil CPX seorang pasien serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil pelaporan secara universal yang mungkin akan memfasilitasi studi-studi multisenter internasional menggunakan CPX sebagai studi yang memiliki endpoint.
CPX, dikenal sebagai standar emas pada penilaian latihan aerobik, dengan menggabungkan prosedur pengujian latihan secara umum (EKG, nilai tekanan darah, perceived exertion, dan sebagainya) dengan analisis ventilatory expired gases termasuk informasi seperti konsumsi oksigen, produksi karbon dioksida dan ventilasi semenit (volume gas yang dihasilkan selama periode waktu satu menit).
CPX memberikan gambaran yang lebih baik mengenai patofisiologi dasar dibandingkan dengan pengujian latihan rutin dan memungkinkan penargetan yang lebih baik dari pengobatan. CPX juga memberikan indikasi tentang apa yang terjadi pada tingkat sel di otot. Hal ini dapat memberikan informasi diagnostik yang berharga dan juga informasi prognostik.
Penggunaan klinis CPX secara tegas ditetapkan pada pasien dengan gagal jantung sistolik dan exertional dyspnoea yang tidak jelas, bukti yang muncul saat ini menunjukkan CPX memiliki “utilitas klinis” pada pasien dengan dugaan atau pasti hipertensi arteri paru atau hipertensi paru sekunder, penyakit paru, kardiomiopati hipertrofik, dugaan iskemia miokard, dan dugaan miopati mitokondria.
Namun penguasaan penggunaan teknologi telah menjadi kesulitan yang dialami oleh para profesional kesehatan dalam menafsirkan data. Beberapa pusat telah melatih tenaga profesional dalam menginterpretasikan data dan menghasilkan laporan yang singkat. EACPR dan AHA mendapatkan “kesan berbeda” dari kebimbangan seputar interpretasi hasil yang menyebabkan pemanfaatan suboptimal dari teknologi. Rekomendasi bersama menetapkan untuk memberdayakan dokter dalam mengambil kendali dan melakukan interpretasi mereka sendiri. (European Heart Journal. Doi: 10.1093/eurheartj/ehs221)
Selain itu, menurut Ross Arena rekomendasi bersama tersebut digunakan untuk mendistribusikan pernyataan yang konsisten secara internasional dalam mencegah kebimbangan terhadap hasil CPX seorang pasien serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil pelaporan secara universal yang mungkin akan memfasilitasi studi-studi multisenter internasional menggunakan CPX sebagai studi yang memiliki endpoint.
CPX, dikenal sebagai standar emas pada penilaian latihan aerobik, dengan menggabungkan prosedur pengujian latihan secara umum (EKG, nilai tekanan darah, perceived exertion, dan sebagainya) dengan analisis ventilatory expired gases termasuk informasi seperti konsumsi oksigen, produksi karbon dioksida dan ventilasi semenit (volume gas yang dihasilkan selama periode waktu satu menit).
CPX memberikan gambaran yang lebih baik mengenai patofisiologi dasar dibandingkan dengan pengujian latihan rutin dan memungkinkan penargetan yang lebih baik dari pengobatan. CPX juga memberikan indikasi tentang apa yang terjadi pada tingkat sel di otot. Hal ini dapat memberikan informasi diagnostik yang berharga dan juga informasi prognostik.
Penggunaan klinis CPX secara tegas ditetapkan pada pasien dengan gagal jantung sistolik dan exertional dyspnoea yang tidak jelas, bukti yang muncul saat ini menunjukkan CPX memiliki “utilitas klinis” pada pasien dengan dugaan atau pasti hipertensi arteri paru atau hipertensi paru sekunder, penyakit paru, kardiomiopati hipertrofik, dugaan iskemia miokard, dan dugaan miopati mitokondria.
Namun penguasaan penggunaan teknologi telah menjadi kesulitan yang dialami oleh para profesional kesehatan dalam menafsirkan data. Beberapa pusat telah melatih tenaga profesional dalam menginterpretasikan data dan menghasilkan laporan yang singkat. EACPR dan AHA mendapatkan “kesan berbeda” dari kebimbangan seputar interpretasi hasil yang menyebabkan pemanfaatan suboptimal dari teknologi. Rekomendasi bersama menetapkan untuk memberdayakan dokter dalam mengambil kendali dan melakukan interpretasi mereka sendiri. (European Heart Journal. Doi: 10.1093/eurheartj/ehs221)
SL Purwo
Efek Metformin pada Pasien Gagal Jantung dengan Resisten Insulin dan Parameter Latihan
GAGAL jantung kronis adalah suatu keadaan resistensi insulin. Resistensi insulin (IR) menunjukkan prevalensi tertinggi pada pasien non diabetes yang menderita gagal jantung dan dihubungkan dengan tingkat keparahan dan hasil keluaran suatu penyakit.
Tidaklah jelas apakah IR sendiri mencerminkan suatu keparahan penyakit atau apakah hal tersebut menyumbang patofisiologi gagal jantung.
Tiazolidinedion mempunyai efek meningkatkan eksaserbasi gagal jantung pada pasien dengan penurunan ejeksi fraksi.
Metformin secara luas diresepkan pada DMT2, penggunaan pada pasien gagal jantung tidak direkomendasikan oleh karena risiko terjadinya asidosis laktat. Akan tetapi, pengalaman klinis menunjukkan bahwa risiko asiodsis laktat terkait metformin adalah rendah.
Pasien gagal jantung dengan IR memiliki penurunan kapasitas latihan. Oleh karena itu dilakukanlah penelitian untuk menentukan efek metformin atau IR serta kapasitas latihan pada pasien gagal jantung non diabetes yang memiliki kecenderungan untuk terjadinya IR.
Menggunakan studi randomisasi placebo terkontrol untuk mengevaluasi dampak metformin pada IR dan efeknya terhadap kapasitas latihan. Endpoint primer dari studi ini adalah ambilan oksigen puncak (peak VO2).
Sebanyak 62 pasien non diabetik IR dengan gagal jantung (rerata usia 65.2 ± 8 tahun; laki-laki 90%; fraksi ejeksi ventrikel kiri 32.6 ± 8.3%; NYHA I/II/III/IV, 11/45/6/0) dilakukan randomisasi untuk menerima terapi metformin selama 4 bulan (n = 39, 2g/hari) atau dengan placebo (n = 23).
IR didefinisikan sebagai indeks resistansi insulin puasa (FIRI) > 2,7. Tes latihan kardiopulmoner dan FIRI dinilai pada saat baseline dan setelah 4 bulan intervensi. Dibandingkan dengan placebo, metformin menurunkan angka FIRI (dari 5,8 ± 3,8 sampai 4,0 ± 2,5; p < 0,001) dan menghasilkan penurunan berat badan 1,9kg (p < 0,001).
Endpoint primer ini (peak VO2) tidak menunjukkan angka yang berbeda di antara ke dua kelompok. Studi ini memperlihatkan metformin memperbaiki endpoint sekunder dengan penurunan rasio ventilasi semenit dengan produksi karbondioksida (VE/VCO2) dari 32,9 ± 15,9 sampai 28,1 ± 8,8 (p = 0,034).
Pada kelompok metformin, FIRI secara signifikan dihubungkan dengan penurunan VE/VCO2 (r = 0,41; p = 0,036). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa, pengobatan metformin secara signifikan memperbaiki IR dan VE/VCO2 akan tetapi tidak memiliki efek terhadap peak VO2. (Eur J of Heart Fail 2012;14: 1303-10)
Tidaklah jelas apakah IR sendiri mencerminkan suatu keparahan penyakit atau apakah hal tersebut menyumbang patofisiologi gagal jantung.
Tiazolidinedion mempunyai efek meningkatkan eksaserbasi gagal jantung pada pasien dengan penurunan ejeksi fraksi.
Metformin secara luas diresepkan pada DMT2, penggunaan pada pasien gagal jantung tidak direkomendasikan oleh karena risiko terjadinya asidosis laktat. Akan tetapi, pengalaman klinis menunjukkan bahwa risiko asiodsis laktat terkait metformin adalah rendah.
Pasien gagal jantung dengan IR memiliki penurunan kapasitas latihan. Oleh karena itu dilakukanlah penelitian untuk menentukan efek metformin atau IR serta kapasitas latihan pada pasien gagal jantung non diabetes yang memiliki kecenderungan untuk terjadinya IR.
Menggunakan studi randomisasi placebo terkontrol untuk mengevaluasi dampak metformin pada IR dan efeknya terhadap kapasitas latihan. Endpoint primer dari studi ini adalah ambilan oksigen puncak (peak VO2).
Sebanyak 62 pasien non diabetik IR dengan gagal jantung (rerata usia 65.2 ± 8 tahun; laki-laki 90%; fraksi ejeksi ventrikel kiri 32.6 ± 8.3%; NYHA I/II/III/IV, 11/45/6/0) dilakukan randomisasi untuk menerima terapi metformin selama 4 bulan (n = 39, 2g/hari) atau dengan placebo (n = 23).
IR didefinisikan sebagai indeks resistansi insulin puasa (FIRI) > 2,7. Tes latihan kardiopulmoner dan FIRI dinilai pada saat baseline dan setelah 4 bulan intervensi. Dibandingkan dengan placebo, metformin menurunkan angka FIRI (dari 5,8 ± 3,8 sampai 4,0 ± 2,5; p < 0,001) dan menghasilkan penurunan berat badan 1,9kg (p < 0,001).
Endpoint primer ini (peak VO2) tidak menunjukkan angka yang berbeda di antara ke dua kelompok. Studi ini memperlihatkan metformin memperbaiki endpoint sekunder dengan penurunan rasio ventilasi semenit dengan produksi karbondioksida (VE/VCO2) dari 32,9 ± 15,9 sampai 28,1 ± 8,8 (p = 0,034).
Pada kelompok metformin, FIRI secara signifikan dihubungkan dengan penurunan VE/VCO2 (r = 0,41; p = 0,036). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa, pengobatan metformin secara signifikan memperbaiki IR dan VE/VCO2 akan tetapi tidak memiliki efek terhadap peak VO2. (Eur J of Heart Fail 2012;14: 1303-10)
SL Purwo
Langganan:
Postingan (Atom)