pita deadline

pita deadline

Rabu, 08 November 2017

Teknologi Non Invasive, sebagai Penjaga Gerbang Penyakit Jantung Koroner

Penerapan teknologi non invasif dinilai mampu meringankan hingga 40% biaya terapi penyakit jantung. Manajemen BPJS dan dokter jantung perlu duduk bersama untuk berbicara soal pembiayaan terapi non invasif.


DADA tiba-tiba sakit tak ketulungan, jantung berdegup kencang, keluar keringat dingin. Berbagai pertanyaan pun memenuhi kepala: apakah kena serangan jantung? Atau ada saraf tidak berfungsi? Atau perut yang tidak beres? Atau bagian tubuh lainnya?
Nah, dalam kondisi inilah suatu teknologi non invasif sangat berperan menentukan kondisi awal kesehatan pasien. Seperti namanya, kardiologi non invasif selama ini dikenal sebagai tindakan medis dengan tidak memasukkan suatu benda medis ke dalam tubuh pasien.
Perkembangan kardiologi non invasif inilah yang menjadi salah satu perhatian dr Manoefris Kasim, SpJP(K), SpKN, FIHA, FAsCC, pakar jantung dari Kardiologi Non-Invasif Ekokardiografi dan Treadmill, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

dr. Manoefris Kasim, SpJP(K), SpKN, FIHA, FAsCC di Lab nya.

Teknologi non invasif saat ini berkembang pesat dengan beragam jenis tujuan tindakan dan manfaatnya. Dari yang memakai pantulan suara (ultrasonik) hingga menggunakan sinar gelombang pendek atau radiasi. Ada juga yang memasukkan zat pembeda tertentu ke dalam tubuh, masih tergolong invasif.
“Teknologi non invasif lebih banyak bersifat diagnostik,” kata Manoefris. Misalnya dengan mengarahkan metoda ultrasonik tadi kepada organ tubuh tertentu seperti jantung atau ginjal, nanti akan diperoleh citra organ tersebut untuk didiagnosa. “Jadi tubuh relatif tidak dilukai oleh pembedahan,” katanya.
Berbagai terobosan teknologi masih terjadi dalam bidang non invasif ini. Salah satu perkembangan misalnya, pakar jantung telah mengembangkan apa yang disebut sebagai magnetocardiography (MCG), sebagai bentuk alternatif dari yang selama ini digunakan, electrocardiography (ECG).
MCG akan mendeteksi gelombang magnetik yang terpancar pada pasien, yang kemudian dapat memetakan kondisi jantung sehingga dapat terdiagnosa. Seperti teknologi non invasif lainnya, MCG dapat dilaksanakan dengan cara memindai jantung pasien.
“Teknologi dengan menggunakan magnet ini memang terbaru yang dikembangkan para ahli. Pada dasarnya itu dikembangkan dari magnetic resonance imaging,” kata Manoefris. Dengan begitu, dokter dapat segera mendiagnosa.
“Jadi pada dasarnya ini adalah teknologi yang mampu melaksanakan prosedur rule out, upaya untuk memisahkan suatu gejala, apakah itu normal atau tidak,” katanya. Oleh sebab itu, MCG lebih banyak digunakan di ruang UGD lebih dulu. Ia dapat digunakan sebagai pemeriksaan pendahuluan. “Ini lebih kepada rule in atau rule out agar lebih gampang untuk terapi lebih lanjut,” katanya.
Sebab itulah, kardiologi non invasif ini cukup penting dari rangkaian penanganan pasien jantung. Menurut Manoefris, syukurlah, penerapan non invasif cukup merata dilaksanakan di lembaga kesehatan Indonesia, dari Pusat maupun di daerah. “Kalau untuk terapi jantung, hampir semua sudah merata. Teknologinya hampir ada di tiap-tiap rumah sakit tipe B. Dari yang teknik ekokardiografi atau ultrasound. Departemen Kesehatan cukup menjamin pengadaannya,” kata Manoefris.
Melihat manfaatnya terhadap pasien, pria kelahiran Batusangkar, 9 September 1949 ini menyatakan peran kardiologi non invasif sangatlah penting dalam manajemen penanganan pasien jantung. “Perannya itu sangat jelas dan penting. Non invasif sangat menentukan penanganan dan nasib pasien itu lebih lanjut,” kata Manoefris.
Contohnya, lanjut Manoefris, tanpa melakukan tindakan pengobatan pun, dokter yang ahli sudah dapat melihat kondisi pasien. Misalnya jika sang pasien tidak mampu berjalan lurus atau pincang, berarti ada yang tidak beres dengan bagian jantungnya. “Jadi kardiologi non invansif ini sangat penting,” katanya lagi.
Betapa tidak, dengan penerapan terapi non invasif yang tepat, biaya perawatan dan pengobatan pasien diramalkan dapat ditekan hingga 40%. “Jadi sebenarnya tidak perlu lagi prosedur cath lab. Karena sebelumnya, dengan terapi non invasif dapat diketahui apakah pasien ini perlu masuk cath lab atau tidak,” katanya.

Proses rehabilitasi pasien jantung.

Kadang-kadang, lanjut Manoefris, kasihan pasiennya, setelah masuk cath lab hasilnya eh.. ternyata jantungnya normal, eh.. ternyata penyempitan jantung hanya sedikit, tidak perlu pembedahan. “Padahal biaya untuk cath lab itu lebih mahal ketimbang tindakan non invasif,” kata Manoefris lagi. Bahkan sebenarnya tahap diagnostik invasif tentu tidak perlu jika kondisi pasien sudah diketahui lebih dulu dengan tindakan non invasif. “Jadi di sinilah letak kardiologi non invasif sebagai gate keeper atau penjaga gerbang bagi prosedur diagnostik invasif,” kata Manoefris.
Hanya saja, kini ada masalah pembiayaan yang perlu mendapat perhatian. “Pesan sponsor kami, pengelola dan manajemen BPJS Kesehatan perlu lebih mendorong lagi prosedur penggantian tindakan non invasif. Baik itu memakai metoda nuklir, kardiologi nuklir, yang menggunakan pemindai radio-isotop, maupun cardiac CT/MSCT,” kata Manoefris.
“Jadi saya kira manajemen BPJS perlu duduk bersama dengan para ahli non invasif untuk membicarakan masalah ini. Ini supaya prosedur invasif baik bedah maupun non bedah dapat diterapkan dengan properly, efektif dan efisien. Ujung-ujungnya, biaya yang dikeluarkan pasien juga tepat sasaran dan tepat guna,” tutur Manoefris. 
[team InaHeartnews]

Etik & Etos Dokter Jantung: Harus Serius Dilaksanakan!

Dokter jantung harus selalu taat pada kode etik dan meningkatkan etos kerjanya. Demi pengabdian kepada kemanusiaan. Ketika terjadi pelanggaran etik, apa yang harus dilakukan?

ETIKA dan etos kerja. Tiap profesi tentu memilikinya. Dengan etik dan etos inilah suatu profesi dapat bertahan dari perubahan jaman. Tak terkecuali juga dokter jantung, profesi yang kerap bersinggungan langsung dengan nyawa manusia.
Sebab itulah, menurut Ketua PERKI Medan, Prof. Dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K), FIHA, FAsCC, seorang dokter jantung harus selalu memelihara etik dan etos kerjanya. Berikut wawancara InaHeartnews dengan Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran USU ini, akhir September.

Kira-kira kode etik apa yang paling krusial harus selalu ditaati dan dilaksanakan dokter jantung?
Saya pikir kode etik ini harus dilaksanakan secara sempurna. Kode etik itu kan menyangkut banyak aspek. Pertama-tama aspek pasien, kita harus mengutamakan kepentingan pasien. Kita harus jelaskan secara utuh mengenai penyakitnya, tindakan yang akan kita kerjakan, resiko yang kemungkinan akan timbul, semuanya harus jelas. Jadi harus ada keluarga pasien dan harus pasien yang memutuskan. Tentu mungkin dengan informasi yang lengkap dari kita.
Setelah itu ada aspek terus kesejawatan. Jadi bersama teman-teman sejawat harus terjalin komunikasi yang harmonis. Ada juga aspek tata kelola konsul. Maksudnya kalau kita melibatkan multidisiplin yang lain dalam menangani suatu kasus, kita harus melibatkan konsultan yang lain. Sehingga inikan bermanfaat untuk pasien dan dokter juga.

Perkembangan teknologi kedokteran semakin cepat, begitu juga dengan perkembangan sosiologi masyarakat. Mereka makin kritis dan menuntut pelayanan yang optimum. Bagaimana mengatasi kondisi ini Prof?
Tentu sebagai seorang dokter jantung, harus melengkapi diri dengan pengetahuan yang sesuai dengan kurikulum, dengan kurikulum profesi yang ada atau kurikulum dokter SKDI. Iya kan? Jadi itu dokter SKDI untuk profesi SpJP misalnya mulai dari kolegium, ya tentu basic-nya ya harus kita kuasai. Mulai dari anamnesis pasien, pemeriksaan fisik, itu harus mantab dan berkualitas. Begitu juga dengan pemeriksaan tambahan, misalnya EKG, radiologi, ekokardiografi, termasuk pemeriksaan invasif, diagnosis invasif dan sebagainya.
Kalau sang dokter spesialis atau SpJP, tentu dia harus melaksanakan modul-modul kurikulum yang telah ditetapkan kolegium, sehingga dia mendapatkan pengetahuan yang cukup sebelum terjun praktek ke lapangan.
Di samping itu ya menambah ilmu diri dengan pendidikan kedokteran berkelanjutan, dengan seminar-seminar, dengan kongres-kongres, dan sebagainya.
Semua itu diperlukan supaya dokter jantung dapat dan mampu menghadapi tantangan jaman. Karena pasien sekarang ini kan lebih mengerti, lebih komplek, ya kan? Lebih pintar-pintar dengan melihat dari internet, ya kan? Sehingga kalau kita tidak mengikuti perkembangan itu, kita nanti jadi repot.
Nah…. tetapi sebaliknya kita juga harus menyadari keterbatasan-keterbatasan. Maksudnya pasien inikan sekarang datang dengan berbagai macam keadaan. Macam penyakit yang datang bukan hanya penyakit jantung saja, kadang-kadang disertai dengan ada myocardial hibernation-nya, ada gejala gulanya, ada neurologinya, ada kelainan darahnya. Tentu kita harus menyadari dan melibatkan konsultan yang lain, agar pasien ini menjadi lebih baik.

Apa dampaknya terhadap etika dan etos kerja dokter jantung ini Prof?
Sebenarnya seperti saya bilang tadi, spesialis jantung ini profesi yang sibuk dan sering mendapatkan pasien-pasien yang kedaruratan yang mengancam jiwa. Jadi kita harus siapakan diri kita, keilmuwan kita, untuk menghadapi hal-hal tersebut dengan serius dan komunikasi dengan pasien dengan keluargannya. 
Jadi jangan ada salah tafsir nanti. Kita sudah lakukan begini tahu-tahu keluarga pasien tidak terima. Putusan yang akan diambil harus dijelaskan pada pasien ataupun keluarganya, supaya jangan ada komplain di belakang hari.
Nah itulah jadi dalam melaksanakan profesi itu harus serius… sangat serius dan fokus dalam menyelesaikan masalah. Kepentingan pasien kedaruratan itulah yang pertama, jangan yang lain-lain dulu. Untuk melaksanakan ini, tubuh dan pikiran kita juga harus prima. Jaga kesehatan kita, jaga harmonisasi keluarga, begitu juga etik dengan kesejawatan harus dipelihara baik.
Karena di era yang akan datang inikan era persaingan, era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Orang-orang asing akan masuk di tempat kita. Jadi kalau kita ndak mempersiapkan diri, maka akan jadi tamu di negara kita sendiri. Itulah saya rasa, etos kerja harus dijaga, inilah semangat dan memberi dorongan juga kepada staf agar bisa lebih baik.

Salah satu rekomendasi dari Asmiha adalah tekad untuk mempersempit jurang layanan kesehatan di pusat dan daerah. Bagaimana dampaknya pada etik dan etos kerja dokter jantung?
Makanya distribusi dokter jantung itu harus merata, kalau tidak kasihan masyarakat apalagi yang tinggal di kabupaten atau daerah. Mereka kerap tidak mendapat pelayanan optimal, jadi kita harus berpikir bahwa distribusi dan penempatan SpJP tentu harus mempertimbangkan daerah-daerah juga, tidak boleh berkumpul di kota-kota besar semua. Kasihan masyarakat kan masih banyak lagi masyarakat yang memerlukan pertolongan dari kita.

Bagaimana untuk mengatasi hal ini?
Jadi pada intinya untuk mengurangi gap itu, tentu daerah harus mengupgrade dirinya sendiri terutama untuk dokter-dokter spesialisnya. Sementara di pusat harus selalu mendistribusikan tenaga dan keahliannya ke daerah-daerah. Nah, pengurus PERKI Cabang harus memikirkan hal ini. Dalam penerimaan peserta program itu harus diperhatikan. Harus diberitahu bahwa kalau studinya selesai jangan hanya mau tinggal di kota saja. Harus mengabdi. Jaman kami dulu kan mengabdi di puskesmas-puskesmas di seluruh Indonesia.

Bagaimana pendapat Prof terhadap kasus gratifikasi kepada dokter jantung?
Masalah itu aturannya sudah jelas, kita mengikuti aturan saja, mengikuti aturan yang diatur oleh IDI, diatur oleh profesi ya kan. Jadi sudah ada landasan hukumnya. Tapi tentu saja dengan tetap memperhatikan dan membina arah kerja sama yang baik. Jadi jangan malah sedikit-sedikit takut melanggar etika.
Misalnya, untuk peningkatan ilmu dokter, dengan mengadakan berbagai simposium dan pertemuan ilmiah kan harus melibatkan pihak ketiga, profesi di luar kedokteran. Begitu juga kita harus menghadapi perkembangan teknologi dari luar dunia kedokteran. Jadi mereka itu tidak boleh kita jadikan saingan, harus kita rangkul. Sebab itu, kita harus tahu peraturan-peraturan dan protokol-protokol yang telah diatur IDI. Jadi jangan terjerumus pula sehingga berurusan dengan polisi atau KPK dan lainnya.

Bagaimana penanganan yang tepat terhadap dokter jantung yang melanggar etika?
Yang melanggar etik tentu akan diserahkan sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Jadi itukan ada organisasi profesinya, ada IDI, ada PERKI. Mereka itulah badan hukumnya. Di sana juga ada kewajiban untuk mendampingi atau mengadakan pembelaan jika dianggap perlu. Jadi kita serahkan sama mereka.

Bagaimana dengan kejadian malpraktek?
Sebenarnya, kalau kita melaksanakan sesuai dengan aturan kode etik dan etos, maka kejadian malpraktek dapat dicegah. Misalnya, sejak awal kita harus menginformasikan kepada pasien, tindakan yang akan kita lakukan, kemudian bagaimana resikonya, angka kematiannya, sehingga pasien dapat mengambil gambaran. Dokter itu hanya manusia, yang menyembuhkan itu Tuhan.*

Kardiologi Kuantum no.39; Kardiologi Kuantum: Menembus Kedalaman Hati

(Quantum Cardiology: Heart and Beyond)

“Getaran ekstase perasaan yang terjadi karena pergumulan antara ilmu-ilmu kardiologi-fisika kuantum-Candra Jiwa Indonesia (Soenarto), telah melahirkan tulisan-tulisan kardiologi kuantum yang bersifat semi ilmiah, filsafat terapan dan humaniora. Harapannya terjadi perubahan perilaku dan kelak dapat dibuktikan dengan penelitian-penelitian ilmiah berdasarkan metodologi dan induksi statistik tertentu, semoga dunia kita-semua tersenyum.” 
[Quantum Cardiology (Heart and Beyond); Ekst. BSP #39: 2012-2017]


TULISAN pertama kali tentang kardiologi kuantum berupa kolom berkelanjutan terbitnya Tabloid Profesi Kardiovaskuler (ISSN: 0853-8344) pada bulan Januari 2012 di halaman ke-2. Terbitan ini merupakan volume ke XVII dan bernomor 179. Kolom kuantum selalu dimulai dengan Salam Kardio dan diakhiri dengan Salam Kuantum, begitulah kebiasaan penulisnya.
Albert Einstein yang mengaku sudah memikirkan ratusan kali tentang masalah kuantum masih tetap bersikukuh bahwa teori kuantum dimasukkan dalam teori relativitas umum, bukan teori relativitas khusus. Pernyataannya: “I cannot seriously believe in [quantum theory] because.. physics should represent a reality in time and space, free from spooky actions at a distance.”
Nah, ingatkah kita pada tarian pencak Minangkabau yang nan dinamis, diiringi musik pentatonik dengan cerita legenda yang bertutur bahasa yang tinggi seperti pada cerita Sabai nan Aluih. Kesenian Randai dalam adat Minang dalam filsafatnya sebenarnya juga membenturkan “budi dengan ilmu” (budi manimpo ilmu). Seperti karakter “Ming” dalam bahasa Mandarin, gabungan karakter matahari dan bulan (empat coretan), dapat diartikan sebagai pencerahan.
Seorang peneliti seyogyanya melakukan lompatan kuantum ke depan seperti yang telah dilakukan Albert Einstein. Teori relativitasnya E=MC2 diperkirakan melompat 100 tahun ke depan dari zamannya. Einstein menjelaskan makna relativitas itu bagaikan sudah duduk 2 jam di dekat wanita cantik tetapi terasa baru 2 menit, sementara duduk di perapian panas selama 2 menit, sudah terasa 2 jam.
Menurut teori pemikiran Erwin Schrödinger keseluruhan sistem mekanika kuantum dapat dideskripsikan dengan fungsi gelombang dan ini membuka dasar kesatuan dari alam semesta.
Niels Bohr penyandang hadiah Nobel pun puyeng tentang fisika kuantum, katanya: “If anybody says he can think about quantum physics without getting giddy, that only shows he has not understood the first thing about them.” Alih-alih puyeng, Erwin Schrödinger (1887-1961), juga penyandang hadiah nobel, misteri dunia kuantum ia gambarkan dalam kisah ”Kucing Schrödinger” (1935) yang legendaris itu.

Kucing Schrödinger dengan peralatan untuk membuat teka-teki superposisi elemen kuantum.

Erwin salah satu Bapak Fisika Kuantum, pertama kali mengisahkan soal kucing itu sebagai upaya ‘eksperimen khayalan’ untuk menjelaskan dunia kuantum yang absurd. Dalam ‘eksperimen’ itu, seekor kucing diletakkan di sebuah kotak tertutup bersama sebuah botol berisi racun sianida. Racun sianida itu akan terlepas dan membunuh kucing tersebut apabila terkena tembakan partikel dari sebuah unsur radioaktif yang sedang meluruh. Peluruhan radioaktif itu diatur oleh hukum fisika kuantum yang hanya berisi probabilitas antara meluruh dan tidak meluruh atau disebut dengan kondisi ”superposisi”. Dengan sendirinya, kucing itu pun dalam kondisi superposisi, yakni mengalami keadaan hidup dan mati dalam waktu bersamaan.
Masalahnya, kondisi superposisi ini sangat sensitif terhadap lingkungan luar sehingga setiap usaha mengamati atau mengukur dengan pasti kondisi kucing tersebut akan merusak keadaan kuantumnya. Dengan demikian, saat ada orang yang membuka paksa kotak itu, dia hanya akan menemukan salah satu dari dua kemungkinan kondisi kucing: hidup atau mati. Itulah kesulitan yang dihadapi para penggelut fisika kuantum.
Selama puluhan tahun sejak ilmu ini ditemukan, teori-teori fisika kuantum telah terbukti benar dalam memprediksi berbagai gejala yang ditimbulkan dan bisa diamati di tingkat makro. Namun, mengamati partikel kuantum tunggal, apalagi kemudian mengendalikan perilakunya, adalah sesuatu yang selama ini dianggap mustahil.
Beruntung, masih di tahun 2012 masyarakat telah membaca berita bahwa ahli kuantum Serge Haroche dari Perancis dan David Wineland dari Amerika Serikat secara terpisah menemukan metode untuk mengisolasi partikel-partikel itu, yang memungkinkan seseorang mengamati, menghitung dan bahkan memanipulasi partikel-partikel tersebut.
Mereka telah berhasil ”menangkap” Kucing Schrödinger tanpa merusak kondisi kuantumnya! kotak logam yang berisi kucing Schrödinger telah dibuka dengan dua metode yang berbeda. Wineland menggunakan tembakan foton sinar laser untuk memperlambat dan mengendalikan atom-atom bermuatan listrik atau ion atom Berrylium.
Sementara Haroche sebaliknya, ia mengendalikan dan mengukur foton-foton alias partikel cahaya yang dijebak di antara dua cermin khusus dengan menembakkan atom-atom Rydberg. Penemuan mereka diyakini akan memungkinkan pembuatan sebuah komputer kuantum, yakni komputer berkecepatan sangat tinggi yang bekerja berdasarkan mekanisme fisika kuantum.

Kardiomiopati Reversibel Takotsubo
Dr. Arief Fadhilah Jumat pagi, 30 Maret 2012 mempresentasikan kasus sindroma Takotsubo untuk pertama kalinya di depan Konferensi Dep. Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Sangat mungkin juga baru pertama kali kasus ini diungkapkan di Indonesia. Takotsubo adalah jebakan gurita (octopus) yang sampai kini masih dipakai oleh nelayan Jepang. Pertamakali dilaporkan dari Jepang oleh Satoh dan Dote pada tahun 1900 yang mengemukakan bentuk ventrikel kiri pada fase sistolik tersebut mirip dengan bentuk jebakan oktopus.

Gambar A, adalah left-ventriculography pasien dengan sindroma takotsubo, suatu kumpulan gejala akibat stres-neurogenik; Gambar B adalah takotsubo, semacam guci yang dipakai nelayan Jepang untuk menangkap gurita.

Kardiomiopati yang reversibel akibat stres dikenal juga sebagai Takotsubo. “Stres berat bagaikan ‘gelombang-badai simpatis’ meskipun bersifat sementara, dapat mengakibatkan kardiomiopati Takotsubo suatu kelainan anatomik apeks jantung pada fase sistolik yang menyerupai balon” —adalah perkiraan Kardiologi Kuantum, pemerhati masalah filsafat terapan dalam bidang kardiovaskular.
Presentasi kasus Arief Fadhilah menjadi lebih seru ketika LV apical balooning tersebut ternyata membentuk elevasi segmen ST yang menyerupai infark miokard akut. Inipun telah dilaporkan oleh Bybeka KA, dkk dalam jurnal Annals of Internal Medicine 2004. Kardiomiopati Takotsubo disebut juga apical ballooning syndrome, kardiomiopati terinduksi stress, sindroma patah hati adalah suatu sindrom yang umumnya ditandai dengan disfungsi sistolik dari segmen apikal miokard dan atau mid ventrikel kiri, yang bersifat sementara, yang menyerupai infark miokard, tetapi tanpa adanya penyakit jantung koroner yang signifikan.1-8 Kardiomiopati Takotsubo pertama kali dikemukakan di Jepang. Kardiomiopati tipe ini kemudian dilaporkan pada populasi non-Asia, termasuk Amerika Serikat dan Eropa.2, 4, 5, 9
Istilah patah-hati lebih lazim dipakai sebagai terjemahan dari broken-heart dari pada patah-jantung. Patah hati yang menyebabkan ‘badai simpatis’ tentu saja meningkatkan debaran jantung dalam waktu yang lama cukup untuk membentuk kelainan bilik kiri yang terdiri dari outflow track yang menyempit ditemani apeks yang menggelembung, seperti tempayan kecil.

Kardiologi kuantum & Chandra Jiwa
Awalnya, ada 3 peneliti di bidang ilmu jiwa di dunia Freud, Adler dan Jung. Sebelumnya orang lebih tertarik dengan ilmu perbintangan (astronomi), matematika, fisika, kimia, kedokteran fisik, terakhir barulah orang tertarik dengan ilmu jiwa, psikologi, psikiatri. Freud yang memang tidak percaya kepada Tuhan, candra jiwanya sederhana: Ego, Superego dan Nafsu: Seks (eros) dan Mati (tanos). Karena sederhana dan berorientasi di dalam diri manusia inilah justru yang diajarkan di fakultas-fakultas kedokteran di Indonesia.
Ketiga peneliti jiwa tahap awal tersebut berikutnya, belum diajarkan di fakultas kedokteran. Adler orientasinya adalah masyarakat, jadi mau tidak mau orang harus mengikuti aturan-aturan, nilai-nilai di masyarakat agar sehat jiwanya. Nilai-nilai tersebut tidak menjadi masalah ketika diberikan oleh para Nabi kepada masyarakat, walaupun beliau juga belum percaya kepada Tuhan. Daya dorong motivasi manusia diletakkan pada "rasa rendah diri" dalam pandangannya orang bisa lebih tertarik ilmu kemasyarakatan seperti politik dibanding seks.
Jung justru percaya kepada Tuhan (Das Selbst) pertemuannya dengan ego manusia menjadi intuisi, dan leburnya ego manusia ke Das Selbst disebut sebagai Individuation sebagai akhir dari evolusi jiwa manusia. Nabi adalah manusia juga yang dapat mengeksiskan Das Selbstnya. Tentu saja tidak harus demikian, ini disebut sebagai hipotesis saja karena Jung belum pernah bertemu dengan seorang Nabipun.
Prof Soemantri mengikuti hipotesis Jung, hanya beliau bertemu dengan R. Soenarto Mertowardojo, bukan Nabi dan tidak menyebarkan agama baru. R. Soenarto Mertowardojo dan dua sahabatnya menulis pustaka intuisi Sasangka Jati. Tulisan tersebut berdasarkan sabda Sang Guru Sejati dari pusat hatinya dan dicatat oleh dua orang sahabatnya: R.T. Hardjoprakosa dan R. Trihardono Soemodihardjo. Sabda tersebut melebihi dari intuisi yang diperkirakan oleh Jung karena mengalir menjadi sebuah pustaka yang terdiri dari tujuh buku. Terjadinya Alam Semesta adalah salah satu dari buku tersebut yang dipakai sebagai intisari dari disertasi Dr. Soemantri di Universitas Leiden Negeri Belanda, dipromotori oleh Prof. Dr. E.A.D.E. Carp pada tanggal 20 Juni 1956.
Judul disertasinya adalah Indonesisch Mensbeeld als basis ener psicho-therapie (Candra Jiwa Indonesia sebagai Dasar Psikoterapi). Kembalinya Roh Suci (TheSelf) ke Suksma Sejati (TheForce) atas nama Suksma Kawekas (TheSource) adalah akhir dari evolusi jiwa-idealnya manusia disebut sebagai peristiwa Pamudaran/Panunggal.


Perbandingan 4-Candra Jiwa yang Semuanya Dilahirkan di Eropa.
Posisi sang-Aku (Ego) sebagai sentra pembanding utamanya. Menjadi jelas bahwa Candra Jiwa Indonesia berdiri sejajar dengan lainnya dan tampak lebih lengkap strukturnya. Das ES di dalam Candra Jiwa Freud disebut juga sebagai ID. Freud tidak percaya adanya Tuhan, Adler tidak membicarakan Tuhan maupun struktur jiwa, jadi keduanya tidak memiliki “Yang di Atas”, suprastruktur. Suprastruktur adalah bagian transendennya (kalbu-hati) manusia.

Kardiologi kuantum meminjam istilah yang sudah dikenal masyarakat melalui film-film legendaris tersebut untuk memperkenalkan Candra Jiwa Indonesia terutama bagian Tripurusa (TriAspect), bagian tertinggi, atau bagian terdalam dari jati dirinya seorang manusia. Suksma Kawekas (TheSource) adalah hierarkhi tertinggi, ia adalah sadar kolektif statis, asal mula dan sumber serta tujuan hidupnya manusia (ego). Ialah yang menguasai alam semesta dan seisinya. Semua kekuasaan adalah kekuasaan-Nya didelegasikan sepenuhnya kepada utusan-Nya Yang Abadi ialah Suksma Sejati (TheForce). TheForce adalah istilah lain dari Suksma Sejati yang menjadi pemimpin, penuntun dan gurunya manusia (TheSelf).
Dalam perjalanan sang waktu, Aku (Ego) yang materi yang berada di dalam mental (jiwa)-nya/jasmani halusnya manusia akan menjalankan evolusi sepanjang perjalanan hidupnya. Modalnya adalah menyerahkan kedaulatannya kepada Tripurusa, untuk ini diperlukan upaya introversi: sadar, percaya, taat dalam arti seluas-luasnya. Tentu saja hanya sampai pada TheGate (Rahsa Jati) karena ia masih bersifat materi, eksistensinya diganti oleh Roh Suci, Egonya yang imateri.
Manusia tidak mungkin memiliki Trisila sebagai “kunci dalam” secara sempurna sekiranya dalam penampilannya di dalam masyarakat tidak menjalankan tatacara hidupnya dengan Pancasila: sabar, rila, narima, jujur, budi luhur, diyakini sebagai “kunci luar” kehidupan. Dengan menguasai ilmu dan menjalankan Hastasila (hasta= delapan) tersebut bila diizinkan Suksma Sejatinya, terbuka kesempatan untuk mendapatkan intuisi (ilham) yaitu suatu pencerahan, suatu keajaiban yang dapat mengubah peradaban diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.
Pengendalian diri yang diarahkan kepada fungsinya yang tertinggi dari motivator-motivator ini adalah taat (obidience, takwa) kepada-Nya. Saling pengaruh-memengaruhi antara angan-angan dan nafsu-nafsu tersebut timbulah fungsi-perasaan, sebagai sentra-vitalitas yang baru, nonekstrinsik ialah ekstase suasana rasa-perasaan manusia yang berfungsi sebagai indikator. Ego-jasmani merupakan kristalisasi dari fungsi angan-angan manusia sedangkan strukturnya berasal dari ciptanya manusia. Ego-jasmani merupakan bayangan, refleksi dari Ego-rohani (Roh Suci) manusia ialah jatidirinya yang hakiki. Roh Suci (TheSelf) inilah yang dihidupi dan dituntun oleh Suksma Sejati (TheForce) atas nama sumber, asalmula, dan tujuan hidup manusia ialah Suksma Kawekas (TheSource).
Akhir dari perjalanan evolusi Egonya manusia adalah peristiwa Pamudaran dan Panunggal yang sesungguhnya adalah satu peristiwa yang sama. Pudarnya “bungkus” Roh Suci yaitu jiwanya manusia yaitu angan-angan perasaan dan nafsunya, dan ditariknya Sinar Roh Suci tersebut kembali ke Suksma Sejati atas nama Suksma Kawekas. Dalam jiwa manusia sudah tidak ada polaritas, sudah tidak ada gerakan dan tidak eksis lagi. Tugasnya sebagai manusia telah selesai, bagaikan mati di dalam hidup, dapat dibayangkan sebagai suatu peristiwa metamorfosis; Ia masih bisa melakukan kegiatan rutin, hanya saja semua dalam eksistensi Suksma Sejati. Manusia telah selesai melaksanakan tugas evolusi jiwanya dengan sempurna.8

Kesimpulan. Salam Kardio. Getaran ekstase perasaan yang terjadi karena pergumulan intensif antara ilmu-ilmu kardiologi, fisika kuantum dan Candra Jiwa Indonesia (Soenarto) seperti yang telah disampaikan dalam artikel tersebut di atas, telah melahirkan tulisan-tulisan tentang kardiologi kuantum yang bersifat semi ilmiah, filsafat terapan dan humaniora (2012-2017). Harapannya terjadi perubahan perilaku di dalam diri sendiri serta masyarakat sekelilingnya, dan kelak dapat dibuktikan dengan penelitian-penelitian ilmiah berdasarkan metodologi dan induksi statistik tertentu. Semoga dunia kita menjadi semakin tersenyum gembira, gairah dan bersemangat kebersamaan. “May TheForce be with us.”

*) Artikel Kardiologi Kuantum (Menembus Kedalaman Hati) ini disiapkan untuk 29th WECOC bringing forth “Contemporary Heart Failure Management: from Dream to Reality”, 6 Oktober 2017.


Daftar Pustaka

1. Bybee KA, Kara T, Prasad A, Lerman A, Barsness GW, Wright RS, et al. Systematic review: transient left ventricular apical ballooning: a syndrome that mimics ST-segment elevation myocardial infarction. Ann Intern Med. 2004 Dec 7; 141 (11): 858-65.
2. Tsuchihashi K, Ueshima K, Uchida T, Oh-mura N, Kimura K, Owa M, et al. Transient left ventricular apical ballooning without coronary artery stenosis: a novel heart syndrome mimicking acute myocardial infarction. Angina Pectoris-Myocardial Infarction Investigations in Japan. J Am Coll Cardiol. 2001 Jul; 38 (1): 11-8.
3. Abe Y, Kondo M, Matsuoka R, Araki M, Dohyama K, Tanio H. Assessment of clinical features in transient left ventricular apical ballooning. J Am Coll Cardiol. 2003 Mar 5; 41 (5): 737-42.
4. Desmet WJ, Adriaenssens BF, Dens JA. Apical ballooning of the left ventricle: first series in white patients. Heart. 2003 Sep; 89 (9): 1027-31.
5. Sharkey SW, Lesser JR, Zenovich AG, Maron MS, Lindberg J, Longe TF, et al. Acute and reversible cardiomyopathy provoked by stress in women from the United States. Circulation. 2005 Feb 1; 111 (4): 472-9.
6. Dec GW. Recognition of the apical ballooning syndrome in the United States. Circulation. 2005 Feb 1; 111 (4): 388-90.
7. Bybee KA, Prasad A, Barsness GW, Lerman A, Jaffe AS, Murphy JG, et al. Clinical characteristics and thrombolysis in myocardial infarction frame counts in with transient left ventricular apical ballooning syndrome. Am J Cardiol. 2004 Aug 1; 94 (3): 343-6.
8. Budhi S. Purwowiyoto. Kardiologi Kuantum (18): TheForce. Tabloid Profesi Kardiovaskuler (ISSN: 0853-8344). 2013 Mei; 195 (XIX): 3, 6.

Rehabilitasi Pasien Pasca Serangan Jantung, PCI dan CABG

REHABILITASI jantung adalah sekumpulan aktivitas yang terkoordinir untuk mengontrol penyebab penyakit kardiovaskular, mengembalikan pasien ke dalam kondisi fisik, mental dan sosial terbaiknya, sehingga dengan upayanya sendiri mereka dapat kembali ke fungsinya yang optimal di dalam komunitasnya melalui upaya perbaikan kebiasaan hidup, memperlambat atau bahkan mengembalikan progresivitas penyakitnya.
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa program rehabilitasi jantung banyak memberikan manfaat untuk pasien yang mengikutinya seperti menurunkan angka kematian secara keseluruhan maupun kematian karena penyakit kardiovaskular, mengurangi kekerapan masuk rumah sakit (RS), memperbaiki kualitas hidup dan kapasitas fungsional, dan meningkatkan kembali bekerja pasca penyakit jantung.
Program rehabilitasi jantung bertujuan untuk mengembalikan pasien dengan penyakit kardiovaskular atau individu berisiko tinggi untuk mengidap penyakit kardiovaskular ke kehidupan yang aktif dan produktif, secara fisik, sosial, pekerjaan, kehidupan seksual yang optimal, mencegah progresivitas proses atherosclerosis, mengurangi keluhan, mencegah serangan jantung berulang dan kematian mendadak, serta mendorong pola hidup sehat.
Program ini biasanya diindikasikan untuk pasien pasca serangan jantung, pasca operasi jantung baik bypass koroner/operasi katup/operasi kelainan jantung bawaan, pasien pasca revaskularisasi koroner non bedah (PTCA/PCI), pasien gagal jantung kronis, pasca transplantasi jantung/paru, pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer, atau pasien dengan kondisi-kondisi khusus, misalnya orang lanjut usia, wanita, atau berisiko tinggi penyakit jantung.
Program rehabilitasi dianggap komprehensif bila mengandung komponen-komponen penting berikut ini:
  • Pengkajian pasien
  • Konseling nutrisi / gizi
  • Pengelolaan berat badan 
  • Pengontrolan tekanan darah 
  • Tatalaksana lipid 
  • Tatalaksana diabetes
  • Upaya berhenti merokok 
  • Tatalaksana masalah psikososial 
  • Konseling aktifitas fisik
  • Program latihan fisik.


Untuk memberikan pelayanan rehabilitasi jantung yang komprehensif, biasanya diperlukan tim yang memadai, yang bisa terdiri dari dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dokter spesialis rehabilitasi medik, perawat terlatih, fisioterapis, ahli gizi, psikolog, pekerja sosial, atau mungkin juga dokter umum dan spesialis lainnya seperti dokter spesialis penyakit dalam, spesialis gizi klinik, psikiater, dll.

Fase program rehabilitasi jantung
Berdasarkan waktunya, program rehabilitasi jantung biasanya dikelompokkan ke dalam fase-fase:
Fase I adalah program yang diberikan ketika pasien masih berada di ruang perawatan. Program fase I bertujuan agar pasien segera mobilisasi, untuk mempercepat pemulangan dan mengurangi efek buruk tirah baring. Pasien diharapkan mampu melakukan aktifitas hariannya tanpa bantuan orang lain. Pada fase ini pasien dibantu melakukan mobilisasi dini, mendapatkan edukasi yang memadai mengenai penyakitnya, bagaimana melakukan aktifitas yang aman, mengenai obat-obatan yang dikonsumsi dan akan dikonsumsi, dan lain-lain.
Fase II, adalah program yang diberikan ketika pasien sudah keluar dari perawatan RS atau pada fase rawat jalan. Fase ini merupakan fase intervensi penting yang bertujuan adalah agar pasien segera mencapai target-target terapi dan mengontrol faktor risiko penyakitnya serta mampu kembali bekerja dengan tingkat kebugaran yang memadai. Pada fase ini diupayakan untuk mengatasi perkembangan penyakit lebih jauh atau mencegah progresifitas penyakit, mempersiapkan pasien kembali bekerja, atau melakukan aktifitas rekreasi atau aktifitas sehari- hari yang optimal, termasuk aktifitas seksual, serta untuk membuat dan membantu pasien melakukan program latihan secara aman dan efektif.
Program rehabilitasi jantung fase III, merupakan fase pemeliharaan, di saat pasien sudah dianggap memahami masalah faktor risiko, pencegahan, dan dapat kembali bekerja atau sudah memulai aktifitas fisik dan olahraga rutin dengan aman. Fase ini bertujuan untuk melanjutkan program untuk mengatasi progresifitas penyakit dan pencegahan sekunder, memelihara kondisi paling optimal dan melanjutkan pola hidup sehat yang dilakukan di rumah atau dengan komunitas di lingkungannya.
Pasien pasca serangan jantung (infark miokard akut), pasca angioplasty koroner (PTCA/PCI), atau pasca operasi bypass (CABG) mempunyai kesamaan masalah, yaitu mempunyai penyakit jantung koroner. Satu atau lebih pembuluh darah koroner mengalami oklusi/stenosis. Mereka mempunyai faktor risiko yang tidak terkontrol baik satu maupun lebih, sehingga program pengontrolan faktor risiko untuk mereka harus sama intensifnya. Setelah mereka mengalami serangan jantung atau intervensi harus dipastikan bahwa faktor risiko penyakitnya dapat terkontrol. Namun demikian untuk program rehabilitasi jantung mereka akan mempunyai perbedaan.
Pasien pasca PTCA/PCI pada umumnya mempunyai kondisi yang lebih baik. Saat ini tindakan angioplasty hanya menyisakan luka kecil di pergelangan tangan karena tindakannya melalui arteri radialis. Luka tersebut pada umumnya tidak mengganggu pergerakan pasien dibanding sebelumnya yang sering menggunakan teknik tindakan melalui arteri femoral yang memerlukan istirahat baring sekitar 1 hari.
Pada pasien serangan jantung/infark miokard akut juga terjadi perkembangan pengobatan dan tatalaksana penyakit yang sangat agresif sehingga perawatan pasien infark miokard akut menjadi sangat pendek. Pada masa silam pasien dengan serangan jantung dirawat dengan tirah baring sekitar 3 minggu, sehingga secara teoritis akan terjadi efek dekondisioning akibat penyakitnya maupun akibat perawatannya.


Setiap hari ada beberapa tahap kegiatan yang memfasilitasi pasien memulai mobilisasi baik pasif maupun aktif, baik di tempat tidur, kamar perawatan, maupun ruangan perawatan. Saat ini pasien yang mengalami infark miokard akut mendapat pengobatan reperfusi dengan obat bahkan dengan intervensi koroner (PTCA) sehingga waktu perawatan menjadi sekitar 3-5 hari saja, dan seringkali sudah menjalani revaskularisasi komplit.
Program fase I tidak lagi dilakukan seperti sebelumnya dengan program fisioterapi bertahap, tetapi perlu lebih banyak membekali pasien dengan edukasi bagaimana melakukan upaya pencegahan sekunder, agar pasien patuh terhadap pengobatan, mampu melakukan pengontrolan faktor risiko dan mencapai targetnya secara mandiri serta memahami keluhan yang memerlukan penanganan segera. Pada pasien infark miokard akut yang belum menjalani revaskularisasi, perlu dilakukan stratifikasi risikonya apakah perlu dilakukan tindakan intervensi koroner segera atau dapat dilakukan secara terencana setelah pasien menjalani rawat jalan.
Setiap pasien tentu mempunyai penekanan dan kebutuhan yang berbeda-beda terhadap program mana yang lebih diutamakan atau didahulukan atau diperbanyak. Pada pasien pasca PTCA pada umumnya tidak ada penurunan kemampuan dalam melakukan aktifitas fisik dan tidak memerlukan bantuan untuk memulai kegiatannya. Sehingga program latihan fisik secara khusus atau tersupervisi nyaris tidak diperlukan atau tidak perlu dilakukan di rumah sakit, tetapi dapat diberikan program latihan yang dapat dilakukan di rumah.
Pada kelompok pasien pasca CABG, PTCA atau serangan jantung memerlukan edukasi yang sama mengenai pengontrolan faktor risiko dan pencapaian targetnya. Berbeda misalnya dengan pasien pasca operasi katup jantung yang penekanan edukasinya pada penggunaan antikoagulan yang patuh dan aman, kepatuhan dan perhatian yang harus diketahuinya, serta pencegahan infeksi sistemik untuk mencegah infeksi yang menyebabkan peredaran kuman ke dalam pembuluh darah dan dapat menetap di jantung.

Pelaksanaan program prevensi sekunder
Melihat pentingnya program rehabilitasi jantung ini dan sekarang disebut sebagai program prevensi sekunder, maka perlu dipastikan bahwa program ini dilaksanakan pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular, baik yang telah dirawat atau yang belum dirawat tetapi mempunyai risiko tinggi. Program ini harus menjadi kesatuan dalam penanganan pasien bahkan harus tercantum dalam Pedoman Praktek Klinik untuk penyakit-penyakit yang diindikasikan.
Selain upaya melakukan pengobatan terhadap pasien dengan penyakit jantung atau bahkan tindakan non bedah maupun tindakan bedah, program pencegahan dan pengurangan kecacatan akibat penyakit kardiovaskular sangat penting, mengingat tingginya kematian akibat penyakit ini dan juga dapat menyebabkan penurunan produktifitas.
Dalam pelaksanaannya baik di dalam rumah sakit maupun di komunitas, program ini mempunyai banyak penghalang. Ketersediaan fasilitas pelayanan rehabilitasi jantung yang komprehensif masih jarang, sehingga tidak semua pasien bisa mendapatkan layanan ini. Selain investasi yang besar untuk menyediakan ruangan atau tempat dan peralatan, juga ketersediaan petugas dan dokter yang lengkap dan terlatih menyebabkan ketersediaan fasilitas dengan program layanan rehabilitasi jantung yang lengkap masih sulit didapat.
Kalaupun fasilitas yang lengkap ini tersedia di suatu kota, keterjangkauan merupakan masalah berikutnya. Karena pada umumnya pasien pasca serangan jantung atau pasca operasi mengalami keterbatasan untuk bepergian bila harus menggunakan kendaraan umum, atau tanpa pengantar.
Pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular yang saat ini cenderung lebih muda dan dalam masa produktif bekerja mempunyai kesulitan bila setelah perawatan pasien tersebut harus kembali ke rumah sakit untuk menjalankan program rehabilitasi, karena pasien harus atau akan segera kembali bekerja segera setelah merasakan mampu secara fisik.
Selain masalah pada fasilitas dan pasien, rujukan dari dokter yang kurang juga mengakibatkan rendahnya cakupan program rehabilitasi jantung. Dokter tidak merujuk atau merekomendasikan karena berbagai pertimbangan, selain menganggap tidak perlu, tidak tahu, atau menganggap pasien terlalu berat kondisinya atau terlalu tua. Masalah lain yang tak kalah penting adalah pembiayaan yang masih dirasakan mahal, atau di luar tanggungan asuransi. Masih jarang asuransi yang menanggung pelayanan pencegahan atau rehabilitasi, sehingga pasien harus membayar pelayanan tersebut.
Program rehabilitasi jantung harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam menangani pasien dengan serangan jantung, pasca PTCA atau pasca operasi jantung. Penelitian menunjukan manfaat yang besar untuk pasien baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pelaksanaannya memerlukan pengkajian pasien yang memadai agar dapat memberikan program yang sesuai untuk kondisi pasiennya, karena setiap pasien akan memerlukan program yang berbeda. Masih terdapat banyak halangan untuk pasien mendapatkan pelayanan rehabilitasi jantung yang komprehensif.*

DR. Dr. Basuni Radi, SpJP(K)
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita

PP PERKI Lantik Empat Pengurus Baru PERKI Daerah 2016-2018

TAHUN ini boleh dibilang tahun pelantikan bagi Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Setidaknya ada empat pengurus baru PERKI Daerah yang dilantik sejak awal tahun ini.
Pengukuhan para pengurus baru tersebut dimulai di Batam. Di sela-sela seminar 1st Batam Acute Cardiovascular Care (BACC), yang diadakan di Haris Hotel Batam Center, Riau, telah dilangsungkan pelantikan PERKI Batam periode 2016-2018, pada 18 Februari 2017. Ketua Pengurus Pusat (PP) PERKI, DR Dr Ismoyo Sunu, SpJP(K) FIHA, melantik Dr. Stanley Panggabean, SpJP, FIHA menjadi ketua PERKI Batam.
Tak lama kemudian, sebulan berikutnya, PP PERKI melantik para pengurus PERKI Manado, Sulawesi Utara untuk masa bakti 2016-2018, tepatnya pada Sabtu, 11 Maret 2017 bertempat di Swiss-Belhotel Maleosan Manado. Saat itu, para anggota memilih dr Janry A. Pangemanan, SpJP(K), FIHA sebagai Ketua PERKI Manado.
Para anggota PERKI Balikpapan tak ketinggalan. Mereka juga melantik pengurus baru untuk periode 2016-2018, berlangsung di Hotel Gran Senyiur, Balikpapan, pada Jumat, 19 Mei 2017. Acara itu berlangsung sesaat sebelum dilangsungkannya acara Koperki XVI. Saat itu, Ismoyo Sunu sebagai Ketua PP PERKI menobatkan Dr Mas Kusharyadi SpJP, FIHA sebagai ketua.
Terakhir kali, DR Ismoyo bertolak ke Surabaya, Jawa Timur. Bertempat di Hotel Four Points Sheraton Surabaya telah diadakan acara pelantikan pengurus baru PERKI Surabaya, pada tanggal 8 Juli 2017. Saat itu, dr Yudi Her Oktaviono, SpJP(K), FIHA dinobatkan sebagai ketua untuk masa bakti 2016-2018. Selamat mengabdi dan berkarya! 
[Tim InaHeartnews]

Pelantikan Pengurus PERKI Batam

Pelantikan Pengurus PERKI Manado

Pelantikan Pengurus PERKI Balikpapan

Pelantikan Pengurus PERKI Surabaya

World Hypertension & Heart Day 2017: Jaga Jantung, Jaga Tekanan Darah

Informasi cara menjaga kesehatan jantung harus terus digalakkan. PERKI Pusat dan Daerah merayakan kesehatan jantung dengan berbagai acara.

KNOW Your numbers! Alias Ketahui Tekanan Darahmu! Begitulah tema Hari Hipertensi Dunia 2017 yang dirayakan bulan Mei setiap tahun. Dengan mengetahui dan mengawasi tekanan darah, kesehatan jantung diharapkan dapat terjaga. Indonesia sendiri menambahkannya dengan tema nasional sendiri yakni “Cegah Hipertensi dengan Pendekatan Keluarga”.
Departemen Kesehatan menyatakan tema nasional itu dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat yang dimulai dari keluarga untuk mencegah dan mengendalikan hipertensi. Selain itu juga masyarakat diharapkan dapat melakukan pengukuran tekanan darah secara berkala dan bahwa hipertensi dapat dicegah dan diobati.
Maklum saja, data World Health Organization (WHO) tahun 2011 menunjukkan satu milyar orang di dunia menderita hipertensi. Yang menarik, sebanyak 2/3 diantaranya berada di negara berkembang yang berpenghasilan rendah sampai sedang. Bahkan jika kondisi saat ini berlarut-larut, WHO meramalkan prevalensi hipertensi akan terus meningkat tajam dan pada 2025 sebanyak 29% orang dewasa di seluruh dunia terkena hipertensi.
Padahal hipertensi telah mengakibatkan kematian sekitar 8 juta orang setiap tahun, yang mana 1,5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara yang 1/3 populasinya menderita Hipertensi sehingga dapat menyebabkan peningkatan beban biaya kesehatan.
Masih menurut WHO, hipertensi yang tidak mendapat penanganan yang baik dapat menyebabkan komplikasi seperti stroke, penyakit jantung koroner, diabetes, gagal ginjal dan kebutaan. Stroke (51%) dan Penyakit Jantung Koroner (45%) merupakan penyebab kematian tertinggi. Menurut data sample registration system (SRS) Indonesia tahun 2014, hipertensi dengan komplikasi (5,3%) merupakan penyebab kematian nomor lima pada semua umur.
Tentu saja, Hari Hipertensi ini dirayakan dengan berbagai kegiatan kesehatan. Sejumlah lembaga profesi dan kesehatan pun bekerja sama dan sibuk merayakannya. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dan Perhimpunan Hipertensi Indonesia (PERHI) menyelenggarakan “Bulan Pengukuran Tekanan Darah” pada 1-31 Mei. Mereka juga melaksanakan sosialisasi dan diseminasi informasi tentang hipertensi melalui berbagai media cetak, elektronik dan media tradisional serta pemasangan spanduk, umbul-umbul berisi pesan tentang hipertensi.
PERKI cabang di beberapa daerah juga merayakannya. Misalnya saja, PERKI Surabaya memusatkan perayaan di Taman Bungkul Surabaya, Mei silam. Acara yang diselenggarakan bareng Yayasan Jantung Indonesia ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengukur tekanan darah secara rutin.
Acara dimulai dengan senam pagi di lapangan tengah Taman Bungkul yang diikuti oleh panitia serta para pengunjung taman, yang juga sedang menikmati car free day di Jalan Raya Darmo.
Perayaan kesehatan jantung ini masih berlanjut pada September dengan memperingati world Heart Day atau Hari Jantung Sedunia. Di berbagai daerah melaksanakan beragam perayaan mulai dari seminar kesehatan jantung untuk awam, senam jantung, senam zumba, parade jantung, kampanye kesehatan jantung oleh para artis dan seniman hingga tak lupa pelatihan Basic Life Support untuk awam.
[Tim InaHeartnews]

 Kemeriahan World Heart Day oleh PERKI Surabaya.

PERKI Palembang turut memeriahkan Hari Jantung Sedunia.

Selamat! Dr Yoga Yuniadi Menjadi Profesor Aritmia FKUI


2017 merupakan tahun bersejarah bagi Dr dr Yoga Yuniadi, SpJP(K). Betapa tidak, pada 22 Agustus lalu, Yoga resmi menyandang gelar profesor aritmia. Syukuran pengukuhan Prof Dr dr Yoga Yuniadi SpJP(K), FIHA, FAsCC sebagai guru besar bidang ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (Aritmia) Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dilaksanakan di Auditorium lantai 4 Gedung Satu RS Jantung Harapan Kita, Jakarta.
“Kemajuan di bidang aritmia belum bisa dinikmati secara luas oleh pasien-pasien di Indonesia karena sampai saat ini masih terdapat kendala besar dalam pelayanan aritmia di Indonesia, antara lain masih minimnya dokter subspesialis aritmia,” kata Yoga dalam siaran pers.
Sebenarnya, Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) telah lama mengembangkan unit aritmia sejak awal 1990 untuk melayani para penderita gangguan irama jantung ini. Namun menurut Yoga, minat terhadap bidang aritmia masih minim. Yaitu dengan hanya ada 28 orang subspesialis aritmia dari 1.000 dokter spesialis jantung pembuluh darah yang ada saat ini. Jadi dalam kurun waktu 15 tahun, subspesialis aritmia hanya bertambah 26 orang saja.
"Aritmia seringkali dianggap sulit dipelajari karena harus dipahami dalam konteks mekanisme yang bersifat virtual. Struktur anatomi yang melatarbelakangi aritmia tidak kasatmata tetapi harus dibayangkan. Hal ini menjadikan aritmia unik dan membutuhkan upaya yang lebih banyak untuk mempelajarinya,” tutur Yoga.
Keadaan tersebut menyebabkan hanya sedikit para spesialis jantung dan pembuluh darah muda yang tertarik untuk belajar aritmia. Ditambah lagi apresiasi yang diberikan juga dirasakan masih tidak sepadan dibandingkan tingkat kesulitan dan risiko yang dihadapi seorang aritmologis.
Di Indonesia, epidemiologi aritmia tidak berbeda jauh dengan negara lain. Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering didapatkan di klinik. Tidak jarang stroke merupakan manifestasi klinis pertama dari FA. Dalam hal ini dokter ahli saraf menjadi titik masuk pertama menuju diagnosis FA. FA merupakan suatu penyakit terkait umur (aging disease). Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang.
Yoga memaparkan data, sampai saat ini, implantasi device (alat pacu jantung, ICD dan CRT) di Indonesia masih sangat rendah (hanya 2 per sejuta penduduk), lebih rendah dari Singapura (185), Thailand (59), Malaysia (39). Bahkan lebih rendah dari Filipina (9) dan Myanmar (6). (Ref: Medtronic Marketing Research, 2012).
Oleh karena itu diperlukan lebih banyak dokter ahli aritmia, juga diperlukan terobosan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di tanah air. Oleh karena itu, Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) menginisiasi suatu program terobosan yang disebut dengan Integrated Implanter Crash Program (I2CP).
Yoga berharap integrated implanter crash program (I2CP) dapat terus digalakkan. Program ini terdiri dari (1) sepekan internet based learning yang diakhiri dengan ujian teori, (2) workshop dan wet lab, dan (3) proctorship 5 kasus di tempat masing-masing peserta.
“Dengan metoda ini telah dihasilkan 92 implanter baru dan 86 di antaranya aktif melakukan implantasi alat pacu jantung menetap. Saya optimis, tahun 2030 kita dapat memiliki 100 orang subspesialis aritmia yang aktif dan lebih banyak implanter untuk memberikan pelayanan yang lebih baik," katanya lagi.
[Tim InaHeartnews]



Harapan dan Tantangan Kardiovaskular PERKI Banda Aceh

PERKI Aceh mengadakan berbagai kegiatan pembinaan dan layanan kesehatan kepada masyarakat. Mulai dari yang santai, serius hingga ilmiah.


DATA yang ditunjukkan Riskesdas 2013 ini memang layak diwaspadai. Berdasarkan survei wawancara, prevalensi jantung koroner berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5% dan berdasarkan gejala sebesar 1,5%. Nah, hasil prevalensi jantung koroner berdasarkan diagnosis dokter yang tertinggi adalah Sulawesi Tengah yakni sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing- masing sebesar 0,7 %.
Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut gejala yang tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur yakni sebesar 4,4%, kemudian diikuti Sulawesi Tengah sebesar 3,8%, Sulawesi Selatan sebesar 2,9%, dan Sulawesi Barat 2,6%. Prevalensi PJK di Indonesia terlihat meningkat seiring peningkatan umur.
Tak pelak lagi, berdasarkan Riskesdas, kawasan Banda Aceh dapatlah dikategorikan sebagai daerah “rawan serangan jantung”.
Inilah yang menjadi tantangan bagi para anggota dan pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Aceh mengantisipasi dan menekan angka kejadian penyakit jantung.
“Kami menyadari sepenuhnya bahwa hingga saat ini masih begitu banyak permasalahan yang terkait dengan kesehatan jantung dan pembuluh darah di provinsi Aceh,” tutur dr. Muhammad Ridwan, MAppSc, SpJP, FIHA, Ketua PERKI Aceh.
Ridwan menyebutkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular tersebut dibarengi dengan kondisi belum terpenuhinya jumlah ahli jantung yang memadai di tiap-tiap kabupaten/kota di Aceh.
Sebab itulah, lanjut Ridwan, PERKI Banda Aceh ikut bertanggungjawab dalam pengembangan pelayanan dan pendidikan kardiovaskular di Aceh. “Kami terus mengadakan aktivitas berupa meningkatkan peran aktif dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang difokuskan pada upaya pengenalan & citivitas diri penyakit kardiovaskular di tengah masyarakat,” katanya.
Mulai dari simposium dan workshop, pelatihan ACLS, pelatihan EKG, Round Table Discussion, pengabdian masyarakat, edukasi kepada masyarakat melalui surat kabar, radio, TVR, menjalin kerjasama dengan beberapa rumah sakit kabupaten/kota, hingga memberikan tausiyah di masjid-masjid.
Peningkatan kemampuan anggota juga menjadi bagian penting dari aktivitas PERKI Aceh. “Tantangan kehadiran dokter-dokter dari kawasan ASEAN dalam rangka penerapan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) masih menjadi tantangan besar bagi PERKI Banda Aceh,” tuturnya.
Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) anggota PERKI dilaksanakan berbagai program pendidikan berkelanjutan seperti fellowship training dan pendidikan Doktor. Selain itu PERKI Banda Aceh ikut berperan aktif bersama pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dalam menyiapkan pembukaan program studi pendidikan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.
“Diharapkan dapat dimulai prosesnya tahun ini,” kata Ridwan. Banyak yang berharap hasil pendidikan ini dapat memenuhi kebutuhan ideal dokter ahli jantung baik untuk seluruh provinsi Aceh maupun kebutuhan SpJP di seluruh pelosok negeri.
Tentu saja, dalam melaksanakan berbagai misinya PERKI Aceh menempuh strategi “sersan” alias serius tapi santai. Misalnya PERKI pernah mengadakan acara Asian Medical Students’ Association (AMSA) Universitas Syiah Kuala di Blang Padang Banda Aceh, Desember silam bersama dengan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Tapi kegiatan itu diawali dengan olah raga dan pemeriksaan darah gratis kepada seluruh masyarakat. “Tak lupa juga kita adakan jalan santai di Blang Padang,” kata Ridwan.
Bicara soal jalan, kegiatan itu memang menjadi acara rutin PERKI Aceh. “Untuk menjalin keakraban sesama anggota kami mengadakan ramai-ramai jalan-jalan ke Padang dan tempat wisata lainnya, Mei lalu,” kata Ridwan.
PERKI Aceh juga terus berusaha meningkatkan jalinan kerja dengan institusi pemerintah dan swasta. Pertengaham Mei lalu, mereka mengadakan jamuan makan bersama dengan PT Astelas, Mei lalu. Uniknya, makan bersama antara seluruh anggota PERKI dan karyawan Astelas ini dilaksanakan dalam suasana adat istiadat Aceh. “Tentu hidangan yang disediakan juga ada citarasa makanan khas Aceh,” kata Ridwan.
Tak ketinggalan, seperti lembaga profesi lainnya, PERKI Aceh juga secara rutin melakukan bakti sosial. Terakhir kali mereka mengadakan di kawasan pedalaman Kecamatan Danau Paris, Kabupaten Singkil pada 24 April hingga 8 Mei 2016.

Jalan-jalan ke Padang.

Bakti sosial dan pelatihan ACLS.

Ridwan berharap berbagai program yang dilaksanakan PERKI Aceh kepada masyarakat awam dapat bermanfaat. “Kami bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat luas, memberikan pemeriksaan gratis di setiap kegiatan yang dilakukan PERKI, serta bisa sharing pengetahuan tentang pentingnya menjaga kesehatan," katanya.
PERKI Aceh memang tergolong muda dibandingkan dengan PERKI Daerah lainnya, didirikan pada April 2015. Menyadari masih banyak yang harus dibangun dan dibina, serta tantangan yang ada, Ridwan berharap dukungan penuh dari teman sejawat.
“Bimbingan dari PP PERKI tentu sangat kami harapkan agar berbagai program kerja ke depan yang telah kita siapkan dapat berjalan dengan baik sehingga pelayanan dan pendidikan kardiovaskular dapat menjadi unggulan di provinsi Aceh," katanya lagi. 
[Tim InaHeartnews]

PERKI JAYA: Lebih Mantab dengan Sekretariat Baru

PERKI Jaya mengawali kepengurusan baru dan kantor sekretariat baru. Aktivitas apa saja yang telah dilakukan?

PELATIHAN, seminar ilmiah dan mengurus anggota. Begitulah tugas rutin utama yang diemban pengurus sekretariat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia Cabang Jakarta Raya (PERKI Jaya). Di samping tugas-tugas utama itu, tentu saja, para pengurus sekretariat PERKI Jaya masih memiliki seabrek tugas lain.
Namun, ada acara penting yang ditunggu-tunggu para anggota PERKI Jaya yakni pindah ke kantor baru ke PERKI House yang terletak di Jalan Danau Toba 139 A-C, Bendungan Hilir, Jakarta.
Bangunan ruko tiga lantai itu diharapkan dapat lebih meningkatkan produktifitas dan lebih leluasa menjalankan aktivitas sekretariat. “Secara resmi nanti pindah ke PERKI House, di Bendungan Hilir, Tanah Abang. Namun untuk kantor sementara yang kita tempati sekarang masih kita pakai juga untuk kantor operasional karena letaknya dekat dengan tempat berbagai kegiatan seperti pelatihan-pelatihan. Nanti di PERKI House untuk kantor administrasi,” tutur staf sekretariat PERKI Jaya, Syuaib yang bertugas menata masalah keanggotaan dan hubungan luar. Selain Syuaib, ada Mbak Nisa yang selalu mengurus berbagai event di PERKI Jaya dan Mbak Nani yang mengatur rumah tangga sekretariat.
Sementara ini, aktivitas sekretariat masih berlangsung di salah satu ruangan di lantai 4 Pusdiklat RS Jantung Harapan Kita, Jakarta. Dari sanalah, sekretariat menjalankan berbagai aktivitas. Misalnya saja, acara rutin yang selalu dihadirkan oleh PERKI Jaya, antara lain pelatihan EKG sebanyak 3 kali sebulan.
“Tempatnya selalu kami laksanakan kadang-kadang di Wisma Fit (belakang RSIA Harapan Kita --red) atau di Hotel Bamboo Inn, di Jalan Kota Bambu (di samping RS Jantung Harapan Kita –red). Disesuaikan dengan jadwal dan situasi. Namun untuk ke depannya mungkin akan memilih di satu tempat saja,” tutur Syuaib.
Selain itu, PERKI Jaya mengadakan Jakarta Cardiovascular Summit (JCS) pada akhir tahun ini. “Insya Allah tahun ini, di bulan Oktober, tanggal 14-15 Oktober di Sheraton Hotel bersamaan dengan diadakannya acara ISICAM. Jadi nanti di sana, ada dua penyelenggara, satu tempat dan waktu, namun obyeknya berbeda. ISICAM lebih ditujukan untuk dokter-dokter spesialis, sedangkan JCS untuk dokter umum dan perawat".
PERKI Jaya juga memiliki berbagai kegiatan handalan untuk mengasah keahlian anggotanya. Misalnya mengadakan beragam pelatihan seperti pelatihan BHD/BLS untuk perusahaan-perusahaan yang berminat. “Ini dalam rangka edukasi kepada sumber daya manusia (SDM) mereka bahwa BHD perlu dimiliki terutama para securitynya,” kata Syuaib.
Untuk itulah, Syuaib berharap untuk pengurus PERKI Jaya yang terpilih saat ini dapat lebih bergiat lagi menggiatkan aktivitas anggotanya. Apalagi kini jumlah anggota sekarang makin banyak. “Sudah mencapai 230 orang lebih, jadi perlu ditata dengan baik,” kata Syuaib.
Yang terpenting lagi, PERKI Jaya harus dapat mengayomi anggota. Saat ini, lanjut Syuaib, para pengurus PERKI Jaya sejak awal penerimaan atau pun perekrutan anggota sudah mengadakan berbagai pertemuan. “Jadi mereka sudah saling kenal. Bahkan kami juga sudah bikin acara santai yang fun sehingga terjalin komunikasi antara anggota junior dan senior,” kata Syuaib.
Tak hanya itu, lanjut Syuaib, di bawah kepengurusan PERKI Jaya yang dilantik pada Oktober silam, berbagai aktivitas keorganisasian mulai berlangsung lancar. “Untuk pengajuan surat-surat administrasi dan rekomendasi lebih mudah karena Ketua dan Sekjen ada di kawasan RS Harapan Kita. Kecuali jika mereka lagi tugas keluar kota atau cuti. Khusus untuk masalah keuangan memang harus ke RS Fatmawati dulu. Namun selama ini lancar-lancar saja,” katanya.
Lantas, apakah para pejabat PERKI Jaya juga kerap turun gunung melihat sekretariat? “Dibilang sering juga tidak karena mereka sangat sibuk, namun mereka sering memonitor via telepon atau WhatsApp. Mungkin karena sekretariat saat ini masih sementara. Kalau sudah pindah nanti mereka akan lebih sering datang ke sekretariat," tuturnya lagi. 
[Tim InaHeartnews] 

PARA STAF SEKRETARIAT PERKI JAYA: Pak Syuaib, Mbak Nani dan Mbak Nisa


Susunan Pengurus PERKI Jaya Masa Bakti 2016-2018

DEWAN PENASEHAT:
Dr. dr. Ismoyo Sunu, SpJP, FIHA
Dr. dr. Indriwanto S. Atmosudigdo, SpJP, FIHA
dr. Ismi Purnawan, SpJP, FIHA, MARS

Ketua : Dr. dr. Doni Firman, SpJP, FIHA
Wakil Ketua : dr. Hengkie F Lasanudin,SpJP, FIHA
Sekretaris : dr. Siska Suridanda Danny, SpJP, FIHA
Wakil Sekretaris : dr. Puti Sarah Saus, SpJP, FIHA
Bendahara : dr. Diah Retno Widowati, SpJP, FIHA
Wakil Bendahara : dr. Yasmina Hanifah, SpJP, FIHA

DEPARTEMEN KEANGGOTAAN, REGULASI DAN REKOMENDASI
Koordinator : dr. Heru Chandratmoko, SpJP, FIHA
Anggota :
dr. Tjatur Bagus Gunarto, SpJP, FIHA
dr. Yahya Berkahanto Juwana, SpJP, PhD,FIHA
Dr. dr. Amiliana Mardiani Soesanto, SpJP,FIHA

DEPARTEMEN PENGEMBANGAN ORGANISASI, ADVOKASI-LEGISLASI KEBIJAKAN DAN ETIKA
Koordinator : dr. Dolly RD Kaunang, SpJP, FIHA, SpKP
Anggota :
Prof. Dr. dr. Zainal Mustafa, SpJP, FIHA
dr. Ismugi, SpJP, FIHA
dr. Dafsah Arifa Juzar, SpJP, FIHA

DEPARTEMEN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN (P2KB)
Koordinator : dr. Daniel PL Tobing, SpJP, FIHA
Anggota :
dr. Henry AP Pakpahan, SpJP, FIHA
dr. Amir Azis Alkatiri, SpJP, FIHA
dr. Vireza Pratama, SpJP, FIHA

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN ANGGOTA DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
Koordinator : dr. Frits RW Suling, SpJP, FIHA
Anggota :
dr. Betriza, SpJP, FIHA
dr. Hermawan, SpJP, FIHA
dr. Dyna Evalina Syahlul, SpJP, FIHA

DEPARTEMEN PENGEMBANGAN KEMITRAAN DAN KERJASAMA
Koordinator : dr. Taofan, SpJP, FIHA
Anggota :
dr. Zainuddin, SpJP, FIHA
dr. Elisa Feriyanti Pakpahan, SpJP, FIHA
dr. Wishnu Aditya Widodo, SpJP, FIHA

DEPARTEMEN MEDIA INFORMATIKA DAN PUBLIKASI
Koordinator : dr. Adrianus Kosasih, SpJp, FIHA
Anggota :
dr. Andria Priyana, SpJP, FIHA
dr. Luly Nur Wally, SpJP, FIHA

Pendidikan Kardiologi Harus Merata!

Penyelenggaraan pendidikan kardiologi saat ini dinilai sudah cukup memadai. Kualitas dan kemampuannya tidak kalah dengan luar negeri. Namun penyebaran lembaga pendidikan belum merata untuk semua wilayah.

PENYELENGGARAAN pendidikan kardiologi Indonesia sebenarnya cukup memadai dan tidak kalah mutunya dengan pendidikan kardiologi di luar negeri. Namun tentu saja masih banyak yang harus diperjuangkan dan diperbaiki.
Setidaknya, begitulah pendapat Dr Otte J Rachman, SpJP(K). “Masalah penyelenggaraan pendidikan kardiologi memang cukup kompleks. Banyak pihak yang terlibat dan harus dilibatkan,” kata Otte dalam perbincangannya dengan InaHeartnews, akhir September.
Salah satu yang menjadi perhatian Otte dalam pendidikan kardiologi adalah tidak meratanya penyelenggaraan tersebut. Akibatnya, suatu wilayah atau daerah tertentu memiliki fasilitas dan mutu pendidikan yang lebih baik ketimbang daerah lain. “Ini akibatnya, hasil pendidikan tersebut, yakni para dokter spesialis, tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien di wilayahnya sendiri,” kata Otte.
Masalah tidak merata ini, lanjut Otte, tidak hanya terjadi pada penyelenggaraannya, tetapi juga pada ketersediaan fasilitas pendidikan yang ada. Akibatnya, kadang-kadang suatu lembaga pendidikan kedokteran di suatu wilayah terpaksa mengirimkan anak didiknya ke Pusat, atau kota-kota besar yang memiliki fasilitas pendidikan tersebut.
“Jadi penyebaran fasilitas pendidikan ini juga harus diperhatikan selain tentu saja penyelenggaraannya,” kata Otte. Sehingga pemerintah dan lembaga pendidikan kedokteran juga harus memperhatikan kedua aspek tersebut. “Bukan hanya perkara pendidikannya saja, tetapi juga fasilitasnya. Itu pun harus diperhatikan penyebarannya, untuk menghasilkan dokter-dokter yang berkualitas,” katanya.
Menurut pandangan dan pengamatan Otte, kondisi penyelenggaraan yang tidak merata ini juga terjadi di sejumlah negara berkembang seperti di Indonesia. Di Jakarta dan kawasan kota-kota besar lainnya memang telah terselenggara dengan baik. Tetapi di wilayah tertentu, apalagi di luar Pulau Jawa, harus mendapat perhatian dan perbaikan.
Lantas kira-kira apa yang harus dilakukan? Menurut Otte, pemerintah, swasta dan para dokter harus duduk bareng menyelesaikan masalah ini. Penyelenggaraan pendidikan, sivitas akademika, termasuk berbagai fasilitas penunjang haruslah dipenuhi dan dengan penyebaran yang merata.
Setelah itu, lanjut Otte adalah bagaimana membuat kerja sama ini langgeng. Salah satunya adalah dengan memupuk rasa percaya antar berbagai pihak ini secara terus menerus. “Masalahnya antara lembaga dan kelompok ini memang tidak saling percaya. Masing-masing pihak selalu menuntut secara berlebihan kepada pihak lainnya. Jadi kalau ini terus terjadi agak susah juga membentuk suatu sistem yang baik. Jadi di sini kita harus saling tolong menolong dan harus saling percaya dengan niat baik masing-masing,” katanya.
Padahal, menurut Otte, potensi pengembangan penyelenggaraan pendidikan kardiologi besar sekali. “Artinya, pendidikan di sini tidak kalah jika dibandingkan dengan luar negeri. Sama saja, relatif tidak ada perbedaan yang berarti. Kita juga mampu menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas,” katanya.
Jika itu telah terpenuhi, maka lembaga pendidikan kedokteran dapat memenuhi standar pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan.*
[Tim InaHeartnews]


dr. Otte J Rachman, SpJP(K) (kiri) beserta kolega.


Senin, 18 September 2017

Asmiha 2017: Upaya Mengatasi Tantangan "Universal Health Coverage"

Sejak Perki berdiri pada 1957 hingga sekarang, tetap konsisten mengatasi penyakit jantung dan pembuluh darah mulai dari fetal hingga geriatric. Suatu sistem pelayanan kesehatan terpadu sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia.


UNIVERSIAL Health Coverage, itulah yang menjadi tantangan dan pemikiran para tokoh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Hal itu tercetus dalam sambutan yang diberikan Ketua PERKI DR Dr Ismoyo Sunu, SpJP(K), FIHA, FAsCC, dalam acara tahunan ilmiah Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association (Asmiha). Tahun ini, Asmiha 2017 dihelat pada tanggal 20-23 April di Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta dengan mengambil tema "Pendekatan Multi Disipliner untuk Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Semua Tingkatan Layanan Kesehatan".
Asmiha ke-26 ini dihadiri oleh sekitar 1.800 profesional kesehatan. Acara ini juga menampilkan berbagai pencapaian di bidang kardiovaskular, seperti bidang pencegahan, juga kemajuan teknologi kesehatan dan penelitian. Banyak materi yang dibahas, seperti acute cardiac practice, gagal jantung, prevensi kardiovaskular, hipertensi, sindrom kardiometabolik, bedah dan masih banyak lagi. Perhelatan Asmiha diharapkan dapat merangsang ide-ide penelitian bagi para profesional kesehatan.
"Pelayanan kardiovaskular di Indonesia saat ini menghadapi tantangan dalam era Universal Coverage. Dokter dituntut agar dapat bekerja dalam system sehingga dapat membantu Pemerintah dalam control kualitas dan biaya kesehatan masyarakat," tutur Ismoyo Sunu.
Di sisi lain, lanjut Ismoyo, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai sebuah milestone pelayanan kesehatan Indonesia, berperan penting dalam upaya pengobatan kardiovaskular yang luas di masyarakat. Sehingga bukan hanya penyakit kardiovaskular yang ringan saja tetapi juga banyak terdiagnosis penyakit gagal jantung lanjut, penyakit iskemik miokard lanjut dan penyakit vaskuler peripheral.
"Fakta ini, semakin memperkuat komitmen PERKI untuk terus meng-update ilmu pengetahuan kardiovaskular bagi para dokter di Indonesia melalui penyelenggaraan Asmiha tiap tahunnya. Sejak berdirinya PERKI pada 1957 hingga sekarang, perhimpunan ini tetap konsisten dalam mengatasi secara optimal masalah penyakit jantung dan pembuluh darah mulai dari fetal hingga geriatric," kata Ismoyo.
Hal itu juga yang ditekankan DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA, FAsCC, FESC, FACC, FICA, Ketua Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah PERKI. Anwar mengutip data Riskesdas 2013. Di sana disebutkan angka kematian paling tinggi pada penyakit cerebrovaskular atau stroke sebanyak 27%, diikuti oleh hipertensi, penyakit jantung iskemik, diabetes, dan penyakit paru. Itu semua masuk kedalam kategori penyakit tidak menular yang berada di angka 60-65%.
"Jika tidak dilakukan upaya pencegahan pada penyakit­penyakit ini, maka negara ataupun masyarakat akan menanggung beban pembiayaan pengobatan. Di negara yang sudah maju, prevalensi dan faktor risiko penyakit kardiovaskular menurun, tetapi untuk negara yang masih berkembang malah meningkat. Sayangnya negara berkembang memiliki anggaran kesehatan yang lebih sedikit dibandingkan negara maju," katanya.
Sebab itulah kemudian, Anwar menyatakan Indonesia memerlukan sistem pelayanan kesehatan terintegrasi khususnya untuk penyakit kardiovaskular. Pelayanan terintegrasi maksudnya adalah pelayanan yang komprehensif, yang dimulai pada Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang terdiri dari Strata Layanan Primer (Puskesmas atau Klinik Pratama), Sekunder (RS kelas C dan D), maupun Layanan Tersier (RS Kelas A dan B).
"Dalam sistem yang terintegrasi jika pasien dari layanan primer tidak bisa ditangani, ia tidak bisa langsung dirujuk ke layanan tersier, pasien harus melalui layanan sekunder terlebih dahulu. Seharusnya 75% masalah penyakit jantung dan pembuluh darah dapat diselesaikan di layanan primer, lalu selebihnya jumlah 25% bisa dirujuk ke layanan sekunder dan tersier. Masyarakat harus mendapatkan program kesehatan, pengobatan dalam konteks rawat jalan atau rawat inap. Namun, yang lebih penting dari itu adalah kegiatan pencegahan penyakit," kata Anwar.
Sayangnya, menurut Anwar, pelaksanaan sistem terintegrasi saat ini masih menemui beberapa kendala yang muncul dari 3 aspek, yaitu masyarakat atau pasien, dokter dan sistem kesehatan. Di kalangan masyarakat atau pasien, pada umumnya kepedulian masyarakat masih rendah terhadap penyakit kardiovaskular, mengenai dampaknya, kurang paham terhadap faktor risiko dan cara pencegahannya. "Salah satu cara menangani masalah tersebut, yaitu dengan cara mengadakan edukasi terus menerus," katanya lagi.*