Dokter jantung harus selalu taat pada kode etik dan meningkatkan etos kerjanya. Demi pengabdian kepada kemanusiaan. Ketika terjadi pelanggaran etik, apa yang harus dilakukan?
ETIKA dan etos kerja. Tiap profesi tentu memilikinya. Dengan etik dan etos inilah suatu profesi dapat bertahan dari perubahan jaman. Tak terkecuali juga dokter jantung, profesi yang kerap bersinggungan langsung dengan nyawa manusia.
Sebab itulah, menurut Ketua PERKI Medan, Prof. Dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K), FIHA, FAsCC, seorang dokter jantung harus selalu memelihara etik dan etos kerjanya. Berikut wawancara InaHeartnews dengan Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran USU ini, akhir September.
Kira-kira kode etik apa yang paling krusial harus selalu ditaati dan dilaksanakan dokter jantung?
Saya pikir kode etik ini harus dilaksanakan secara sempurna. Kode etik itu kan menyangkut banyak aspek. Pertama-tama aspek pasien, kita harus mengutamakan kepentingan pasien. Kita harus jelaskan secara utuh mengenai penyakitnya, tindakan yang akan kita kerjakan, resiko yang kemungkinan akan timbul, semuanya harus jelas. Jadi harus ada keluarga pasien dan harus pasien yang memutuskan. Tentu mungkin dengan informasi yang lengkap dari kita.
Setelah itu ada aspek terus kesejawatan. Jadi bersama teman-teman sejawat harus terjalin komunikasi yang harmonis. Ada juga aspek tata kelola konsul. Maksudnya kalau kita melibatkan multidisiplin yang lain dalam menangani suatu kasus, kita harus melibatkan konsultan yang lain. Sehingga inikan bermanfaat untuk pasien dan dokter juga.
Perkembangan teknologi kedokteran semakin cepat, begitu juga dengan perkembangan sosiologi masyarakat. Mereka makin kritis dan menuntut pelayanan yang optimum. Bagaimana mengatasi kondisi ini Prof?
Tentu sebagai seorang dokter jantung, harus melengkapi diri dengan pengetahuan yang sesuai dengan kurikulum, dengan kurikulum profesi yang ada atau kurikulum dokter SKDI. Iya kan? Jadi itu dokter SKDI untuk profesi SpJP misalnya mulai dari kolegium, ya tentu basic-nya ya harus kita kuasai. Mulai dari anamnesis pasien, pemeriksaan fisik, itu harus mantab dan berkualitas. Begitu juga dengan pemeriksaan tambahan, misalnya EKG, radiologi, ekokardiografi, termasuk pemeriksaan invasif, diagnosis invasif dan sebagainya.
Kalau sang dokter spesialis atau SpJP, tentu dia harus melaksanakan modul-modul kurikulum yang telah ditetapkan kolegium, sehingga dia mendapatkan pengetahuan yang cukup sebelum terjun praktek ke lapangan.
Di samping itu ya menambah ilmu diri dengan pendidikan kedokteran berkelanjutan, dengan seminar-seminar, dengan kongres-kongres, dan sebagainya.
Semua itu diperlukan supaya dokter jantung dapat dan mampu menghadapi tantangan jaman. Karena pasien sekarang ini kan lebih mengerti, lebih komplek, ya kan? Lebih pintar-pintar dengan melihat dari internet, ya kan? Sehingga kalau kita tidak mengikuti perkembangan itu, kita nanti jadi repot.
Nah…. tetapi sebaliknya kita juga harus menyadari keterbatasan-keterbatasan. Maksudnya pasien inikan sekarang datang dengan berbagai macam keadaan. Macam penyakit yang datang bukan hanya penyakit jantung saja, kadang-kadang disertai dengan ada myocardial hibernation-nya, ada gejala gulanya, ada neurologinya, ada kelainan darahnya. Tentu kita harus menyadari dan melibatkan konsultan yang lain, agar pasien ini menjadi lebih baik.
Apa dampaknya terhadap etika dan etos kerja dokter jantung ini Prof?
Sebenarnya seperti saya bilang tadi, spesialis jantung ini profesi yang sibuk dan sering mendapatkan pasien-pasien yang kedaruratan yang mengancam jiwa. Jadi kita harus siapakan diri kita, keilmuwan kita, untuk menghadapi hal-hal tersebut dengan serius dan komunikasi dengan pasien dengan keluargannya.
