PERKI kampanyekan gerakan MeNaRi
Para Pengurus Pusat PERKI dan Gubernur DKI Anis Baswedan serta Wakil Gubernur Sandiaga Uno mendukung gerakan MeNaRi.
ADA yang istimewa pada Ahad pagi, Oktober silam di pelataran Gedung BRI II, Jakarta. Sejumlah tokoh masyarakat berkumpul di sana. Mulai dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, hingga sejumlah tokoh dan ahli kardiolog Indonesia seperti Ketua PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Dr dr Ismoyo Sunu,SpJP(K), pakar jantung dari RSJPD Harapan Kita, Prof Dr dr Yoga Yuniadi, SpJP, Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan RI, drg Saraswati, MPH dan Ketua Pelaksana acara dr Ade Meidian Ambari.
Di sana, mereka sepakat akan MeNaRi bersama. Bukan dalam arti berjoget, tetapi melakukan “Meraba Nadi sendiRi” yang disingkat menjadi “MeNaRi”. Itulah salah satu acara perhelatan Atrial Fibrillation Campaign dalam rangka memperingati Hari Jantung Sedunia,“World Heart Day” yang biasa diperingati pada bulan September. Tahun 2017 ini tema yang diusung pada peringatan itu adalah “Kenali FA dengan Menari”.
Selain itu, berbagai program acara dilaksanakan dalam perhelatan tersebut. Mulai dari sepeda santai, senam kesehatan jantung, kursus singkat BHD hingga pemeriksaan tensi darah dan lainnya. Salah satu yang agak serius adalah talkshow yang menampilkan pembicara dr Siska S Danny dan Prof Yoga Yuniadi dengan moderator dr Agung.
Dalam acara itu, Prof Yoga membagikan rahasia panjang umur kepada peserta yang hadir. Apakah rahasia itu? "Jika dalam kondisi santai denyut jantungnya lebih dari 70 per menit umurnya lebih pendek dibanding mereka yang denyutnya kurang dari 70", bisik Prof Yoga. Untuk itulah, masyarakat Indonesia harus pintar-pintar menjaga jantung masing-masing.
Salah satu caranya, yakni dengan melaksanakan MeNaRi tadi dengan meraba atau menghitung denyut nadi sendiri. Caranya, tutur Prof Yoga, dengan menempelkan 3 jari tangan kanan (telunjuk, jari tengah dan jari manis) di tangan kiri pada kawasan nadi di daerah yang lurus dengan jempol tangan kiri. “Jika sudah terasa ada denyutan di 3 jari kanan kita, coba kita hitung. Jika denyutannya teratur 7-8 kali dalam 10 detik itu bagus. Itu saat tubuh kita dalam kondisi istirahat,” ungkap Prof Yoga.
Pemeriksaan MeNaRi ini cukup penting dilakukan untuk mengenali regularitas irama jantung bagi masyarakat awam. Ketika irama atau denyutnya tidak teratur atau irregular maka boleh jadi penyakit fibrilasi atrium (FA) telah menyerang. “Kalau ada 10 orang yang kena FA, maka 4 orang diantaranya pertama kali ketahuan FA sudah diserang stroke dan lumpuh sebelah,” kata Prof Yoga.*
Baca juga: "MENARI (MEraba NAdi sendiRI) pada WHD 2017"
29th WECOC 2017
Gaya foto bersama para kardiolog saat “Homecoming Day” Afternoon Gathering pada WECOC 29, Oktober 2017.
MASIH pada bulan yang sama, PERKI juga menyelenggarakan Weekend Course on Cardiology (WECOC). Ini adalah acara ilmiah rutin yang diadakan Yayasan Kardiovaskular Indonesia tiap tahun, sejak dicetuskan pada 1988. Gagasan awal dicetuskan oleh Prof dr Lily I Rilantono, SpJP(K) dan dr J. Irawan Sugeng, SpJP(K). WECOC pertama digelar untuk pertama kalinya di Hotel Horison Ancol yang sekarang bernama Hotel Mercure.
Kini WECOC telah berlangsung untuk yang ke-29 kali di Sheraton Grand Jakarta, jalan Sultan Iskandar Muda, Kebayoran Lama, Jakarta pada 5-7 Oktober lalu. Tema yang dipilih adalah “Contemporary Heart Failure Management: From Dream to Reality”. Ketika itu, Ketua Departemen Kardiologi Vaskular FKUI dr. Amiliana M. Soesanto membuka acara dengan pemukulan gong didampingi Ketua Yayasan Kardiovaskular Indonesia, Dr dr Ismoyo Sunu dan Ketua Panitia WECOC 29, dr Daniel Tobing.
Pada acara ini dihadirkan para pembicara dari dalam dan luar negeri seperti: dr Jou Kou Wang (Taiwan), Prof Dr P.A.F.M. Pieter Doevendans, PhD (Belanda) dan Dr Yolande Appelman (Belanda). Sejumlah topik ilmiah digelar pada acada workshop antara lain: Heart Failure, Exercise Stress Test Made Easy, Electrocardiography, Hypertension, Pediatric Cardiology & Congenital Heart Disease, Vascular Disease, Acute Coronary Syndrome.
Kali ini, setidaknya ada 849 orang yang hadir dan ada 125 abstrak yang masuk ke panitia dari seluruh Indonesia. Dari jumlah abstrak itu, panitia memilih dan menyaring 10 yang terbaik diantaranya. Selanjutnya dari 10 finalis dewan juri memilih tiga orang pemenang. Yakni 1. Isabela Andika Pratama, 2. Gadih Ranti E dan 3. Felix Chikita Fredy.*
Pesan Prof. BJ Habibie pada 9th ISICAM-InaLIVE dan JCS 2017
BJ Habibie berfoto bersama dengan Dr. dr. Doni Firman, Prof. Asikin Hanafiah,
Prof. Lily I Rilantono, dr. A. Sunarya Soerianata, Dr. dr. Ismoyo Sunu dan dr. A. Fauzi sesaat setelah membuka 9th ISICAM-InaLIVE dan JCS 2017.
SELAIN dua acara di atas, acara penting lainnya adalah perhelatan yang diadakan Perhimpunan Intervensi Kardiologi Indonesia (PIKI) yang merupakan Kelompok Kerja PP PERKI, yakni pertemuan ilmiah tahunan Isicam-InaLIVE yang ke-9. Acara ini dilaksanakan pada 13-15 Oktober 2017 bersamaan dengan pertemuan ilmiah Jakarta Cardiovascular Summit 2017 dengan tema “Integrative Cardiovascular Intervention”.
Tujuan pertemuan ini, tentu saja sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas pelayanan intervensi saat serangan jantung terjadi. Perlu juga diketahui, PIKI telah mengembangkan jejaring pelayanan serangan jantung yang disebut ISTEMI (Indonesia ST Elevation Myocardial Infartion).
Nah, yang istimewa kali ini PERKI beruntung mendapatkan kunjungan dari Presiden RI ke-3, Prof BJ Habibie. Beliau langsung diminta untuk membuka acara ilmiah tersebut serta memberikan pidato singkat. Dalam sambutannya Habibie berkisah pada umur 21 tahun, dia pernah divonis dokter menderita endokarditis. Padahal ketika itu Habibie tengah berjuang menyelesaikan studinya di Jerman pada 1957.
“Jantung saya bengkak dan tidak bisa memompa sesuai harapan. Otot jantung membesar dan menekan paru-paru sehingga batuk berdarah,” kata Habibie. Dengan kemampuan teknologi kedokteran saat itu, syukurlah, jantung Habibie dapat diselamatkan. Maka, ia memberi semangat kepada para ahli jantung Indonesia agar dapat memanfaatkan ilmu dan teknologi yang ada secara maksimal.
Habibie yang kini sudah berusia 82 tahun menegaskan agar anak-cucu Indonesia kelak harus lebih baik dibanding pendahulunya. “Eyang selalu berdoa agar anak cucu eyang lebih baik dari eyang. Eyang out… but cucu dan anaknya coming inside. You must be the best than your eyang,” tuturnya disambut tepuk tangan riuh.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar