Masyarakat semakin kritis dan teknologi layanan kesehatan semakin maju. Etika kedokteran harus dijaga dan etos kerja harus selalu dipupuk demi profesionalitas.
INDONESIA kini telah mampu menghasilkan setidaknya ratusan dokter spesialis baru tiap tahun. Lihat saja, pada acara Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association (Asmiha) April, 2016, telah melantik setidaknya 150-an dokter jantung baru. Tentu kita harus berbangga dengan prestasi yang berhasil diraih. Kian tahun, jumlah produksi dokter jantung makin bertambah.
Namun di balik prestasi tersebut, tentu kemudian timbul tantangan baru. Saking banyaknya lulusan dokter pada umumnya, pasti ada nyeleneh alias keluar dari koridor etika dan etos kerja seorang dokter jantung,” tutur Dr. Santoso Karo Karo, Ketua Dewan Etik Perki 2016-2018.
Menurut Santoso, kondisi ini wajar saja. Dokter juga manusia biasa yang penuh dengan khilaf. Apalagi perkembangan zaman saat ini terjadi demikian cepat yang menyebabkan perubahan dan tuntutan pula pada layanan kesehatan jantung. “Teknologi dan layanan kesehatan semakin berkembang, tantangan dan masalah kesehatan juga berubah,” kata Santoso.
Maka para dokter sangat perlu menerapkan etika dan etos kerja yang baik untuk menyesuaikan perkembangan zaman. “Adanya perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi dan budaya menyebabkan para dokter perlu menjaga etos kerja dan etika yang telah ditetapkan,” tutur Santoso.
Kode etik kedokteran adalah pedoman moral dan perilaku. “Karena dokter itu suatu profesi yang luhur. Meskipun sudah ada kuliah kode etik, tapi tetap harus selalu dihayati,” kata Santoso.
Keberadaan kode etik terjadi sejak saat profesi kedokteran tercipta. Menurut Santoso pada awalnya profesi kedokteran masih sederhana, bisa disebut sebagai “solo career” yang mengobati hampir semua penyakit yang ada. Namun seiring dengan kemajuan profesi kedokteran, terjadilah pemilahan-pemilahan sesuai dengan perkembangan keilmuan. “Timbullah profesi dokter spesialis, ada jantung, paru, mata dan sebagainya. Nah semua itu memerlukan tuntunan pedoman etika,” kata Santoso.
Kondisi ini, menurut Santoso, pada gilirannya juga membuat kode etik berkembang menyesuaikan diri. Namun perkembangan itu tentu harus dipertimbangkan masak-masak sebelum menjadi suatu konsep kode etik. “Ini yang perlu mendapat perhatian dan pembahasan. Misalnya, dulu kita tidak boleh mempromosikan diri, sama sekali tidak boleh. Sekarang ada dokter yang mempromosikan dirinya, kalau buat kartu nama boleh, itu namanya kartu profesi,” kata Santoso.
Dalam skala lebih luas, profesi dokter yang dulu melakukan segala sesuatu praktek solo practice, “Kini menjadi room practice. Dulu semua fasilitas disediakan sendiri, kini semua fasilitas itu sudah ada di kamar praktek. Nah, hal-hal seperti itulah yang banyak berkembang saat ini,” kata Santoso.
Menurut Prof. DR. Dr. Djanggan Sargowo, SpPD, SpJP(K), Internist --Cardiologist senior dari RS Saiful Anwar, Malang, setidaknya ada empat kode etik paling krusial yang harus ditaati dan dilaksanakan seorang dokter jantung. Pertama adalah kode etik dokter dengan pasien, kedua kode etik dengan sejawat, ketiga dengan profesi dan masyarakat, serta keempat adalah kode etik dokter dengan diri sendiri.
Contohnya kode etik dengan sejawat profesi. “Sesuai kode etik, artinya tidak boleh menjelek-jelekkan sejawat kita. Malah harus saling mengingatkan. Jadi tidak menjatuhkan atau menjelekkan rekan sejawat,” tutur Santoso.
Lantas bagaimana upaya terbaik untuk menerapkan kode etik dengan benar? Baik Djanggan maupun Santoso menyatakan ada sejumlah langkah yang harus diterapkan para dokter jantung dalam mempertahankan etika dan etos kerja. Hal paling gampang diterapkan adalah usaha pencegahan.
“Yang pasti, tidak ada dokter yang mau mencelakakan pasiennya, kecuali kalau dia ada gangguan jiwa,” kata Santoso tersenyum. “Jadi jangan sampai terjadi kasus etik. Maklum saja, kasus etik kadang-kadang malah berubah menjadi kasus pidana. Jadi beda-beda tipis,” kata Santoso.
Sebab itulah Perki berusaha agar pelanggaran kode etik menjadi zero cases. Aktivitas pencegahan ini akan lebih berhasil jika juga dilaksanakan fungsi pengawasan. “Pencegahan dan pengawasan itu bisa juga dilakukan oleh peer group atau dokter seniornya. Jadi saling mengingatkan,” tutur Santoso.
Tindakan terakhir, jika pelanggaran etika tidak dapat dihindari maka sang dokter akan dipindahkan wilayah pekerjaannya. “Kalau sudah terjadi ada kasus, ya kita diskusikanlah bagaimana kasusnya, kenapa ini terjadi, yang pada intinya kita usahakan jangan sampai terjadi tindak pidana,” kata Santoso.
Selain itu, Djanggan memaparkan sejumlah kegiatan yang dapat mengatasi pelanggaran etika. “Misalnya secara rutin mensosialisasikan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Buku Pedoman Kode Etik Kardiologi,” katanya. Dalam kegiatan sosialisasi tersebut harus ditekankan pada pemahaman, contoh pelaksanaan kode etik kedokteran dalam hal moral dan akhlak.
“Saya juga menyarankan selalu diadakan pertemuan berkala antara Perki, tim kode etik, dengan para dokter spesialis pada tiap pertemuan ilmiah yang diadakan,” kata Djanggan. Sebelum menjatuhkan sanksi, lanjut Djanggan, bagi pelanggar etika dapat diberikan peringatan pertama, peringatan kedua dan peringatan terakhir untuk pembinaan ke depan dan kemungkinan dicabut surat izin prakteknya (SIP).
Etos kerja dokter jantung
Hal tak kalah pentingnya dengan etika adalah soal etos kerja. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kedokteran, menurut Djanggan, adalah sangat penting bagi seorang dokter jantung menjalankan etos kerja yang baik.
Jika etos kerja dijalankan dengan baik, maka perkembangan iptek kedokteran dapat dijalankan dengan optimal. “Perkembangan ini sangat dibutuhkan dalam membuat diagnosis yang cepat dan tepat dan terapi yang rasional. Soalnya, kondisi tersebut punya peranan besar dalam hal tepat guna dan daya guna yang harus diimplementasikan setelah dilakukan verifikasi,” tutur Djanggan.
Menurut Djanggan, iptek harus memberikan penghematan dalam prosedur diagnostik dan terapi yang sangat menguntungkan pasien. “Perlu pertimbangan peran dan fungsi teknologi tepat guna yang ada untuk mendukung pelayanan kesehatan,” katanya.
Sesuai dengan dinamika etika global, maka kemajuan iptek tersebut harus memenuhi standard pelayanan dengan didasari etika moral yang luhur karena dengan kemajuan iptek tersebut. “Soalnya, setiap dokter jantung wajib menjaga etika terhadap pasien, profesi, dan antar sejawat dan pada masyarakat,” kata Djanggan lagi.
Etos kerja yang baik, menurut Djanggan juga diperlukan untuk melakukan pemerataan dalam bidang pelayanan kesehatan jantung. “Harus bisa mempersempit jurang layanan kesehatan jantung baik di pusat maupun di daerah,” tutur Djanggan.
Menurutnya, jurang layangan kesehatan jantung itu setidaknya dapat dipersempit atau bahkan dihilangkan sama sekali dengan mempertimbangkan hal-hal berikut. Pertama, semua stake holder layanan jantung bertindak dalam konteks efektifitas dan efisiensi, serta kredibel. Kedua, penempatan sumber daya manusia terutama spesialis jantung harus segera dilaksanakan dan fasilitas untuk pelayanan jantung di daerah segera harus dilengkapi.
Ketiga, program jejaring (networking) segera harus disusun seefektif dan seefisien mungkin antara pusat dan daerah. Keempat, “Adanya peningkatan kemampuan layanan, jumlah SDM dan daya dukung untuk mengurangi jurang atau perbedaan kualitas layanan pusat dan daerah,” tuturnya.
Djanggan tak lupa menyinggung masalah gratifikasi yang turut berpengaruh dalam etos kerja dokter jantung. “Untuk mengurangi dan menghindari masalah gratifikasi ada beberapa hal juga yang dapat ditempuh,” katanya.
Awalnya, adalah perlu membuat standard pelayanan kesehatan menyangkut tarif, jenis layanan, kesejahteraan para spesialis jantung. “Untuk itu perlu diawali dengan standardisasi setiap pelayanan di bidang kardiologi, membuat daftar e-katalog obat-obatan dan alat kesehatan,” katanya. Proses ini dapat dilanjutkan dengan standardisasi tarif untuk setiap pelayanan dilihat dari komponen jasa medik, peralatan, dan obat-obatan.
Selanjutnya adalah membuat sistem jejaring yang baik dan terkontrol. “Jejaring ini sangat diperlukan untuk melakukan monitoring secara aktif ke daerah-daerah serta pengawasan internal yang efektif,” kata Djanggan.
Menurut Santoso, setiap dokter tanpa kecuali, harus meningkatkan kemampuan etosnya. “Orang yang tidak meningkatkan hal itu, berarti dia sudah tidak etis dan dia sudah tidak profesional. Apalagi sekarang ini kita juga dihadapkan dengan fenomena MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Kita hanya bisa bersaing kalau profesionalitas ditingkatkan, kalau tidak ya... hanya jadi jago kandang,” katanya lagi.
[Tim InaHeartnews]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar