pita deadline

pita deadline

Selasa, 20 Maret 2018

PERKI HUT 60th: Pencapaian dan Milestone Kinerja Profesi Kedokteran Jantung Indonesia

PERKI merayakan pengabdiannya selama 60 tahun. Prestasi dan pengabdian apa saja yang telah dicapai? PERKI telah memperkuat jaringan kerjasama dan pengabdian. Inilah sejumlah milestone yang berhasil dicapai.


PERKI memberikan bintang penghargaan Aryasatya tingkat kemuliaan kepada para Ketua PERKI purna bakti yang telah berjuang tanpa pamrih demi kemajuan organisasi.

JEJERAN lukisan wajah-wajah para Presiden Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Purna Bakti tampak menyambut para tamu undangan. Berlokasi di Ayana Mid Plaza Hotel, Jakarta, PERKI menyelenggarakan syukuran HUT ke-60, tanggal 18 November silam. 
Tampak hadir sejumlah tokoh masyarakat, antara lain perwakilan dari IDI, PPSDM Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Pusat Kesehatan Haji Kemenkes, Ketua Perhimpunan Organisasi-organisasi Profesi, Ketua AIPTBI, Ketua YJI, perwakilan Direktur RSJHK, Direktur Rumah Sakit Rujukan Nasional, Provinsi dan regional, Ketua Kolegium Ilmu Penyakit jantung dan Pembuluh Darah. 
Tentu tak ketinggalan elemen dari PERKI sendiri. Hadir dalam perhelatan itu antara lain para Presiden Pengurus Pusat (PP) PERKI Purna Bakti, para Ketua PERKI Cabang dan Komisariat, para Senior PERKI, Ketua Team Pengampu Jejaring Kardiovaskular RS rujukan, Ibu-ibu Paguyuban, Ibu-ibu Kardiologi Indonesia dan para peserta undangan yang datang dari berbagai wilayah Indonesia.
Hari itu PERKI memang layak mendapat perlakuan khusus. Sebuah logo HUT PERKI ke-60 khusus dibuat untuk peringatan ini. Betapa tidak, saat itulah organisasi profesi ini telah genap 60 tahun mengabdi dan melayani bidang kedokteran kardiologi Indonesia. 

Tampak jejeran lukisan wajah-wajah para Presiden PERKI purna bakti.

Perayaan itu diisi dengan berbagai aktivitas, mulai dari pagelaran seni, pemberian penghargaan, sambutan dan silaturahim para anggota. Setelah penampilan Pacemaker Choir pimpinan dr. Radityo Prakoso sebagai pembuka, acara diteruskan dengan drama monolog Labdagati “Sebuah awal Menuju Kejayaan” ditampilkan oleh Anindya Naila Sabahat dkk dengan iringan musik.
Sesuai dengan tema drama tersebut, Ketua PP PERKI, DR Dr Ismoyo Sunu, SpJP(K) menyinggung tentang kinerja, prestasi dan kejayaan PERKI. “Pencapaian PERKI di usia 60 tahun tidak bisa dilepaskan dari hasil perjuangan para pendiri dan pengurus PERKI dari pusat hingga cabang di periode-periode sebelumnya,” katanya dalam pidato sambutan.
Berkat kerjasama yang sinergis antara PERKI dan Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (Kolegium IPJPD), lanjut Ismoyo, maka upaya pengabdian yang sangat berat untuk negeri ini dapat mengakselerasi berbagai milestone yang telah dirintis selama ini.
Sejumlah milestone tersebut antara lain, PERKI terlibat aktif  dalam Komite Penanggulangan Penyakit Kardioserebrovaskular Nasional bersama Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI), Perhimpunan Spesialis Penyakit Saraf (PERDOSI), Perhimpunan Spesialis Dokter Rehabilitasi Medik (PERDOSRI), Perhimpunan Spesialis Bedah Torak Kardiovaskular (HBTKVI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anak (IDAI). “Harapannya, komite ini mampu mewujudkan kesamaan pandangan dan pendapat terutama dalam memberikan advokasi kebijakan dan regulasi pemerintah khususnya Kemenkes pada era JKN yang pada akhirnya dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas secara bermakna,” kata Ismoyo.
encapaian lainnya adalah PERKI telah menjadi organisasi profesi yang berstatus badan hukum sejak Januari 2017, sehingga kerjasama legal formal dengan beberapa instansi dapat dilakukan. Kerjasama itu antara lain dengan badan PPSDM Kemenkes untuk mengawal terlaksananya program fellowship in training dengan terwujudnya perjanjian kerjasama bantuan pembiayaan yang dilaksanakan di 9 Rumah Sakit rujukan Pendidikan Kardiovaskular.
“Bersama Pokja PIKI, PERKI juga mampu melebarkan sayap dengan mengirimkan fellow ke India dan Cina yang juga direncanakan akan diberikan bantuan pendidikan oleh Kemenkes. Harapan ke depan, capaian ini dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan SDM Spesialisasi Kardiovaskular Kompetensi Lanjut di RS rujukan Nasional, Provinsi dan Regional,” kata Ismoyo.
Kerjasama dalam negeri yang lain yaitu terjalinnya nota kesepahaman PERKI dan Asosiasi Institusi Pendidikan Teknologi Biomedis Indonesia (AIPTBI). AIPTBI telah membuktikan pembuatan alat-alat kardiovaskular seperti stent pembuluh darah koroner, deteksi dini pembuluh darah dan pembuatan alat kateterisasi perifer tanpa menggunakan sinar X. “Harapan ke depan lebih banyak tercipta cardiovascular medical equipment yang lebih terjangkau,” kata Ismoyo.
Pencapaian lainnya adalah terlaksananya usaha Pokja PIKI membuat PCI Registry sejak Januari 2017 dari partisipasi 11 rumah sakit. Di samping itu usaha keras dari Pokja Acute Cardiovascular Care berhasil melaksanakan program ISTEMI yang berjalan dengan baik di Indonesia. “Dua kegiatan ini diharapkan memberikan data tatalaksana penyakit jantung koroner yang sesuai dengan demografi Indonesia sehingga mendukung pelayanan kesehatan di era JKN. Di sisi lain melalui registrasi ini kita juga dapat menunjukkan kemampuan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di kancah Internasional,” ungkapnya.
Milestone selanjutnya adalah terpilihnya Dr dr Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA sebagai President elect ASEAN Federation of Cardiology tahun 2017 dan terpilihnya dr. Fauzi Yahya, SpJP(K), FIHA sebagai Vice President APSC 2017. “Ini membuktikan PERKI tetap memelihara hubungan baik dengan organisasi profesi kardiovaskular internasional. Harapan ke depan terjalinnya kerjasama MEA yang saling menguntungkan dengan terbentuknya komite akreditasi Asean dan Asia Pasific yang lebih menjamin keadilan,” kata Ismoyo lagi.
Acara penting lainnya dari perayaan ini adalah pemberian Bintang Aryasatya PERKI atas jasa-jasa sejumlah tokoh kepada organisasi. Mereka yang mendapat penghargaan:

  • dr. Gan Tjong Bing (Ketua PP PERKI 1957-1966) (Alm)
  • dr. Sukaman, SpJP (Ketua PP PERKI 1966-1978) (Alm)
  • Prof. dr. Asikin Hanafiah, SpJP(K), FIHA, FAsCC (Ketua PP PERKI 1978-1981 dan 1987-1991)
  • dr. Tagor GM Siregar, SpJP (Ketua PP PERKI 1981-1984) (Alm)
  • Prof. dr. Lily I. Rilantono, SpJP(K), FIHA, FAsCC (Ketua PP PERKI 1984-1987)
  • Prof. dr. Sjukri Karim, SpJP, FIHA (Ketua PP PERKI 1991-1994) (Alm)
  • Prof. Dr. dr. Dede Kusmana, SpJP(K), FIHA, FACC, FAsCC (Ketua PP PERKI 1994-1997)
  • dr. Santoso Karo Karo, MPH, SpJP(K), FIHA, FAsCC (Ketua PP PERKI 1998-2002)
  • dr. Manoefris Kasim, SpJP(K), FIHA, FACC, FAsCC (Ketua PP PERKI 2002-2004)
  • Prof. Dr. dr. Idris Idham, SpJP(K), FIHA, FACC, FESC, FAsCC (Ketua PP PERKI 2004-2006)
  • Dr. dr. Muhammad Munawar, SpJP(K), FIHA, FACC, FESC, FSCAI, FAsCC (Ketua PP PERKI 2006-2008)
  • dr. A. Sunarya Soerianata, SpJP(K), FIHA, FACC, FESC, FSCAI, FAsCC (Ketua PP PERKI 2008-2010)
  • dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA, FACC, FESC, FAsCC (Ketua PP PERKI 2010-2012)
  • Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni, SpJP(K), FIHA, FAsCC, FACC (Ketua PP PERKI 2012-2014)
  • Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA, FAsCC, FESC, FACC (Ketua PP PERKI 2014-2016).

Selain itu PERKI memberikan bintang penghargaan bagi para tokoh yang telah berjasa dalam pengembangan pusat pendidikan kardiologi dan kedokteran vaskular di Indonesia, yakni kepada Prof Dr dr H Biran Affandi, SpOG(K), (Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia 2003-2009) dan kepada Prof dr H Fasli Jalal, SpGK, PhD (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Dept. Pendidikan dan Kebudayaan RI (2007-2011).
Perhelatan ini diakhiri dengan hiburan, menampilkan grup band yang terkenal pada dasawarsa 1970-an yaitu Koes Plus. Dan….. tamu undanganpun terlarut kedalam iringan musik band itu.*

[Tim InaHeartnews]


Dr Santoso Karo Karo dan Dr Ismoyo Sunu pun tersedot untuk tampil ke pentas.



Pembinaan Etik & Etos Juga Melibatkan Bidang Profesi Lain

DALAM rangka HUT PERKI ke-60, Ketua PERKI Dr. dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K) menyatakan, lembaga profesi ini tetap konsisten memelihara dan membina para anggota agar taat terhadap etos dan etik dokter jantung. Lebih penting lagi, Ismoyo menyatakan agar pembinaan etos ini berjalan dengan efektif, sangat perlu bekerja sama dengan profesi lain. Berikut ini percakapan InaHeartnews dengan beliau di sela-sela konferensi pers HUT PERKI ke-60 di Heart House, Jakarta, Desember lalu.

Apa saja pencapaian etik dan etos dokter jantung dalam rangka HUT PERKI ke¬60 ini?
Etika adalah suatu kegiatan yang ke luar dari sanubari kita. Tentunya hal ini harus kita perhatikan dan harus dibina untuk kepentingan kita sendiri dan yang paling penting adalah kepentingan profesi kedokteran kardiologi dan patient safety. Untuk kepentingan pasienlah, dokter jantung itu sudah dididik tentang etika kedokteran sejak jenjang S1 hingga sub spesialis.
Oleh sebab itu, memang cukup sulit menjawab bagaimana pencapaian etika kedokteran selama 60 tahun ini. Tidak bisa kita hitung secara statistik. Yang bisa kita lakukan adalah tetap menjaga ketaatan dan pedoman pada moral etika. Tetapi tentunya terkait dengan ini kami terus mengadakan pembinaan, pertemuan-pertemuan dan aktivitas pembinaan yang lain. Kami juga terus mengadakan diskusi dan seminar yang dihadiri oleh berbagai bidang terkait dengan etik dan etos kerja kedokteran ini.

Apa saja upaya PERKI dalam melakukan pembinaan etik dan etos dokter jantung? 
Mulai dari sisi kedokteran, profesional, hukum dan kerohanian. Kami juga menghadirkan unsur tokoh masyarakat. Jadi ada keterpaduan dengan bidang profesi lainnya. Ini semua gunanya agar terus ada pengawalan dan memberikan suatu informasi sejauh mana kami sebagai dokter telah memberikan pelayanan kepada pasien serta patient safety. Ini tak hanya menjadi suatu manfaat bagi PERKI, tetapi bagi seluruh pelayanan kesehatan yang terlibat.

PERKI juga memiliki kelompok kerja tersendiri yang menangani masalah etika? 
Kami juga mempunyai tim etika, yang untuk kepemimpinan Kabinet Amanah PERKI kali ini dipimpin Dr. Santoso Karo Karo. Beliau akan selalu mengajukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan teknis tentang etik dan etos dokter jantung. Kami juga mengadakan dan membuat buku petunjuk teknisnya. Tetapi itu juga harus selalu diingatkan dan dikomunikasikan.
Memang persoalan pembinaan dan mengingatkan ini tidak mudah dan tidak murah. Kami para dokter kan tersebar di mana-mana di Indonesia. Itu memang menjadi tantangan tersendiri bagaimana menciptakan upaya yang efektif tentang pembinaan etika ini.
Tetapi sebaliknya, jangan sampai pula, para dokter ini sibuk mengurusi etika sampai tidak bekerja melayani pasien. Makanya kita juga sedang mengembangkan peralatan yang mampu menyampaikan pesan-pesan kode etik ini secara kontinyu kepada para dokter. Ini disampaikan secara kontinyu bukan hanya ketika terjadi masalah saja.

Bagaimana para dokter jantung saat ini menghadapi perkembangan sosial saat ini? Apakah masalah etika ini perlu menyesuaikan perkembangan yang ada? 
Pedoman moral dan etika tidak akan bisa kita ubah. Yang penting adalah pelaksanaannya yang harus dikawal terus. Kita harus terus berusaha membina etik dan etos ini. Jadi terus membina bukan membinasakan ….haha. Tentunya dalam rangka pembinaan itu, tidak hanya ketika ada atau terjadi masalah. Sehingga pada tujuan dapat tercapai.

Bagaimana tanggapan dokter soal perkembangan teknologi kedokteran saat ini? Tentunya ini juga berpengaruh pada etika? 
Saat ini kita juga banyak mengadakan kerja sama dengan para ahli teknologi Informasi tak hanya di bidang teknologi kedokteran. Dulu antara bidang kedokteran dan IT ini memang ada jarak. Oleh sebab itu, dalam HUT PERKI yang ke 60 tahun ini telah membuat berbagai kerja sama dengan para ahli teknologi yang tahu bagaimana membuat peralatan Kesehatan dan sebagainya. 
Jadi sudah terjalin kerja sama dengan mereka.*


Penanda-tanganan Nota Kesepahaman PERKI dengan Kemenkes RI, dan antara PERKI dengan Asosiasi Institusi Pendidikan Teknologi Biomedis Indonesia (AIPTBI).


Biomarker Fungsi & Ginjal: Diagnostik, Prognostik dan Implikasi Terapeutik pada Gagal Jantung

PEDOMAN gagal jantung (HF – Heart Failure) menyarankan untuk mengevaluasi fungsi ginjal sebagai suatu rutinitas pada setiap pasien dengan HF. Secara khusus, disarankan untuk menghitung laju filtrasi glomerulus dan menentukan urea nitrogen darah. Alasan untuk ini adalah bahwa gangguan ginjal dan perburukan fungsi ginjal sangat umum terjadi pada HF dan berhubungan erat dengan keluaran klinis yang buruk.
Lima belas tahun yang lalu, dua penelitian besar yang diterbitkan yang menunjukkan untuk pertama kalinya adanya nilai prognostik yang kuat dari fungsi ginjal pada pasien dengan HF kronis dan disfungsi ventrikel kiri asimtomatik.1,2 Temuan luar biasa ini ditunjukkan pada suatu telaah pada subjek, yang disebut ‘The Cinderella Of Cardiovascular Risk Profile’.3 Sejak saat itu, sejumlah besar penelitian tentang fungsi ginjal pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, khususnya pada pasien dengan HF dan infark miokard, telah diterbitkan.4-6
Disfungsi ginjal direfleksikan dari penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang diestimasikan oleh formula yang telah divalidasi untuk memberikan indikasi yang cukup akurat dari GFR. Namun kenyataannya, disfungsi ginjal tidak hanya masalah penurunan filtrasi glomerular saja, tetapi juga terdiri dari hemodinamik ginjal, filtrasi, retensi natrium dan air, proteinuria dan albuminuria, kerusakan tubulointerstitial, dan pengaturan metabolisme kalsium fosfat, dimana secara keseluruhan telah terbukti terganggu pada pasien dengan HF.5,6 Suatu kompleksitas dari fungsi ginjal ini mengakibatkan penggunaan berbagai macam biomarker ginjal. Meskipun biomarker konvensional pada kerusakan fungsi ginjal, seperti serum kreatinin, yang sering digunakan dalam praktek sehari-hari, tetapi suatu biomarker baru dengan karakteristik yang khas telah ditemukan. Namun, kegunaan klinis dalam menentukan diagnosis, prognosis, dan keputusan terapi masih belum dipahami secara lengkap.
Secara umum, penelitian biomarker dalam penyakit kardiovaskular banyak dikembangkan dalam dekade terakhir. Namun, sebagian besar studi biomarker hanya berimplikasi pada kepentingan prognostik, tidak banyak berimplikasi dalam praktek klinis. Dan juga, pemahaman mengenai latar belakang patofisiologi pada kebanyakan biomarker tersebut masih belum dimengerti. Dalam perawatan pasien HF, suatu biomarker ginjal harus dapat menjadi alat diagnostik yang dapat memberikan kemudahan dan informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan biomarker konvensional.
Fakta adanya hubungan yang kuat antara GFR dengan gangguan hemodinamik menjadi alasan utama GFR dijadikan prediktor yang kuat dalam prognosis HF.7-10 Tetapi gold standart dari pengukuran GFR adalah dengan menggunakan marker radioaktif spesifik seperti Iothalamate atau Inulin Clearance. Hanya saja metode tersebut tidak ramah pada pasien karena memerlukan banyak waktu dan mahal.11 Sehingga kemudahan dalam penggunaan marker plasma seperti serum kreatinin, serum Cystatin-C dan BUN (Blood Urea Nitrogen), lebih sering digunakan dalam mengukur fungsi ginjal.
Serum kreatinin merupakan marker yang paling sering digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal karena kemampuannya dalam memberikan informasi GFR yang akurat.11 Hubungan antara serum kreatinin dengan estimasi GFR (eGFR) merupakan hubungan eksponensial. Perubahan kecil pada keduanya akan menyebabkan perubahan bermakna pada GFR. Penting untuk dipahami jika serum kreatinin memiliki peran khusus pada penilaian kerusakan ginjal. Dalam bidang nephrologi, kerusakan ginjal merupakan suatu kondisi dengan penurunan fungsi ginjal secara progresif, kehilangan nephron azotemia dan muncul pada kondisi gagal ginjal akut/kronis dengan renal fibrosis dan kerusakan tubulointerstisial.12 
Maka pasien dengan peningkatan kadar serum kreatinin memiliki resiko yang lebih besar terhadap perburukan fungsi ginjal (Worsening Renal Function/WRF). WRF ditentukan dari peningkatan serum kreatinin >26,5µmol/L dan atau >25%. Salah satu keterbatasan serum kreatinin adalah terdapat fakta bahwa kadar serum tidak hanya mencerminkan filtasi glomerular, tetapi juga massa otot. Sehingga, secara teoritis, peningkatan serum kreatinin muncul juga pada kondisi peningkatan massa otot dimana hal tersebut terjadi pula pada HF.12 Dalam praktek sehari-hari, kebanyakan dokter akan memberikan terapi berdasarkan perubahan serum kreatinin dan GFR. Dosis obat yang mengalami filtrasi dan ekskresi melalui ginjal akan disesuaikan. 
Serum Cystatin-C adalah protein kecil yang dihasilkan pada semua sel yang memiliki nukleus dimana mengalami filtrasi bebas pada glomerular, tanpa sekresi aktif.13 Sehingga pada kondisi kerusakan tubular yang berdampak pada reabsorbsi tubular, akan menyebabkan peningkatan kadar Cystatin-C pada urine. Maka dari itu, Cystatin-C digunakan sebagai marker sensitif dari filtrasi glomerular dan Urinary Cystatin-C digunakan sebagai marker kerusakan tubular. Tetapi data penelitian untuk HF masih terbatas. Studi ASCEND-HF menyebutkan bahwa Cystatin-C dapat dijadikan suatu prediktor yang prominen terhadap keluaran klinis pasien HF.14 Tetapi studi tersebut belum digunakan sebagai panduan dalam terapi pasien HF.
BUN sangat berhubungan erat dengan fungsi ginjal dan aktivasi neurohormonal pada HF. BUN mengalami filtrasi glomerulus dan urea akan direabsorbsi pada tubulus ginjal. Sehihgga plasma BUN tidak hanya tergantung pada GF tetapi juga pada fungsi tubular dan erat kaitannya pada aktivasi Renal Angiotensin-Aldosteron System (RAAS). Pada Studi PROTECT-HF, BUN merupakan prediktor kuat untuk 180 hari angka kematian pada pasien HF akut. Pada Studi OPTIME-HF, BUN juga dapat mengidentifikasi pasien dengan resiko survival yang buruk. Saat ini masih sedikit data yang mendukung fungsi BUN dalam bidang kardiologi. Penelitian Testani et al. mengevaluasi BUN ada HF kronik dan membuktikan bahwa dosis tinggi dari Loop Diuretics berhubungan dengan perburukan prognosis bila nilai awal dari BUN sudah tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa BUN dapat digunakan untuk mengukur resiko yang berhubungan dengan penggunaan dosis tinggi Loop-Diuretics pada pasien HF.
Albuminuria dan Proteinuria umumnya berhubungan dengan hipertensi nephropaty pada pasien non-HF. Peningkatan tekanan intraglomerular menyebabkan kebocoran dan kerusakan pada membran glomerular sehingga terjadi pelepasan kuantitas dan tipe protein dalam jumlah besar pada urine. Albuminuria sering ditemui pada HF kronik. Pada Studi GISSI-HF, albuminuria menunjukkan sebagai nilai independen prognostik yang lebih baik daripada GFR dan menjadi marker pada kerusakan tubular. Proteinuria menjadi target terapi yang kuat pada Hipertensi dan penyakit Ginjal. Tetapi pada HF, belum ada bukti yang mendukung terapi.15
Hipoksia ginjal kronis adalah ciri khas dari penyakit ginjal stadium akhir. Dan karena tubulus adalah bagian ginjal yang mengkonsumsi oksigen paling banyak, maka disfungsi dan kerusakan tubular sering terjadi. Terutama dalam kondisi yang ditandai oleh berkurangnya perfusi jaringan dan hipoksia seperti HF, ginjal rentan terhadap kerusakan tubulointerstitial. Data histologi yang mendukung kerusakan tubular dan fibrosis di HF masih terbatas.16 Pada HF, beberapa marker disfungsi tubular telah menunjukkan asosiasi yang kuat terhadap kerusakan fungsional dan histologi dari ginjal. Beberapa tanda tersebut muncul dalam urin karena mereka diproduksi di tubulus dan bereaksi pada sisi luminal tubulus, sementara yang lain juga ditemukan dalam plasma. 
Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL) adalah molekul kecil dari golongan lipocalin. NGAL merupakan marker diagnostik yang kuat pada gagal ginjal akut, karena dalam waktu singkat, terjadi peningkatan kadar NGAL pada urine dan plasma lebih dari 1000 kali lipat.17 Plasma NGAL berhubungan erat dengan proses infeksi dan inflamasi, dan sedikit meningkat pada penyakit kronik. Urinary NGAL diperkirakan dipengaruhi oleh produksi dan sekresi dari tubular. 
Pada HF akut, kadar Plasma NGAL umumnya lebih tinggi pada pasien yang mengalami WRF sedangkan pada Urinary NGAL hal tersebut tidak terjadi.18,19 Pada HF kronik, kadar Plasma NGAL berhubungan dengan marker fungsi ginjal lainnya. Penelitian Maisel et al 20 pada pasien HF akut menunjukkan bahwa Plasma NGAL memiliki nilai prognostik aditif yang lebih baik dari Brain Natriuretic Peptide (BNP). Menurut penelitian dari Alvelos et al,21 Plasma NGAL juga dapat memprediksi mortalitas setelah hospitalisasi yang lebih baik daripada eGFR atau Cystatin-C. Analisis dari studi GISSI-HF menyatakan bahwa Urinary NGAL dapat memprediksi semua penyebab kematian pada HF.15 Tetapi hingga saat ini masih belum ada studi mengenai terapi HF yang berdasarkan dari evaluasi NGAL. Terdapat fakta yang menarik pada hewan uji dengan kondisi Ischaemia-reperfusi, dimana pemberian NGAL dapat mengurangi kerusakan tubulointerstisial.22 Hal ini dapat diperkirakan di masa depan, NGAL dapat menjadi agen terapi daripada menjadi marker dalam pedoman terapi. 
Kidney Injury Molecule 1 (KIM-1) adalah suatu protein yang banyak ditemukan pada sisi luminal dari tubulus ginjal. Meskipun fungsi tepatnya masih belum diketahui, tetapi peningkatan kadar Urinary KIM-1 berhubungan dengan hospitalisasi pasien HF dan bukti patologis dari adanya kerusakan tubulointerstisial, fibrosis dan inflamasi.23,24 Urinary KIM-1 meningkat 2 kali lipat pada pasien dengan HF kronik dan berhubungan dengan fraksi ejeksi, NYHA-Class, dan N-terminal brain natriuretic peptide (NTproBNP).25 Studi GISSI-HF menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar Urinary KIM-1 dengan angka mortalitas dan hospitalisasi pada pasien HF kronik. Kegunaan KIM-1 pada terapi dibuktikan dalam suatu studi dimana pemberian obat Diuretik dihentikan dan diberikan kembali. Walaupun serum kreatinin tidak berubah, tetapi kadar Urinary KIM-1 menunjukkan peningkatan yang signifikan saat penghentian, dan menurun dengan pemberian kembali obat Loop-Diuretics.26 Hal ini menunjukkan bahwa KIM-1 sangat sensitif  terhadap perubahan kecil pada hemodinamik dan ginjal.
N-Acetyl-ß-d-glucosaminidase (NAG) adalah marker lain dari kerusakan tubulus proksimal ginjal dan telah diteliti pada pasien dengan gagal ginjal kronik dan Penyakit jantung Koroner. Pada HF kronik, kadar NAG berhubungan dengan eGFR, RBF (Renal Blood Flow) dan NTproBNP.27 Studi GISSI-HF menunjukkan bahwa kadar NAG dapat menjadi prediktor univarian pada WRF, tetapi NAG kurang berguna daripada KIM-1.28 Tetapi pada pasien HF, kadar NAG menjadi prediktor independen dari semua penyebab kematian dan hospitalisasi, yang lebih baik daripada eGFR dan albuminuria.15 Hingga kini, belum ada studi mengenai panduan terapi yang berdasarkan kadar NAG. Pada studi kecil, NAG menunjukkan kemiripan dengan KIM-1 dalam hal sensitivitas terhadap obat diuretik.26 
ß-2-Microglobulin adalah molekul kecil yang mengalami filtrasi sempurna pada glomerulus dan reabsorbsi tubular. Hal ini berarti bahwa ketika terjadi disfungsi tubular atau cedera, maka Urinary ß-2-Microglobulin muncul dalam urine. Oleh karena itu, ß-2-Microglobulin dapat dijadikan marker kerusakan ginjal dan dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal dalam populasi umum dan donor ginjal.29,30 Pada dua analisis pada populasi di Jepang didapatkan bahwa peningkatan kadar ß-2-Microglobulin berhubungan dengan resiko serangan jantung, tanpa melihat fungsi ginjal awal.31,32 Data marker ß-2-Microglobulin untuk implikasi terapi pada pasien HF masih belum tersedia.
Fatty Acid-Binding Proteins (FABPs) adalah suatu protein yang memainkan peran penting dalam regulasi metabolisme energi pada tubulus ginjal. Terdapat 2 tipe dari FABPs yaitu tipe Liver (L-FABP) dan tipe jantung (H-FABP). Faktanya, L-FABP ditemukan di liver dan tubulus proksimal ginjal setelah mengalami stres oksidatif. Sedangkan H-FABP ditemukan di jantung dan tubulus distal ginjal.33 H-FABP diperkirakan meningkat pada kondisi kerusakan Miokardium, hal ini menjadikannya sebagai marker pada HF. Sebagai marker diagnostik, H-FABP meningkatkan akurasi diagnostik dari NTproBNP.34 Sebuah studi kecil menyatakan bahwa serum H-FABP dapat menjadi prediktor independen dari angka kematian dalam 90 hari dan hospitalisasi.35 Peningkatan kadar H-FABP berhubungan dengan keluaran klinis yang lebih buruk.36 Dalam implikasi terapeutik, belum ada studi yang menunjang penggunaan H-FABP pada terapi. 
Urinary Natriuretic Peptides (UNP) adalah suatu peptida penting dalam manejemen HF. Meskipun UNP bukan merupakan bio-marker ginjal, selain karena efek dari UNP berpengaruh pada ginjal, yaitu mengatur natrium dan ekskresi air, UNP juga tampak pada urine terutama C-Type Natriuretic Peptide (CNP). CNP ini diperkirakan memiliki efek anti-proliferasi, anti-fibrotik dan kemampuan vasodilatasi. Pada HF akut, kadar Urinary CNP meningkat. Pada studi HF akut, diketahui bahwa CNP berhubungan erat dengan keluaran klinis.37 Tetapi pada implikasi terapi, masih belum terdapat data yang mendukung penggunaan UNP dalam pedoman terapi.
Selain dari yang disebutkan di atas, masih banyak terdapat marker yang berhubungan dengan fungsi ginjal, antara lain Pro-Enkephalin (Pro-ENK), Interleukin 18 (IL18), Osteopontin, Galectin-3 dan Growth Differentiating Factor-15 (GDF-15). Tetapi bukti individual dari masing-masing marker masih cukup lemah untuk dibahas di sini.
Disfungsi ginjal adalah salah satu fitur kunci dari HF, dan pedoman merekomendasikan pemantauan menyeluruh fungsi ginjal. namun, teknik yang optimal untuk mengevaluasi fungsi ginjal masih belum jelas, dan tidak ada konsensus tentang bagian mana dari fungsi ginjal (GFR, albuminuria, kerusakan tubulus) yang harus dievaluasi. Ada kesulitan dalam menerjemahkan informasi dari biomarker ginjal untuk menjadikan perubahan pada terapi. Fungsi ginjal digunakan untuk mengevaluasi risiko kardiovaskular, menilai status hemodinamik, dan memilih dosis yang tepat dalam terapi berbasis bukti.
Dengan demikian, penanda fungsi ginjal telah menjadi sebuah kebutuhan untuk menilai pasien dengan HF. Namun bukti untuk mendukung pengobatan HF berdasarkan biomarker ginjal tersebut masih kurang. Pada saat ini, pengukuran novel biomarker ginjal dapat membantu untuk menentukan risiko kardiovaskular, tetapi masih belum optimal. Maka peran biomarker ini cukup penting untuk mengubah suatu terapi agar meningkatkan hasil klinis pasien HF.*

DAFTAR PUSTAKA
  1. Hillege HL, Girbes AR, de Kam PJ, Boomsma F, De ZD, Charlesworth A, Hampton JR, van Veldhuisen DJ. Renal function, neurohormonal activation, and survival in patients with chronic heart failure. Circulation 2000; 102: 203-210.
  2. Dries DL, Exner DV, Domanski MJ, Greenberg B, Stevenson LW. The prognostic implications of renal insufficiency in asymptomatic and symptomatic patients with left ventricular systolic dysfunction. J Am Coll Cardiol 2000; 35: 681-689.
  3. Ruilope LM, van Veldhuisen DJ, Ritz E, Luscher TF. Renal function: the Cinderella of cardiovascular risk profile. J Am Coll Cardiol 2001; 38: 1782-1787.
  4. Damman K, Valente MA, Voors AA, O’Connor CM, Van Veldhuisen DJ, Hillege HL. Renal impairment, worsening renal function, and outcome in patients with heart failure: an updated meta-analysis. Eur Heart J 2014; 35: 455-469.
  5. Hillege HL, van Gilst WH, van Veldhuisen DJ, Navis G, Grobbee DE, de Graeff PA, de Zeeuw D, CATS Randomized Trial. Accelerated decline and prognostic impact of renal function after myocardial infarction and the benefits of ACE inhibition: the CATS randomized trial. Eur Heart J 2003; 24: 412-420.
  6. Anavekar NS, McMurray JJ, Velazquez EJ, Solomon SD, Kober L, Rouleau JL, White HD, Nordlander R, Maggioni A, Dickstein K, Zelenkofske S, Leimberger JD, Califf RM, Pfeffer MA. Relation between renal dysfunction and cardiovascular outcomes after myocardial infarction. N Engl J Med 2004; 351: 1285-1295.
  7. Cody RJ, Ljungman S, Covit AB, Kubo SH, Sealey JE, Pondolfino K, Clark M, James G, Laragh JH. Regulation of glomerular filtration rate in chronic congestive heart failure patients. Kidney Int 1988; 34: 361-367.
  8. Cody RJ, Torre S, Clark M, Pondolfino K. Age-related hemodynamic, renal, and hormonal differences among patients with congestive heart failure. Arch Intern Med 1989; 149: 1023-1028.
  9. Packer M, Lee WH, Kessler PD. Preservation of glomerular filtration rate in human heart failure by activation of the renin-angiotensin system. Circulation 1986; 74: 766-774.
  10. Smilde TD, Damman K, van der Harst P, Navis G, DaanWestenbrink B, Voors AA, Boomsma F, van Veldhuisen DJ, Hillege HL. Differential associations between renal function and “modifiable” risk factors in patients with chronic heart failure. Clin Res Cardiol 2009; 98: 121-129.
  11. Smilde TD, van Veldhuisen DJ, Navis G, Voors AA, Hillege HL. Draw-backs and prognostic value of formulas estimating renal function in patients with chronic heart failure and systolic dysfunction. Circulation 2006; 114: 1572-1580.
  12. Damman K, Tang WH, Testani JM, McMurray JJ. Terminology and definition of changes renal function in heart failure. Eur Heart J 2014; 35: 3413-3416.
  13. 26. Coll E, Botey A, Alvarez L, Poch E, Quinto L, Saurina A, Vera M, Piera C, Darnell A. Serum cystatin C as a new marker for noninvasive estimation of glomerular filtration rate and as a marker for early renal impairment. Am J Kidney Dis 2000; 36: 29-34.
  14. 28. Tang WH, Dupont M, Hernandez AF, Voors AA, Hsu AP, Felker GM, Butler J, Metra M, Anker SD, Troughton RW, Gottlieb SS, McMurray JJ, Armstrong PW, Massie BM, Califf RM, O’Connor CM, Starling RC. Comparative assessment of short-term adverse events in acute heart failure with cystatinC and other estimates of renal function: results from the ASCEND-HF trial. JACC Heart Fail 2015; 3: 40-49.
  15. Damman K, Masson S, Hillege HL, Maggioni AP, Voors AA, Opasich C, van Veldhuisen DJ, Montagna L,Cosmi F, Tognoni G, Tavazzi L, Latini R. Clinical outcome of renal tubular damage in chronic heart failure. Eur Heart J 2011; 32: 2705-2712.
  16. Mori K, Lee HT, Rapoport D, Drexler IR, Foster K, Yang J, Schmidt-Ott KM, Chen X, Li JY, Weiss S, Mishra J, Cheema FH, Markowitz G, Suganami T, Sawai K, Mukoyama M, Kunis C, D’Agati V, Devarajan P, Barasch J. Endocytic Page 10 of 12 D.J. van Veldhuisen et al.
  17. Mishra J, Dent C, Tarabishi R, Mitsnefes MM, Ma Q, Kelly C, Ruff SM, Zahedi K, Shao M, Bean J, Mori K, Barasch J, Devarajan P. Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) as a biomarker for acute renal injury after cardiac surgery. Lancet 2005; 365: 1231-1238.
  18. Aghel A, Shrestha K, Mullens W, Borowski A, Tang WH. Serum neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) in predicting worsening renal function in acute decompensated heart failure. J Card Fail 2010; 16: 49-54.
  19. Breidthardt T, Socrates T, Drexler B, Noveanu M, Heinisch C, Arenja N, Klima T, Zusli C, Reichlin T, Potocki M, Twerenbold R, Steiger J, Mueller C. Plasma neutrophil gelatinase-associated lipocalin for the prediction of acute kidney injury in acute heart failure. Crit Care 2012; 16: R2.
  20. Maisel AS, Mueller C, Fitzgerald R, Brikhan R, Hiestand BC, Iqbal N, Clopton P, van Veldhuisen DJ. Prognostic utility of plasma neutrophil gelatinase-associated lipocalin in patients with acute heart failure: the NGAL EvaLuation Along with B-type NaTriuretic Peptide in acutely decompensated heart failure (GALLANT) trial. Eur J Heart Fail 2011; 13: 846-851.
  21. Alvelos M, Lourenco P, Dias C, Amorim M, Rema J, Leite AB, Guimaraes JT, Almeida P, Bettencourt P. Prognostic value of neutrophil gelatinase-associated lipocalin in acute heart failure. Int J Cardiol 2013; 165: 51-55.
  22. Mishra J, Mori K, Ma Q, Kelly C, Yang J, Mitsnefes M, Barasch J, Devarajan P. Amelioration of ischemic acute renal injury by neutrophil gelatinase-associated lipocalin. J Am Soc Nephrol 2004; 15: 3073-3082.
  23. Carlsson AC, Larsson A, Helmersson-Karlqvist J, Lind L, Ingelsson E, Larsson TE, Bottai M, Sundstrom J, Arnlov J. Urinary kidney injury molecule-1 and the risk of cardiovascular mortality in elderly men. Clin J Am Soc Nephrol 2014; 9: 1393-1401.
  24. Van Timmeren MM, van den Heuvel MC, Bailly V, Bakker SJ, van Goor H, Stegeman CA. Tubular kidney injury molecule-1 (KIM-1) in human renal disease. J Pathol 2007; 212: 209-217.
  25. Jungbauer CG, Birner C, Jung B, Buchner S, Lubnow M, von Bary C, Endemann D, Banas B, Mack M, Boger CA, Riegger G, Luchner A. Kidney injury molecule-1 and N-acetyl-beta-D-glucosaminidase in chronic heart failure: possible biomarkers of cardiorenal syndrome. Eur J Heart Fail 2011; 13: 1104-1110.
  26. Damman K, Ng Kam Chuen MJ, MacFadyen RJ, Lip GY, Gaze D, Collinson PO, Hillege HL, van OW, Voors AA, Van Veldhuisen DJ. Volume status and diuretic therapy in systolic heart failure and the detection of early abnormalities in renal and tubular function. J Am Coll Cardiol 2011; 57: 2233-2241.
  27. Damman K, Van Veldhuisen DJ, Navis G, Vaidya VS, Smilde TD,Westenbrink BD, Bonventre JV, Voors AA, Hillege HL. Tubular damage in chronic systolic heart failure is associated with reduced survival independent of glomerular filtration rate. Heart 2010; 96: 1297-1302.
  28. Damman K, Masson S, Hillege HL, Voors AA, van Veldhuisen DJ, Rossignol P, Proietti G, Barbuzzi S, Nicolosi GL, Tavazzi L, Maggioni AP, Latini R. Tubular damage and worsening renal function in chronic heart failure. JACC Heart Fail 2013; 1: 417-424.
  29. Kudo K, Konta T, Mashima Y, Ichikawa K, Takasaki S, Ikeda A, Hoshikawa M, Suzuki K, Shibata Y, Watanabe T, Kato T, Kawata S, Kubota I. The association between renal tubular damage and rapid renal deterioration in the Japanese population: the Takahata study. Clin Exp Nephrol 2011; 15: 235-241.
  30. 73. John GT, Fleming JJ, Talaulikar GS, Selvakumar R, Thomas PP, Jacob CK. Measurement of renal function in kidney donors using serum cystatin C and beta(2)-microglobulin. Ann Clin Biochem 2003; 40: 656-658.
  31. Otaki Y, Watanabe T, Takahashi H, Narumi T, Kadowaki S, Honda Y, Arimoto T, Shishido T, Miyamoto T, Konta T, Kubota I. Association of renal tubular damage with cardio-renal anemia syndrome in patients with heart failure. Int J Cardiol 2014; 173: 222-228.
  32. 76. Otaki Y,Watanabe T, Shishido T, Takahashi H, Funayama A, Narumi T, Kadowaki S, Hasegawa H, Honda S, Netsu S, Ishino M, Arimoto T, Miyashita T, Miyamoto T, Konta T, Kubota I. The impact of renal tubular damage, as assessed by urinary beta2-microglobulin-creatinine ratio, on cardiac prognosis in patients with chronic heart failure. Circ Heart Fail 2013; 6: 662-668.
  33. Maatman RG, Van Kuppevelt TH, Veerkamp JH. Two types of fatty acid-binding protein in human kidney. Isolation, characterization and localization. Biochem J 1991; 273 (Pt 3): 759-766.
  34. Hoffmann U, Espeter F, Weiss C, Ahmad-Nejad P, Lang S, Brueckmann M, Akin I, Neumaier M, Borggrefe M, Behnes M. Ischemic biomarker heart-type fatty acid binding protein (hFABP) in acute heart failure-diagnostic and prognostic insights compared to NTproBNP and troponin I. BMC Cardiovasc Disord 2015; 15: 50. doi:10.1186/s12872-015-0026-0.
  35. Shirakabe A, Hata N, Kobayashi N, Okazaki H, Shinada T, Tomita K, Yamamoto M, Tsurumi M, Matsushita M, Yamamoto Y, Yokoyama S, Asai K, Shimizu W. Serum heart-type fatty acid-binding protein level can be used to detect acute kidney injury on admission and predict an adverse outcome in patients with acute heart failure. Circ J 2015; 79: 119-128.
  36. Niizeki T, Takeishi Y, Arimoto T, Nozaki N, Hirono O, Watanabe T, Nitobe J, Miyashita T, Miyamoto T, Koyama Y, Kitahara T, Suzuki S, Sasaki T, Kubota I. Persistently increased serum concentration of heart-type fatty acid-binding protein predicts adverse clinical outcomes in patients with chronic heart failure. Circ J 2008; 72: 109-114.
  37. Zakeri R, Sangaralingham SJ, Sandberg SM, Heublein DM, Scott CG, Burnett JC Jr. Urinary C-type natriuretic peptide: a new heart failure biomarker. JACC Heart Fail 2013; 1: 170-177.

Prof Djanggan Sargowo, SpJP(K)
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,
RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Jantung dalam Perspektif Cardio Neuro Science

TRANSPLANTASI jantung telah dirintis oleh Dr. Christian Barnard dari Afrika Selatan pada 1967. Salah satu pasiennya, Dirk van Zyl yang mendapatkan transplantasi jantung melalui tangan beliau (1971), dapat hidup sampai 23 tahun. Namun kurang lebih 21% pasien yang mendapatkan jantung baru ini ternyata mengalami perubahan personaliti dan emosi paralel dengan riwayat emosi dan personaliti dari donornya.1,2
Kasus lainnnya, pada 1995, Sonny Graham mendapatkan jantung baru dari Terry Cottle. Pendonor berusia 33 tahun itu meninggal bunuh diri dengan menembak kepalanya dengan pistol (atheist, committedsuicide). Setahun kemudian Sonny Graham ingin berterimakasih kepada Cheryl Cottle, janda dari TerryCottle. Tak dinyana, saat bersua dengan Cheryl, Sonny langsung jatuh cinta. Gayung bersambut akhirnya mereka menikah. namun perkawinan itu tak berlangsung lama dan tragis: Sonny Graham menembak kepalanya dengan pistol, persis seperti yang dilakukan Terry Cottle.3
Antrian untuk mendapatkan donor tidak mudah, sementara penyakit jantung pasien makin memburuk untuk segera mendapatkan donor transplantasi. Maka dikembangkanlah jantung buatan dari bahan titanium yang diberi nama JARVIK. 
Salah satu pasien yang menerima JARVIK adalah Peter Houghton pada tahun 2000 dan berfungsi dengan baik. Namun dia melaporkan perubahan personalitinya. "Saya menjadi kurang simpati dan empati, seperti cold hearted, tidak bisa lagi merasa dekat dengan orang-orang yang selama ini dekat dengan saya. Aneh.... saya merasa tidak punya rasa cinta, tidak juga benci. Emosi saya berubah, tidak tahu kenapa. Saya ini part man, part machine… seperti cyborg," katanya saat diwawancarai wartawan. Akhirnya Houghton meninggal, setelah 7 tahun lamanya ditemani dengan jantung buatan ini.4

***

Marilah kita kembali pada pokok bahasan kita, berkenaan dengan jantung atau QALBU. Perhatikan Al Quran surat Al-Araf  (7: 179) ketika Allah berfirman "Aku jadikan neraka jahanam dari kebanyakan jin dan manusia, mereka punya QALBU tapi tidak memahami, punya mata tapi tidak melihat, punya telinga tapi tidak mendengar. Itulah mereka hewan bahkan lebih sesat lagi, itulah mereka yang lalai." Arti QALBU dari "Al Qalb" yang artinya "jantung". Bukankah hadits Buchari No.50, mengatakan "Dalam tubuh ada sekepal daging, bila dia baik, baiklah seluruh tubuh dan apabila dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itulah Qalb (jantung)". Bahwa Al-Qalb ini berada di dalam rongga dada (Quran Al Hajj (22): 46), dan hadits Arbain Nawawi No.35- riwayat Muslim, Rasulullah mengatakan bahwa taqwa itu berada di dada kirinya sambil menunjuknya sampai 3 kali.
Terjadinya perubahan kepribadian dan emosi resipien jantung tersebut dapatlah disimpulkan bahwa di dalam jantung tersebut pastilah ada sistim sel yang menyimpan memori karakter, sifat, kebiasaan, preferensi, keimanan, rasa cinta, rasa benci, emosi, dari pendonornya. Al Quran mengatakan bahwa "QALBU itu dapat memahami". Tentu saja memahami adalah suatu output dari proses berpikir analisa yang panjang mendalam dengan menggunakan tolok ukur tertentu, memiliki rambu-rambu moral dan keberpihakan kepada umat, keadilan, kejujuran (cognition, higher thinking). 
Marilah kita cermati karakteristik dari QALBU lebih mendalam, berikut ini. Jibril menanamkan Al Quran ke dalam QALBU (Al-Baqarah, 2: 97), QALBU itu tempat ketaqwaan (Al-Hajj, 22: 32), tempat keimanan (Al-Maidah 5: 41), tempat kejujuran (Ali Imran 3: 167), tempat kebaikan (Al-Anfaal 8: 70), tempat ketentraman/mutmainah (Al-Anfaal 8:10, Ar-Rad 13: 28, An-Nahl 16: 106), rasa takut kepada Allah (Al-Anfaal 8: 2), Allah membersihkan QALBU (Ali Imran 3: 154), QALBU orang beriman dipersatukan oleh Allah (Al-Anfaal 8: 63), QALBU juga alat berfikir (Al-Hajj 22: 46). Selain itu, QALBU alat untuk cognition: berfikir/menganalisa/memahami (Al-Araaf (7): 179). Sebaliknya melalui bisikan setan di dalam shudur (rongga dada), QALBU bisa diintervensi (An-Naas 114: 4-6), QALBU bisa sesat (Ali Imran 3: 8), bisa keras seperti batu (Al-Baqarah (2: 74), ada penyakit (Al-Maidah 5: 52), QALBU kafir ditimbulkan rasa ketakutan amat sangat (Ali Imran 3: 151), QALBU dalam keadaan lalai (Al-Anbiyya 21: 3). 
Jadi, dalam membangun keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, peran QALBU alias jantung sangatlah sentral sekali. Dua hal yang bisa dipelajari di sini. Yang pertama adalah, jantung sebagai organ tubuh yang berperan dalam memompa darah ke seluruh tubuh untuk mendistribusikan oksigen dan nutrien agar semua organ tubuh dapat melakukan fungsinya dengan baik.
Yang kedua jantung sebagai organ yang menyimpan nilai-nilai "kode Allah", bilamana dia sakit maka kita melihat akibatnya distorsi perilaku yang sangat dimurkai Allah, zalim, korupsi, vested, pembohong-tidak jujur, munafik, tidak adil, dsb. Semakin jelaslah kini hatta ya tabayyana lahum annahul haqq, …sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar…. (Fushshilat (41: 53) dan hadits bila QALBU (jantung) itu baik secara organis maupun secara fungsinya maka seluruh tubuh akan baik sehat, sebaliknya bila QALBU itu tidak baik maka seluruh tubuh akan tidak baik, perilaku yang jauh dari nilai-nilai Allah. 
Penelitian Armour dari Montreal Canada pada 1991, sungguh mengejutkan dengan ditemukannya sel-sel saraf  (neuron) di dalam jantung.5,6 Keberadaan ini juga didukung oleh peneliti dari Lithuania, Neringa Pauziene dkk pada 2000, dengan jelas terlihat keberadaan sel-sel saraf di dalam jantung melalui mata mikroskop elektron.7
Lebih jauh Armour mengatakan dengan ditemukannya tidak kurang dari 40.000 sel neuron tersebut dan adanya sel saraf sensorik aferen yang memberikan informasi ke otak melalui aferen saraf simpatis menuju saraf sumsum tulang belakang dan yang melalui aferen saraf parasimpatis nervus vagus menuju batang otak, yang semua informasinya diteruskan ke otak.
Bahkan Armour juga mengatakan bahwa sistem ini adalah suatu "otak tersendiri" yang independen terhadap otak (dalam kepala). Dia bisa melakukan fungsi merasakan dan rasa, dapat belajar (learning), mengingat (recall memory), berfikir, cognition, dst. Sebab itulah Armour menyebutnya  "little brain in the heart". Sel-sel saraf (neuron) di dalam otot jantung ini memproduksi neuropeptide, suatu hormon namanya calmodulin yang mampu menyimpan proses learning dan memory, yang kemudian beredar melalui aliran darah dan informasinya ditangkap oleh otak (cranial brain). Calmodulin ini banyak ditemui di hyppocampus, cortex pre frontal.8,9 Sebab itulah mengapa ketika jantung dari donor yang atheist tadi akan memindahkan sifat atheist tersebut kepada resipien, seperti contoh di atas. Graham akhirnya mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dengan menembakkan pistol ke dalam mulutnya.

***

Itulah mengapa para saintis barat menemukan kebenaran Al Quran dan kemudian menyatakan ke-Islam-annya dengan mengucap dua kalimat shahadat. Seyogianya ilmuwan intelektual muslim menjadikan Al Quran untuk membangun hipotesis, dengan demikian direction dari penelitian menjadi terarah konvergen tidak divergen atau bizare ketika hanya mengandalkan akal semata seperti penelitian-penelitian di Barat (Al Maghribi). Seperti contohnya penelitian Neuro Science dalam bidang meditasi/kontemplasi yang akan dibahas berikut ini. Karena pendekatannya empirik deduktif, ketika hasil-hasil yang didapat sulit bagi mereka melihat benang merahnya dan akhirnya salah dalam mengambil kesimpulannya.
Neuro science adalah bidang ilmu yang mempelajari ilmu tentang otak manusia, dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia, hubungan horisontal maupun vertikal sebagai refleksi mahluk ciptaan Tuhan. Andrew Newberg dari Pennsylvania, USA pada 2001, meneliti 8 monk Tibetan Budhist (rahib) dalam meditasi yang intens (oneness to universe) menunjukkan peningkatan aktifitas otak dengan meningkatnya aliran darah ke cortex pre frontal dorso lateral kanan, yang direkam dengan SPECT Brain HMPAO perfusion scan.10
Kemudian Newberg meneliti kembali pada 3 Franciscan Nuns (biarawati) pada 2003. Aktivitas prayer mereka yang ditujukan pada one god phrase yang ada di Injil (bukan rosary prayer yang notabene trinity base), menunjukkan hasil yang konsisten, terlihat peningkatan aliran darah ke cortex pre frontal dorsolateral kanan juga.11 
Hasil riset lainnya, Nina Azari dari Dusseldorf Germany pada 2001, meneliti 6 guru agama yang religius dari Evangelical Fundamentalist Community dan 6 mahasiswa sebagai kontrol dari University of  Dusseldorf. Grup religius berdoa dengan membaca Mazmur 23 ayat-1 (Psalm 23 verse-1), artinya Lord is my sheperd atau Tuhan adalah gembalaku berulang-ulang. Kelompok guru agama kemudian disuntikkan 15 Oxygen untuk melihat rCBF di bawah kamera PET (positron emission tomography). Sedangkan grup kontrol menyanyikan lagu yang gembira. Grup kontrol terlihat peningkatan aktifitas otak cortex pre frontal dorso lateral kiri sedangkan grup religius terlihat peningkatan aktifitas otak cortex pre frontal dorso lateral kanan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian Azari ini adalah bahwa pengalaman religius ini merupakan fenomena kognitif.12
Herrington tahun 2005 membuktikan bahwa kata-kata yang indah menyenangkan akan mengaktifkan cortex pre frontal dorso lateral kiri saja.13 Sedangkan cortex pre frontal dor so lateral kanan bila didisrupsi dengan stimulus magnet akan menjadi tidak berfungsi, dan keputusan yang diambil pada saat itu akan distorsi melanggar nilai-nilai moral. Artinya cortex pre frontal dorso lateral kanan tersebut tempat aktifitas kognitif berbasis moral.14
Pada pasien dengan gagal jantung atau kerusakan miokard (otot jantung) seperti yang dilaporkan Ingrid Kinderman tahun 2012, pada kardiomiopati atau yang spesifik seperti chagas disease, kerusakan miokard tersebut menyebabkan gangguan kognitif.15



Hasil pencitraan aktivitas otak pada Muslim, Katolik dan Budhist (Manoefris Kasim, 2013)

Manoefris Kasim pada 2013 meneliti 15 subjek sehat, right handed, terdiri dari 8 Muslim, 3 Katolik, 2 Protestan, 1 Budhist dan 1 Hindu Bali. Perekaman dilakukan dengan tehnik fMRI (functional MRI dengan bold sequence) dan data diproses dengan software perfusion. Pemeriksaan terdiri dari 4 sesi, yaitu baseline, meditasi, hearing/listening lagu rohani setiap sesi lamanya 4 menit. Untuk Muslim terdiri dari dzikir, shalat dan mendengar resitasi Al Quran. Untuk Katolik dan Protestan berdoa dengan basis rosary/trinitas, (Bapak, Putra dan roh Kudus), membaca Mazmur 23 ayat 1, kemudian mendengar lagu gospel. Untuk Buddhist memusatkan atensi kepada satu titik oneness ke universe alam semesta, kemudian hearing lagu rohani Budhist. Terakhir, untuk Hindu Bali resitasi fokus kepada Hyang Widhi, kemudian mendengarkan lagu rohani Hindu Bali.
Hasilnya menunjukkan peningkatan aktifitas otak cortex pre frontal dorso lateral kanan pada muslim ketika zikir, shalat dan mendengar resitasi Al Quran. Sebaliknya tidak terlihat aktifitas sama sekali di cortex pre frontal dorso lateral kanan dan kiri pada Katolik atau Protestan ketika berdoa rosary/trinity base. Namun jika berdoa dengan Mazmur 23 ayat 1 terlihat peningkatan aktifitas di cortex pre frontal dorso lateral kanan. Saat mendengar lagi gospel terlihat peningkatan aktifitas otak cortex pre frontal dorso lateral yang kiri saja, sedangkan kanannya tidak. 
Nah bagaimana dengan yang Buddhist? Terlihat peningkatan aktifitas otak cortex pre frontal dorso lateral yang sebelah kanan juga ketika meditasi ditujukan kepada to oneness of God dan hal serupa ketika hearing sacred Buddhist song yang diaktifkan juga cortex pre frontal dorso lateral Kanan. Sedangkan pada subjek Hindu Bali, meditasi yang ditujukan pada Sang Hyang Widhi, mengaktifkan otak cortex pre frontal dorso lateral kiri dan ketika subjek mendengarkan lagu rohani Hindu Bali yang diaktifasi juga otak cortex pre frontal dorso lateral Kiri.16

***

Tak pelak lagi, QALBU atau jantung sangat sentral dalam keimanan dan ketaqwaan bagi seorang muslim. Jadi QALBU bukan otak atau pun hati/liver atau sesuatu yang abstrak. QALBU adalah organ jantung dan jantung adalah QALBU. Meditasi, sembahyang atau kontemplasi bila ditujukan pada one God (monotheism), maka aktifitas otak kanannya akan menjadi aktif, untuk terciptanya bilateral communication with almighty ALLAH. Aliran darah akan banyak mengalir ke otak kanan tersebut. Sehingga fungsi kognitif otak menjadi baik dan sehat, baik secara fisik maupun rohani.
Akhirnya the ultimate goals-nya  spiritualitas berbasis tauhid, dapat dibuktikan dengan sains, artinya kita telah membuktikan masalah  “Keimanan Tauhid dan ketaqwaan" (Al-Baqarah (2): 177). Dan tinggal bagaimana kita mengisi dan memelihara QALBU tersebut dengan amal ibadah kita dalam berbagai aspek kehidupan di alam dunia ini untuk mencapai kehidupan yang abadi kelak. Amin.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Paul Pearsall, Garry ER Schwartz, Linda GS Russek. Changes in heart transplant recipients that parallel the personalities of their donors. Integrative Medicine. 1999; 2: 65-72.
  2. Bunzel B, Schimidl-Mohl B, Grundblock A, et al. Does changing the heart mean changing personality? A retros pec tive inquiry on 47 heart tranplant patients. Qual Life Res.1992; 4: 251-6.
  3. Paul Thompson. Man given heart of suicide victim marries donor’s widow and then kills himself in exactly the same way. Mail Online. 2008; April 7.
  4. Joel Garreau. His Heart Whirs Anew. The Washington Post. 2007; August 11.
  5. Armour JA . Anatomy and function of the intrathoracic neurons regulating the mammalian heart. In Reflex Control of the circulation, ed. Zucker IH & Gilmore JP. 1991; pp. 1-37. CRC Press, Boca Raton, FL, USA.
  6. Armour JA, Kember. Cardiac sensory neurons. In Basic and Clinical Neurocardiology, ed. Armour JA & Ardell JL. 2004; pp.79117. Oxford University Press, New York.
  7. Neringa Pauziene, Dainius H.Pauza, Rimvydas Stropus. Morphology of human intracardiac nerves: an electron microscope study. J. Anat. 2000; 197: 437-459.
  8. Paul T Kelly. Calmodulin Dependent Protein Kinase II. Molecular Neurobiology. 1991; 5: 153-177.
  9. Science of the heart: Exploring the Role of the Heart in Human Performance. Heartmath Research Center. Publication No. 01-001. Boulder Creek, CA, 2001
  10. Newberg A, Alavi A,  Baime M, Pourdehnad M, Santanna J & d’Aquili E. The measurement of regional cerebral blood flow during the complex cognitive task of meditation: A preliminary SPECT study. Psychiatry Research, 2001; 106: 113-122.
  11. Newberg  A.  Pourdehnad  M,  Alavi  A & d’Aquili E G. Cerebral blood flow during meditative prayer: Preliminary findings and methodological issues. Perceptual and Motor Skills. 2003; 97: 625-630.
  12. Azari N P, Nickel J, Wunderlich G. Nie deg gen M, Hefter H, Tellmann L, et al. Neural correlates of re li gious ex pe rien ce. European Journal of Neuroscience. 2001; 13:  1649-1652.
  13. Herrington JD, Mohanty A, Koven NS, et al.Emotion Modulated Performance and Activity in Left Dorsolateral Prefrontal Cortex. Emotion. 2005; 5: 200-207.
  14. Sébastien Tassy, Olivier Oullier, Yann Duclos, et al. Disrupting the right prefrontal cortex alters moral judgement.  SCAN. 2012; 7: 282-288.
  15. Ingrid Kindermann, Denise Fisher, Julia Karbach, et al. Cognitive function in patient with decompensated heart failure: the cognitive impairment in heart failure (cogimpair-HF) study. European J of HF. 2012; 14: 404-413.
  16. Manoefris Kasim, Taufiq Pasiak, Quraish Shihab. Spirituality Tauhid Base Prayer will activate Right Dorso Lateral Pre Frontal Cortex. Unpublished Data. 2013. 


dr. Manoefris Kasim, SpJP(K)
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta
PERKI kampanyekan gerakan MeNaRi 

Para Pengurus Pusat PERKI dan Gubernur DKI Anis Baswedan serta Wakil Gubernur Sandiaga Uno mendukung gerakan MeNaRi.

ADA yang istimewa pada Ahad pagi, Oktober silam di pelataran Gedung BRI II, Jakarta. Sejumlah tokoh masyarakat berkumpul di sana. Mulai dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, hingga sejumlah tokoh dan ahli kardiolog Indonesia seperti Ketua PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Dr dr Ismoyo Sunu,SpJP(K), pakar jantung dari RSJPD Harapan Kita, Prof Dr dr Yoga Yuniadi, SpJP, Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan RI, drg Saraswati, MPH dan Ketua Pelaksana acara dr Ade Meidian Ambari. 
Di sana, mereka sepakat akan MeNaRi bersama. Bukan dalam arti berjoget, tetapi melakukan “Meraba Nadi sendiRi” yang disingkat menjadi “MeNaRi”. Itulah salah satu acara perhelatan Atrial Fibrillation Campaign dalam rangka memperingati Hari Jantung Sedunia,“World Heart Day” yang biasa diperingati pada bulan September. Tahun 2017 ini tema yang diusung pada peringatan itu adalah “Kenali FA dengan Menari”.
Selain itu, berbagai program acara dilaksanakan dalam perhelatan tersebut. Mulai dari sepeda santai, senam kesehatan jantung, kursus singkat BHD hingga pemeriksaan tensi darah dan lainnya. Salah satu yang agak serius adalah talkshow yang menampilkan pembicara dr Siska S Danny dan Prof Yoga Yuniadi dengan moderator dr Agung.  
Dalam acara itu, Prof Yoga membagikan rahasia panjang umur kepada peserta yang hadir. Apakah rahasia itu? "Jika dalam kondisi santai denyut jantungnya lebih dari 70 per menit umurnya lebih pendek dibanding mereka yang denyutnya kurang dari 70", bisik Prof Yoga. Untuk itulah, masyarakat Indonesia harus pintar-pintar menjaga jantung masing-masing.
Salah satu caranya, yakni dengan melaksanakan MeNaRi tadi dengan meraba atau menghitung denyut nadi sendiri. Caranya, tutur Prof Yoga, dengan menempelkan 3 jari tangan kanan (telunjuk, jari tengah dan jari manis) di tangan kiri pada kawasan nadi di daerah yang lurus dengan jempol tangan kiri. “Jika sudah terasa ada denyutan di 3 jari kanan kita, coba kita hitung. Jika denyutannya teratur 7-8 kali dalam 10 detik itu bagus. Itu saat tubuh kita dalam kondisi istirahat,” ungkap Prof Yoga.
Pemeriksaan MeNaRi ini cukup penting dilakukan untuk mengenali regularitas irama jantung bagi masyarakat awam. Ketika irama atau denyutnya tidak teratur atau irregular maka boleh jadi penyakit fibrilasi atrium (FA) telah menyerang. “Kalau ada 10 orang yang kena FA, maka 4 orang diantaranya pertama kali ketahuan FA sudah diserang stroke dan lumpuh sebelah,” kata Prof Yoga.*



29th WECOC 2017
Gaya foto bersama para kardiolog saat “Homecoming Day” Afternoon Gathering pada WECOC 29, Oktober 2017.

MASIH pada bulan yang sama, PERKI juga menyelenggarakan Weekend Course on Cardiology (WECOC). Ini adalah acara ilmiah rutin yang diadakan Yayasan Kardiovaskular Indonesia tiap tahun, sejak dicetuskan pada 1988. Gagasan awal dicetuskan oleh Prof dr Lily I Rilantono, SpJP(K) dan dr J. Irawan Sugeng, SpJP(K). WECOC pertama digelar untuk pertama kalinya di Hotel Horison Ancol yang sekarang bernama Hotel Mercure.
Kini WECOC telah berlangsung untuk yang ke-29 kali di Sheraton Grand Jakarta, jalan Sultan Iskandar Muda, Kebayoran Lama, Jakarta pada 5-7 Oktober lalu. Tema yang dipilih adalah “Contemporary Heart Failure Management: From Dream to Reality”. Ketika itu, Ketua Departemen Kardiologi Vaskular FKUI dr. Amiliana M. Soesanto membuka acara dengan pemukulan gong didampingi Ketua Yayasan Kardiovaskular Indonesia, Dr dr Ismoyo Sunu dan Ketua Panitia WECOC 29, dr Daniel Tobing. 
Pada acara ini dihadirkan para pembicara dari dalam dan luar negeri seperti: dr Jou Kou Wang (Taiwan), Prof Dr P.A.F.M. Pieter Doevendans, PhD (Belanda) dan Dr Yolande Appelman (Belanda). Sejumlah topik ilmiah digelar pada acada workshop antara lain: Heart Failure, Exercise Stress Test Made Easy, Electrocardiography, Hypertension, Pediatric Cardiology & Congenital Heart Disease, Vascular Disease, Acute Coronary Syndrome.
Kali ini, setidaknya ada 849 orang yang hadir dan ada 125 abstrak yang masuk ke panitia dari seluruh Indonesia. Dari jumlah abstrak itu, panitia memilih dan menyaring 10 yang terbaik diantaranya. Selanjutnya dari 10 finalis dewan juri memilih tiga orang pemenang. Yakni 1. Isabela Andika Pratama, 2. Gadih Ranti E dan 3. Felix Chikita Fredy.*
Pesan Prof. BJ Habibie pada 9th ISICAM-InaLIVE dan JCS 2017


BJ Habibie berfoto bersama dengan Dr. dr. Doni Firman, Prof. Asikin Hanafiah,
Prof. Lily I Rilantono, dr. A. Sunarya Soerianata, Dr. dr. Ismoyo Sunu dan dr. A. Fauzi sesaat setelah membuka 9th ISICAM-InaLIVE dan JCS 2017.

SELAIN dua acara di atas, acara penting lainnya adalah perhelatan yang diadakan Perhimpunan Intervensi Kardiologi Indonesia (PIKI) yang merupakan Kelompok Kerja PP PERKI, yakni pertemuan ilmiah tahunan Isicam-InaLIVE yang ke-9. Acara ini dilaksanakan pada 13-15 Oktober 2017 bersamaan dengan pertemuan ilmiah Jakarta Cardiovascular Summit 2017 dengan tema “Integrative Cardiovascular Intervention”.
Tujuan pertemuan ini, tentu saja sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas pelayanan intervensi saat serangan jantung terjadi. Perlu juga diketahui, PIKI telah mengembangkan jejaring pelayanan serangan jantung yang disebut ISTEMI (Indonesia ST Elevation Myocardial Infartion). 
Nah, yang istimewa kali ini PERKI beruntung mendapatkan kunjungan dari Presiden RI ke-3, Prof BJ Habibie. Beliau langsung diminta untuk membuka acara ilmiah tersebut serta memberikan pidato singkat. Dalam sambutannya Habibie berkisah pada umur 21 tahun, dia pernah divonis dokter menderita endokarditis. Padahal ketika itu Habibie tengah berjuang menyelesaikan studinya di Jerman pada 1957. 
“Jantung saya bengkak dan tidak bisa memompa sesuai harapan. Otot jantung membesar dan menekan paru-paru sehingga batuk berdarah,” kata Habibie. Dengan kemampuan teknologi kedokteran saat itu, syukurlah, jantung Habibie dapat diselamatkan. Maka, ia memberi semangat kepada para ahli jantung Indonesia agar dapat memanfaatkan ilmu dan teknologi yang ada secara maksimal.
Habibie yang kini sudah berusia 82 tahun menegaskan agar anak-cucu Indonesia kelak harus lebih baik dibanding pendahulunya. “Eyang selalu berdoa agar anak cucu eyang lebih baik dari eyang. Eyang out… but cucu dan anaknya coming inside. You must be the best than your eyang,” tuturnya disambut tepuk tangan riuh.* 

Prof. I Wayan Wita SpJP, Profesor Kardiologi yang Multi Talenta

Profesor kardiologi yang serius menekuni hobi melukis dan fotografi. Melukis bersama anak dan cucu.

Prof. I Wayan Wita di depan salah satu karyanya.

JUDUL lukisan itu cukup seram: rangda jantung. Wajah sang rangda muncul memenuhi bilik jantung yang juga dilukiskan dengan gaya surealis. “Itu dilukis di Jakarta pada 1980. Kemudian dipajang di salah satu ruangan RS Jantung Harapan Kita, Jakarta,” tutur sang pelukis, Prof.Dr.dr. I Wayan Wita, SpJP kepada Inaheartnews.
Prof. Wita, demikian pria kelahiran Desa Sibanggede, Badung, Bali ini disapa, pernah memfoto lukisan tersebut saat menghadiri rapat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) di Jakarta. “Lukisan itu berusaha menggambarkan bahaya penyakit jantung,” katanya. Hasilnya kemudian diterbitkan dalam bukunya Jepret Sana Jepret Sini: Kesempatan Memotret dalam Kesempitan (2013) bersama koleksi foto dan lukisannya yang lain.
Sosok Prof. Wita, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, memang tak asing. Tidak hanya di kalangan masyarakat Bali, tetapi juga tingkat nasional, khususnya di bidang pendidikan dan kedokteran kardiologi. Bahkan lebih dari itu, Prof. Wita juga banyak berkiprah di bidang seni lukis, fotografi, organisasi massa bahkan politik.
Namun dari sekian banyak aktivitas mantan rektor Universitas Udayana (2001-2005) ini, yang paling unik tentu hobi melukis dan fotografi yang digelutinya. “Dari kecil saya sebenarnya sudah suka menggambar. Saya dulu cita-citanya jadi arsitek,” katanya.
Tapi pada 1970-an, belum ada perguruan tinggi di Bali yang membuka fakultas arsitektur, jadi harus ke Jakarta atau Yogyakarta.
Sebagai anak bungsu dari keluarga petani sederhana, Prof. Wita juga harus mempertimbangkan biaya yang harus ditanggung orang tua. Apalagi kakak-kakaknya sudah kuliah di Bogor dan Yogyakarta dengan bantuan beasiswa. “Saya pokoknya apa yang ada di Denpasar sajalah. Yang ada pada waktu itu hanya fakultas kedokteran. Jadi saya masuk ke sana sesuai keinginan orang tua juga,” katanya. 
Namun, hobi menggambar tak ditinggalkannya bahkan berkembang pesat. Berbagai media lukis sudah pernah dicoba, baik di dalam maupun di luar ruangan. “Dulu sering melukis outdoor, ukuran lukisannya bisa semester sampai dua meter. Kalau melukis di luar itu harus tahan banting. Banyak orang yang menonton kemudian apa-apa dikomentari. Jadi telinganya harus pakai headset biar ndak denger ini itu,” kata Prof. Wita tertawa. Kini Prof. Wita lebih banyak melukis di rumah. “Saya melukis dengan 5 cucu, masing-masing melukis sesuai keinginan dirinya sendiri!” katanya bersemangat. 

Lukisan Rangda Jantung

Walaupun belum pernah pameran tunggal, lukisan Prof. Wita bertebaran di sana sini, khususnya di lokasi dimana dia beraktivitas. Contohnya, seperti lukisan randa jantung tadi. “Di rumah Sakit Sanglah ada dipajang 8 lukisan. Ada juga yang di ruang rektorat Universitas Udayana. Saya lukis tentang Tari Kebesaran Udayana, tarian kehormatan saat acara penting seperti wisuda dan sebagainya. Kebetulan koreografernya adalah istri saya,” kata Prof. Wita.
Pria kelahiran tanggal 7 Desember 1948 ini tersenyum saja ketika ditanya apakah gaya lukisannya mengikuti aliran tertentu. “Alirannya semau-maunya saja. Ya mula-mula naturalis, kemudian colek-colek. Ya… semaunya. Sekarang tidak naturalis, abstrak saja,” katanya.
Prof. Wita juga tidak punya target tertentu untuk melukis. “Jika lukisannya besar-besar bisa sampai sekitar 2 hari baru selesai. Ya… ini kan hobi. Saya juga harus praktek dan periksa pasien,” katanya. Karena jadwal yang padat, selain melukis, Prof. Wita juga menekuni hobi fotografi. “Melukis paling cuma seminggu sekali, yang utamanya sekarang sebenarnya fotografi,” katanya. Pernah mengikuti dan menjadi juara dalam beberapa kejuaraan fotografi di Bali. “Tapi tahun ini ndak boleh ikut lagi. Jadi saya diminta jadi juri saja,” katanya. 
Kalau lagi asyik melukis atau berburu objek foto, tiba-tiba ada pasien gawat bagaimana Prof? “Ya… kita hentikan kegiatannya. Cuma kalau lagi melukis terus ada pasien tangan saya masih berlepotan cat minyak. Jadi harus benar-benar bersih,” kata Prof. Wita. 
Walau bagaimanapun, tentu saja kepentingan pasien harus didahulukan. Prof. Wita memiliki kenangan tersendiri terkait pasien dan hobinya ini. “Pelukis yang saya kagumi dari pasien saya sendiri, namanya Gunarsa,” katanya. Ketika itu, ia baru saja mulai menekuni hobi melukis. Dia kasih tahu cat dan teknisnya melukis, begini begitu. Saya belum sempat beli catnya beliau sudah meninggal,” katanya lagi.

[Tim InaHeartnews]

KARDIOLOGI KUANTUM ke-40: Neurosis Kardiak dengan Pendekatan Kardiologi Kuantum

“Para Nabi adalah manusia super, karena dapat membangkitkan beberapa sifat dari jiwa manusia dan meninggikan derajat kejiwaannya. Mereka mampu mengubah watak manusia menjadi beradab. Inspirasi, tutur kata dan perilaku para Nabi masih diikuti oleh umatnya ribuan tahun kemudian, sampai hari ini.” 
(Candra Jiwa Indonesia; 2016 Magnum Opus, hal. 17)

SALAM KARDIO. Suatu pengalaman menarik tentang re-edukasi keyakinan religi datang dari seorang pasien yang berkunjung ke poliklinik Paviliun Sukaman 14 November 2017, sekitar pukul 06.00 sore. Rasanya baru sekali itu mendapat kiriman pasien dari seorang profesor ahli jantung dengan diagnosis cardiac neurosis. Pasien yang berprofesi sebagai ibu guru piano ini mengaku “selalu merasa sakit jantung”.
Keluhannya sakit dada, lemas, lekas lelah sehingga beliau memakai kursi roda. Pasien tinggal di Palu. Selama ini mengaku sudah berobat ke beberapa dokter dan kardiolog rupanya mereka belum atau tidak menemukan penyakitnya. Belakangan, professor mengatakan sang pasien bercerita merasa ada yang “mengirim” penyakitnya. Intinya dia merasa ada gangguan makhluk halus yang jahat.
Cardiac neurosis (Da Costa’s syndrome) adalah prototipe penyakit berkeluhan jantung tetapi kardiolog tidak dapat menemukan penyakit jantungnya. Tentu saja, tidak mungkin menyerahkan pasien model begini ke ahli jiwa (psikolog, psikiater) apalagi sang pasien merasa sakit jantung dan bukan sakit jiwa! Selain itu rasanya banyak juga kardiolog yang belum pernah menulis diagnosis cardiac neurosis apalagi sindroma da Costa.
Padahal WHO sudah menyiapkan kodenya pada ICD sejak awal abad ke XX. Pertengahan abad XX sindroma Da Costa berubah menjadi neurosis jantung. Pada awalnya diklasifikasikan sebagai “F45.3” (dibawah kode somatoform disorder dari sistim kardiovaskuler) pada ICD-10, dan sekarang diklasifikasikan pada "somatoform autonomic dysfunction" (suatu tipe dari kelainan psikosomatik).
Setelah mendengarkan dengan seksama keluhan pasien, saya teruskan dengan pemeriksaan sekitar faktor risiko jantungnya seperti merokok, darah tinggi, kadar kolesterol dan kadar gula darahnya untuk mendeteksi penyakit dislipidemi dan kencing manis. Diteruskan dengan riwayat keluarga apakah ada yang serangan jantung, meninggal mendadak, atau serangan stroke pada usia muda yaitu pria < 55 tahun dan wanita < 65 tahun. Kesimpulannya, semua tidak ada.
Dari catatan psikolog sebelumnya yang memeriksa pasien ini, ternyata dia memiliki riwayat KDRT alias kekerasan dalam rumah tangga. KDRT sering dijelaskan sebagai tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis dan keharmonisan hubungan sesuai yang termaktub dalam pasal 1 UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Pasien ini menurut pemeriksaan psikolog dalam keadaan depresi sedang dan memiliki kepribadian tipe A. Setelah mengetahui bahwa pemeriksaan fisik, elektrokardiogram dan riwayat pemeriksaan ekokardiografinya normal, saya yakin bahwa diagnosisnya adalah neurosis kardiak.
Saya tawarkan ke psikiater beliau menolak karena merasa masih sehat jiwanya. Akhirnya saya suruh menarik nafas panjang seraya menyebut nama Yesus setelah saya ketahui kolom agamanya menunjukkan singkatan KP atau Kristen Protestan. Menyebut nama Ye-sus: ‘Ye-‘ ketika menarik nafas dan ‘-sus’ ketika mengeluarkan nafas panjang. Saya suruh berulang-ulang, kapan saja melakukannya dan ketika menyebut nama-Nya di dalam hati, dibatinkan saja.
Biasanya saya tambahkan keterangan agar cipta dan nalar yang merupakan dua bagian utama angan-angan yang bekerja di otak diheningkan. Ketika mengheningkan cipta-nalar (thought­analysis) ini, pangerti (comprehension) bagian ke-3 dari angan-angan, menurut Candra Jiwa Indonesia (Soenarto) justru bekerja di jantung. Introspeksi, introversi satu atau dua kata yang sesuai dengan agama/kepercayaannya tersebut melalui pangerti ini dimaksudkan untuk menggeser titik berat (episentrum) kesadaran ke pusat imateri di dalam diri manusia itu sendiri dimana eksistensi dan aspek Ketuhanan berada. Pangerti (bhs. Jawa Kamayan) memiliki kemampuan deduksi, supervisi, dan bersifat superior.
Jelas Candra Jiwa Indonesia sepakat dengan konsep adanya semacam ‘otak mini’ di dalam jantung. Laporan penelitian menunjukkan ada sekitar 40.000 sel syaraf yang berada di jantung. Seorang professor aritmia mengiakannya karena di dalam pekerjaannya dalam bidang elektrofisiologi sehari-hari merasakan adanya sekelompok sel dalam jalur induksi tertentu memiliki sifat sel-sel syaraf, yang berbeda dari sifat-sifat sel-sel jantung pada umumnya. Re-edukasi keyakinannya tersebut saya lakukan sesuai dengan pengetahuan sederhana yang telah saya miliki sebelumnya.
Saya yakinkan kepada pasien, kalau anda sudah memiliki Sang Kristus, berarti sudah memiliki segala-galanya. Hatipun harus selau gembira, karena gembira adalah obat yang mujarab. Saya sampaikan juga suatu kredo: “Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup, tiada akan sampai kepada Allah Bapa tanpa melalui Sang Kristus.” Saya teruskan. “Apakah engkau lupa bait Allah ada di dalam dirimu?”
Tiba-tiba air muka ibu guru tersebut menjadi cerah, memerah. Tidak terduga pasien tersebut bertanya balik kepada saya. Insting manusia memang selalu sehat walaupun sedang sakit, teorinya Prof. Soemantri Hardjoprakoso memang begitu. “Dokter agamanya apa?” Kali ini saya yang kaget, tapi saya jawab tidak langsung dan lebih bersifat universal: “Bukan agamamu (seperti yang tertulis di KTP) yang menyelamatkanmu, tetapi imanmu kepada Dia-lah yang menyelamatkannya.”
Rupanya, jawaban ini sudah dianggap pas dan memuaskan oleh pasien, bahkan minta ijin foto selfie dengan saya dan didampingi perawat pria yang kebetulan beragama Katolik… klik, klik… gambar diambil dengan handphone adik iparnya.
Sambil berdiri pasien bertanya apakah saya akan memberikan obat? Saya jawab sama sekali tidak. Memang para dokter juga tidak ada yang memberi obat. Lho sekarang kok bisa jalan? Sekalian saya larang untuk menggunakan kursi rodanya. Pelan-pelan pasien berjalan keluar ruang praktek. Saya sampaikan agar berterima kasih ke pada-Nya saja, Dia-lah yang menyembuhkannya bukan saya. Bahkan, saya juga tidak menulis resep apapun.

HUBUNGAN ANTARA PUSAT EMOSI DENGAN BENTUK WAJAH, PERSYARAFAN, SERTA JANTUNG
Manivestasi Kepribadian Psikosomatik. Emosi menyebabkan perubahan frekuensi dan irama denyut jantung, sesuai dengan penampilannya. Kelainan psikosomatik berhubungan dengan kelainan aktivasi syaraf otonom, jaringan endokrin dan sistim imun, serta berhubungan dengan emosi yang berlebihan sehingga menyebabkan disfungsi organik. Di bidang kesehatan menggunakan klasifikasi ”somatoform disorder” pada the ICD 10 (International Classification of  Diseases, tenth edition).


Tulisan ini semoga menjadi “penggugah bangun pagi” kita semua agar memperhatikan jenis penyakit seperti ini. Sebab kita memiliki kardiolog yang handal dengan kompetensi dan penguasaan teknologinya yang dapat meyakinkan orang lain untuk menegakkan diagnosis cardiac neurosis serta memiliki psikolog klinik atau psikiater yang lebih mampu untuk menanganinya.
Tidak terlalu sulit bagi kardiolog untuk mendiagnosisnya, tetapi juga tidak mudah untuk mengerti apalagi melakukan psikoterapi, bila diperlukan. Untuk urusan psikoterapi, serahkan saja kepada ahlinya. Tetapi pengetahuan tentang sindroma ini wajib diketahui dari menegakkan diagnosis sampai rencana penatalaksanaannya.
Ada persoalan lain yaitu tidak mudah untuk meyakinkan pasien bahwa dia tidak sedang menderita sakit jantung. Walaupun sudah dilakukan pemeriksaan macam-macam oleh beberapa ahli jantung atau ahli lainnya. Persoalan lain lagi seperti pada pasien ini menolak untuk dikirim ke psikiater.
Nama lain dari cardiac neurosis yang sebelumnya dikenal sebagai Da Costa’s syndrome (postwar syndrome) ini disebut juga sebagai chronic asthenia, effort syndrome, functional cardiovascular disease, neuro circulatory asthenia, primary neu rasthenia, subacute asthenia dan irritable heart.
Diperlukan kolaborasi kardiolog, psikolog, psikiater, dan ahli psikosomatik untuk menanggulanginya. Perlu persamaan persepsi dan kesepakatan bersama sampai seberapa jauh dapat ditegakkan diagnosisnya. Apakah cukup pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram dan X-foto dada saja? Apakah perlu treadmill test, bahkan dilanjutkan ke CT-skening pembuluh koroner?
Penulis memberi semangat agar kardiolog senantiasa berholistik-eklektik (memilih yang terbaik), berholistik saja terasa masih kurang, sesuai anjuran dari Prof. Kusumanto Setyonegoro, Bapak Psikiatri Indonesia. Marilah kita berwawasan psikologi-psikiatri, tanpa harus menjadi psikolog atau psikiater. Bahkan harus lebih rajin mengirim klien-sehat jantung ini kepada psikolog atau psikiater, dan jangan diperiksa macam-macam yang terlalu canggih karena sesungguhnya ia bukan pasien-sakit jantung.
Akhirnya, perlu diresapkan kembali lafal sumpah dokter dengan penuh perasaan: “—Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.—“ Terima kasih
Salam kuantum.