Jadi jangan ada salah tafsir nanti. Kita sudah lakukan begini tahu-tahu keluarga pasien tidak terima. Putusan yang akan diambil harus dijelaskan pada pasien ataupun keluarganya, supaya jangan ada komplain di belakang hari.
Nah itulah jadi dalam melaksanakan profesi itu harus serius… sangat serius dan fokus dalam menyelesaikan masalah. Kepentingan pasien kedaruratan itulah yang pertama, jangan yang lain-lain dulu. Untuk melaksanakan ini, tubuh dan pikiran kita juga harus prima. Jaga kesehatan kita, jaga harmonisasi keluarga, begitu juga etik dengan kesejawatan harus dipelihara baik.
Karena di era yang akan datang inikan era persaingan, era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Orang-orang asing akan masuk di tempat kita. Jadi kalau kita ndak mempersiapkan diri, maka akan jadi tamu di negara kita sendiri. Itulah saya rasa, etos kerja harus dijaga, inilah semangat dan memberi dorongan juga kepada staf agar bisa lebih baik.
Salah satu rekomendasi dari Asmiha adalah tekad untuk mempersempit jurang layanan kesehatan di pusat dan daerah. Bagaimana dampaknya pada etik dan etos kerja dokter jantung?
Makanya distribusi dokter jantung itu harus merata, kalau tidak kasihan masyarakat apalagi yang tinggal di kabupaten atau daerah. Mereka kerap tidak mendapat pelayanan optimal, jadi kita harus berpikir bahwa distribusi dan penempatan SpJP tentu harus mempertimbangkan daerah-daerah juga, tidak boleh berkumpul di kota-kota besar semua. Kasihan masyarakat kan masih banyak lagi masyarakat yang memerlukan pertolongan dari kita.
Bagaimana untuk mengatasi hal ini?
Jadi pada intinya untuk mengurangi gap itu, tentu daerah harus mengupgrade dirinya sendiri terutama untuk dokter-dokter spesialisnya. Sementara di pusat harus selalu mendistribusikan tenaga dan keahliannya ke daerah-daerah. Nah, pengurus PERKI Cabang harus memikirkan hal ini. Dalam penerimaan peserta program itu harus diperhatikan. Harus diberitahu bahwa kalau studinya selesai jangan hanya mau tinggal di kota saja. Harus mengabdi. Jaman kami dulu kan mengabdi di puskesmas-puskesmas di seluruh Indonesia.
Bagaimana pendapat Prof terhadap kasus gratifikasi kepada dokter jantung?
Masalah itu aturannya sudah jelas, kita mengikuti aturan saja, mengikuti aturan yang diatur oleh IDI, diatur oleh profesi ya kan. Jadi sudah ada landasan hukumnya. Tapi tentu saja dengan tetap memperhatikan dan membina arah kerja sama yang baik. Jadi jangan malah sedikit-sedikit takut melanggar etika.
Misalnya, untuk peningkatan ilmu dokter, dengan mengadakan berbagai simposium dan pertemuan ilmiah kan harus melibatkan pihak ketiga, profesi di luar kedokteran. Begitu juga kita harus menghadapi perkembangan teknologi dari luar dunia kedokteran. Jadi mereka itu tidak boleh kita jadikan saingan, harus kita rangkul. Sebab itu, kita harus tahu peraturan-peraturan dan protokol-protokol yang telah diatur IDI. Jadi jangan terjerumus pula sehingga berurusan dengan polisi atau KPK dan lainnya.
Bagaimana penanganan yang tepat terhadap dokter jantung yang melanggar etika?
Yang melanggar etik tentu akan diserahkan sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Jadi itukan ada organisasi profesinya, ada IDI, ada PERKI. Mereka itulah badan hukumnya. Di sana juga ada kewajiban untuk mendampingi atau mengadakan pembelaan jika dianggap perlu. Jadi kita serahkan sama mereka.
Bagaimana dengan kejadian malpraktek?
Sebenarnya, kalau kita melaksanakan sesuai dengan aturan kode etik dan etos, maka kejadian malpraktek dapat dicegah. Misalnya, sejak awal kita harus menginformasikan kepada pasien, tindakan yang akan kita lakukan, kemudian bagaimana resikonya, angka kematiannya, sehingga pasien dapat mengambil gambaran. Dokter itu hanya manusia, yang menyembuhkan itu Tuhan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar